Deflasi Bukti Ekonomi RI Sedang Sakit, Apa Obatnya?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2020 06:55
Pengunjung memelih pakaian yang dijual oleh salah satu tenant di Blok M Plaza, Jakarta, Rabu (6/3/2019). Untuk meningkatkan pengunjung manajemen Blok M Plaza merenovasi sejumlah fasilitas. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Penjualan Ritel (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Namun untuk menuju ke sana, akan tergantung dari setidaknya dua faktor. Pertama adalah biaya dana, seberapa besar duit yang keluarkan bank untuk memperoleh likuiditas yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit.

Salah satu komponen biaya dana adalah suku bunga simpanan. Ini yang kemudian agak ngeri-ngeri sedap.

Mengutip data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan nasional per Mei adalah Rp 6.157 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2.602 triliun (42,26%) dalam bentuk deposito.

Jumlah rekening deposito adalah 5,07 juta, kalah jauh ketimbang tabungan yang mencapai 304,31 juta. Namun duit yang tersimpan di tabungan 'hanya' Rp 1.971 triliun, tidak sampai separuh dari deposito.

Deposito adalah dana mahal, bunganya lebih tinggi ketimbang tabungan biasa. Rata-rata suku bunga deposito pada Mei adalah 5,74%, sementara tabungan tidak lebih dari 2%.

Selain itu, DPK perbankan juga dikuasai oleh para deposan kelas paus. Pada Mei, total nilai simpanan di atas Rp 5 miliar mencapai Rp 2.855 triliun atau 46,86% dari jumlah DPK. Padahal jumlah rekeningnya paling sedikit, tetapi isinya bukan kaleng-kaleng.

Para deposan itu yang 'menyandera' perbankan. Bermodal dana besar, mereka bisa meminta bunga tinggi atas simpanannya dan bank tidak dalam posisi menguntungkan. Sebab kalau tidak dituruti, deposan itu akan pindah dan bank kehilangan DPK dalam jumlah besar.

Selagi perbankan masih harus 'melayani' para deposan besar, maka suku bunga simpanan sulit turun signifikan. Saat suku bunga simpanan masih tinggi, jangan harap suku bunga kredit bisa ditekan.

Faktor kedua adalah soal efisiensi. Salah satu indikator untuk mengukur efisiensi adalah rasio biaya operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO).

Data OJK menyebut, BOPO bank umum konvensional per Mei adalah 84,96%. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 84,85% apalagi ketimbang setahun sebelumnya yakni 81,51%.

Sepanjang operasional perbankan tidak efisien, maka akan ada sebagian beban yang dialihkan ke nasabah dalam bentuk suku bunga. Akan selalu ada premium dalam pembentukan suku bunga, padahal itu gara-gara perbankan sendiri yang tidak efisien.

Kesimpulannya, mendorong konsumsi rumah tangga demi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik adalah sebuah kerja besar. Tidak hanya pemerintah, perbankan juga punya tugas berat agar bisa berkontribusi dalam menggenjot konsumsi rumah tangga.

So, sampai kapan perbankan mau didikte oleh deposan raksasa? Sampai kapan perbankan mau terus-terusan tidak efisien?

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular