Bank Domestik Terlalu "Serakah" Keruk NIM

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 March 2018 16:42
Sempat membuat pasar saham bereaksi negatif, tapi mari bandingkan dengan industri perbankan negara-negara tetangga.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan Gubernur Bank Indonesia yang baru, Perry Warjiyo, bahwa marjin perbankan Indonesia saat ini kelewat tinggi, yakni di kisaran 5-6%. Sempat membuat pasar saham bereaksi negatif, tapi mari bandingkan dengan industri perbankan negara-negara tetangga.

"Suku bunga kebijakan kami sudah 4,25%. [Bunga] Kredit masih di atas 10%, masih 11,2% jadi ada margin 5-6% Ini terlalu tinggi untuk Indonesia dan kawasan," kata Perry di Gedung DPR kala menjalani fit and proper test, Rabu (28/3/2018).

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Net Interest Margin (NIM) alias selisih antara suku bunga pinjaman dengan suku bunga dana dari bank umum konvensional di Indonesia berada di angka 5,19% per Januari 2018. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, angka ini terbilang fantastis.

Mengutip halaman resmi Federal Reserve Bank of State Louis, NIM Malaysia pada akhir 2015 adalah sebesar 1,72%, Thailand sebesar 3,07%, dan Filipina sebesar 3,58%. Jika dibandingkan dengan periode yang sama, NIM Indonesia pada akhir 2015 adalah sebesar 5,39%, tetap lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Hal ini lantas mengindikasikan bahwa perbankan Indonesia terlalu tinggi dalam mengambil marjin keuntungan. Pada akhirnya, penyaluran kredit menjadi kurang maksimal dan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi terhambat.

Lantas, apa yang menyebabkan perbankan di Indonesia harus beritu "serakah" dalam mengambil marjin keuntungan? Ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut.

Risiko Tinggi
Pertama, tingkat risiko yang tinggi. Jika dibandingkan dengan 3 negara lainnya, Indonesia memiliki peringkat surat utang yang paling rendah. Saat ini, lembaga pemeringkat Standard & Poor's memberi peringkat BBB- bagi surat utang Indonesia, dimana ini merupakan tingkatan terendah dalam kategori layak investasi (investment grade). Sementara itu, Malaysia memiliki peringkat A-, Thailand BBB+, dan Filipina BBB.

Perbankan pun dipaksa memasang NIM tinggi guna menkompensasi risiko yang mereka hadapi.

Kredit Bermasalah
Kedua, rasio kredit bermasalah (NPL) yang tinggi. Per akhir Januari 2018, rasio NPL Indonesia berada pada angka 2,9%, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (1,5%) dan Filipina (1,7%/Desember 2017). Jika dibandingkan dengan Thailand (Desember 2017), rasio NPL kedua negara adalah sama yaitu sebesar 2,9%.

Bagi bank, kredit bermasalah merupakan momok yang sebisa mungkin dihindari. Pasalanya, ketika suatu kredit dimasukkan kedalam kategori bermasalah, bank diwajibkan menyiapkan pencadangan kerugian yang pada akhirnya menekan profatibilitas mereka.

Seiring dengan tingginya rasio NPL di Indonesia, perbankan mau tak mau memasang NIM yang tinggi guna mendongkrak profitabilitas.

Tak Efisien
Ketiga, rendahnya efisiensi. Hal ini tercermin dari rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) yang terus-menerus berada dalam level yang tinggi. Per akhir Januari 2018, rasio BOPO bank umum konvensional di Indonesia berada pada level 81,8%. Ini artinya, guna menghasilkan laba sebesar Rp 1, bank-bank di Indonesia harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 0,818. Rasio BOPO tersebut lebih tinggi dibandingkan posisi Desember 2017 yang sebesar 78,64%.

Sebagai perbandingan, BOPO bank-bank di Malaysia per akhir 2015 hanya sebesar 63,25%, Thailand 80,49%, dan Filipina 75,43%. Lagi-lagi, bank dipaksa mematok NIM yang tinggi guna mendongkrak keuntungan mereka.

Dorong Efisiensi
Sebenarnya, yang menjadi masalah utama di Indonesia bukanlah NIM melainkan tingkat suku bunga kredit yang tinggi. Saat ini, rata-rata suku bunga kredit bank umum untuk keperluan modal kerja adalah sebesar 10,75%. Untuk kredit investasi, suku bunganya adalah sebesar 10,51%. Padahal, sudah cukup lama pemerintah mengutarakan keinginannya untuk menekan suku bunga kredit ke level satu digit.

Perbankan sebenarnya sah-sah saja memasang marjin yang tinggi, asalkan diikuti dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah pula. Salah satu hal yang paling mungkin untuk dikerjakan perbankan guna menekan suku bunga kredit tanpa menggerus marjin mereka adalah dengan meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya akan menekan rasio BOPO.

Masalahnya, hal ini tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, melainkan memakan waktu dan membutuhkan perencanaan yang matang.
(hps) Next Article OJK Lanjut Beri Stimulus, Saham Bank RI Terbang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular