Deflasi Bukti Ekonomi RI Sedang Sakit, Apa Obatnya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2020 06:55
buah supermarket
Ilustrasi Pasar Swalayan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) benar-benar membuat susah. Bermula dari krisis kesehatan, virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini mengobrak-abrik hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 10 Agustus 2020 adalah 19.718.030 orang. Bertambah 253.409 orang dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sedangkan jumlah pasien meninggal dunia tercatat 728.013 orang. Bertambah 5.719 orang dibandingkan sehari sebelumnya.

Seperti halnya influenza, virus corona sangat mudah menular. Apalagi ketika terjadi kerumunan manusia, baik itu di sekolah, perkantoran, rumah ibadah, restoran, bar, tempat wisata, pusat perbelanjaan, terminal, stasiun, bioskop, dan sebagainya. Semakin dekat jarak antar-manusia, maka risiko penularan kian tinggi.

Untuk mencegah lebih banyak korban yang jatuh, pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial alias social distancing. Sebisa mungkin warga jangan keluar rumah, kecuali untuk urusan yang penting bin mendesak. Bekerja, belajar, dan ibadah dari rumah.

Social distancing memang berhasil menekan risiko penyebaran virus. Namun tagihan yang datang tidak murah, bahkan sangat mahal.

Akibat aktivitas manusia yang sangat terbatas, pola kehidupan berubah drastis. Jutaan siswa di seluruh dunia belum bisa pergi belajar ke sekolah, semua dilakukan jarak jauh melalui perantara teknologi informasi. Sesuatu yang sangat memberatkan bagi siswa dengan keterbatasan ekonomi, bertempat tinggal di wilayah terpencil, atau berkebutuhan khusus.

Aktivitas perkantoran juga belum normal. Misalnya, pemerintah Provinsi DKI Jakarta membolehkan kantor dibuka lagi tetapi dengan kapasitas maksimal 50%. Batasan yang sama juga berlaku untuk pengunjung di pusat perbelanjaan dan rumah makan.

Akibatnya jelas, roda ekonomi seakan berhenti berputar. Bagaimana ekonomi mau semarak kalau sebagian masyarakat masih #dirumahaja?

Ekonomi yang masih lemah-letih-lesu ini kemudian mewujud ke laju inflasi. Kini inflasi bukan lagi menjadi ancaman. Hal yang lebih menjadi sorotan adalah perlambatan laju inflasi, bahkan deflasi karena minimnya permintaan.

"Kita semua melihat perkembangan ekonomi global masih dipenuhi ketidakpastian. Inflasi di berbagai negara mengalami perlambatan, dan mengarah ke deflasi. Perkembangan harga komoditas pada Juli secara umum menunjukkan penurunan," kata Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), belum lama ini.

Indonesia pun tidak imun terhadap 'hantu' deflasi. Bulan lalu, BPS melaporkan terjadi deflasi -0,1% secara bulanan (month-on-month/MtM). Dengan demikian inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 1,54% dan inflasi tahun kalender (year-to-date/YtD) tidak sampai 1%, tepatnya 0,98%.

Pada Agustus, laju inflasi kemungkinan masih woles. Dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) hingga pekan pertama, inflasi Agustus dipekirakan hanya 0,01% MtM, nyaris datar. Ini menyebabkan inflasi tahunan ada di 1,39% dan inflasi tahun kalender masih di bawah 1% yaitu 0,99%.

Laju inflasi yang lambat, bahkan deflasi, adalah cerminan lemahnya konsumsi rumah tangga. Terbukti pada kuartal II-2020 konsumsi rumah tangga anjlok -5,51% YoY. Dengan kontribusinya yang mencapai 57,85% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), tidak heran ekonomi Indonesia terkontraksi -5,32% YoY saat konsumsi rumah tangga bermasalah.

Pemerintah melalui kebijakan fiskal berupaya membangkitkan konsumsi rumah tangga. Caranya adalah dengan pemberian gaji ke-13 bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada karyawan swasta bergaji di di bawah Rp 5 juta/bulan. BLT itu bernilai Rp 600.000/bulan dan diberikan selama empat bulan.

Bukannya tidak berterima kasih, tetapi nyuwun sewu, dua 'perangsang' itu rasanya belum cukup. Gaji ke-13 hanya diberikan kepada PNS maksimal Golongan III. Berapakah jumlahnya?

Mengutip data Badan Kepegawaian Negara, jumlah PNS per Desember 2019 adalah 4.189.121 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.383.358 orang adalah pegawai Golongan III dan 1.020.339 orang adalah Golongan IV.

Jadi total PNS yang berhak atas gaji ke-13 adalah 3.402.697 orang. Berapakah jumlah penduduk yang bekerja se-Indonesia Raya? Ada 131,03 juta orang, berdasarkan catatan BPS per Februari 2020.

Kemudian, lagi-lagi bukannya bermaksud tidak bersyukur, tetapi gaji ke-13 tidak menyertakan Tunjangan Kinerja. Uang yang diterima tidak akan sebanyak gaji bulanan seperti biasanya.

Kemudian buat pegawai swasta, 'santunan' yang diterima adalah Rp 600.000/bulan. Aduh, kembali tidak ada maksud untuk kurang ajar, tetapi duit segitu.. Ya begitu lah...

Oleh karena itu, boleh dibilang stimulus dari pemerintah hanya cukup untuk menyambung hidup. Kalau ingin konsumsi rumah tangga tumbuh tinggi, harus ada ekspansi dan itu tidak bisa hanya datang dari pemerintah.

Adalah perbankan yang semestinya menjadi penyalur 'darah' bagi rumah tangga. Ketika semakin banyak rumah tangga yang terjamah kredit perbankan, maka ekspansi bisa dilakukan. Kala rumah tangga sudah berani melakukan ekspansi, maka ekonomi bisa kembali ke zona positif.

Namun saat ini penyaluran kredit konsumsi masih melambat. Misalnya Kredit Tanpa Angsuran, eh Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang kerap menjadi solusi bagi rumah tangga yang ingin 'naik kelas'.

Pada Mei 2020, pertumbuhan penyaluran kredit multiguna bank umum adalah 4,54% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 6,8%.

Bagaimana caranya agar rumah tangga lebih punya keinginan untuk mengakses kredit perbankan sehingga bisa berekspansi dan mendorong pertumbuhan ekonomi? Salah satu caranya adalah suku bunga. Kalau bisa suku bunga harus rendah sehingga memancing minat untuk meminjam duit ke bank.

Per Mei 2020, rata-rata suku bunga kredit konsumsi bank umum dalam mata uang rupiah adalah 11,22%. Turun 40 basis poin (bps) dibandingkan posisi akhir 2019. Padahal dalam periode yang sama, suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah turun 50 bps.

Dengan laju penurunan yang masih di bawah suku bunga acuan, bunga kredit konsumsi masih punya ruang untuk lebih rendah lagi. Apalagi secara nomimal, selisih keduanya bak bumi dan langit. Kebangetan banget....

Namun untuk menuju ke sana, akan tergantung dari setidaknya dua faktor. Pertama adalah biaya dana, seberapa besar duit yang keluarkan bank untuk memperoleh likuiditas yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit.

Salah satu komponen biaya dana adalah suku bunga simpanan. Ini yang kemudian agak ngeri-ngeri sedap.

Mengutip data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan nasional per Mei adalah Rp 6.157 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2.602 triliun (42,26%) dalam bentuk deposito.

Jumlah rekening deposito adalah 5,07 juta, kalah jauh ketimbang tabungan yang mencapai 304,31 juta. Namun duit yang tersimpan di tabungan 'hanya' Rp 1.971 triliun, tidak sampai separuh dari deposito.

Deposito adalah dana mahal, bunganya lebih tinggi ketimbang tabungan biasa. Rata-rata suku bunga deposito pada Mei adalah 5,74%, sementara tabungan tidak lebih dari 2%.

Selain itu, DPK perbankan juga dikuasai oleh para deposan kelas paus. Pada Mei, total nilai simpanan di atas Rp 5 miliar mencapai Rp 2.855 triliun atau 46,86% dari jumlah DPK. Padahal jumlah rekeningnya paling sedikit, tetapi isinya bukan kaleng-kaleng.

Para deposan itu yang 'menyandera' perbankan. Bermodal dana besar, mereka bisa meminta bunga tinggi atas simpanannya dan bank tidak dalam posisi menguntungkan. Sebab kalau tidak dituruti, deposan itu akan pindah dan bank kehilangan DPK dalam jumlah besar.

Selagi perbankan masih harus 'melayani' para deposan besar, maka suku bunga simpanan sulit turun signifikan. Saat suku bunga simpanan masih tinggi, jangan harap suku bunga kredit bisa ditekan.

Faktor kedua adalah soal efisiensi. Salah satu indikator untuk mengukur efisiensi adalah rasio biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO).

Data OJK menyebut, BOPO bank umum konvensional per Mei adalah 84,96%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 84,85% apalagi ketimbang setahun sebelumnya yakni 81,51%.

Sepanjang operasional perbankan tidak efisien, maka akan ada sebagian beban yang dialihkan ke nasabah dalam bentuk suku bunga. Akan selalu ada premium dalam pembentukan suku bunga, padahal itu gara-gara perbankan sendiri yang tidak efisien.

Kesimpulannya, mendorong konsumsi rumah tangga demi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik adalah sebuah kerja besar. Tidak hanya pemerintah, perbankan juga punya tugas berat agar bisa berkontribusi dalam menggenjot konsumsi rumah tangga.

So, sampai kapan perbankan mau didikte oleh deposan raksasa? Sampai kapan perbankan mau terus-terusan tidak efisien?

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular