Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) memaksa manusia mengubah perilaku secara radikal. Agar tidak tertular virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini, orang-orang terpaksa harus berjarak. Mau bagaimana lagi, virus memang lebih mudah menyebar saat terjadi kontak dan interaksi antar-manusia.
Berbagai sendi kehidupan merasakan perubahan yang drastis. Makan di restoran kini tidak bisa lagi berakrab ria dengan duduk berdekatan. Harus ada jarak aman, 1-2 meter.
Begitu pula aktivitas perkantoran. Pembagian jam kerja (shift) menjadi hal yang lumrah untuk menghindari penumpukan manusia dalam jumlah banyak di ruang tertutup tanpa sirkulasi udara yang alami.
Termasuk yang paling mendasar adalah perubahan aktivitas belajar-mengajar di sekolah. Pembatasan sosial (social distancing) memaksa guru dan murid tidak bisa bertatap muka di kelas. Sistem pembelajaran jarak jauh menjadi solusi agar tidak tertinggal.
Dalam Peraturan Pemerintah No 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Penanganan Covid-19 pasal 1 huruf a, disebutkan secara gamblang bahwa aktivitas belajar-mengajar tatap muka di sekolah harus dliburkan. Sepanjang PSBB masih berlaku, maka pada prinsipnya siswa dan guru belum boleh beraktivitas di sekolah.
Akan tetapi, metode pembelajaran jarak jauh bukan tanpa komplikasi. Siswa (atau orang tuanya) perlu menyiapkan komputer atau ponsel pintar agar bisa tetap mengikuti pelajaran. Padahal uang iuran bulanan sekolah masih tetap harus dibayar, tanpa diskon meski tidak ada kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Hasilnya, pengeluaran rumah tangga pun bertambah kala situasi sedang prihatin.
Mengutip Hasil Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19 keluaran Badan Pusat Statistik (BPS) yang melibatkan 87.379 responden, 46% di antaranya menyatakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas berbelanja secara online. Salah satu kebutuhan yang banyak dibeli melalui belanja online adalah pulsa/paket data internet (14%). Membeli pulsa/paket data internet hanya kalah dari bahan makanan (51%) serta produk dan layanan kesehatan (20%).
Tidak semua siswa pun memiliki akses perangkat ponsel pintar atau jaringan internet yang mumpuni di daerahnya. Menurut data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), hanya 34% siswa di Indonesia yang punya komputer di rumah untuk membantu proses belajar-mengajar.
Belum lagi kalau bicara anak usia dini atau dengan kebutuhan khusus. Metode belajar online bukan pilihan terbaik bagi mereka, yang membutuhkan sentuhan para gurunya. Murid-murid seperti ini butuh ekosistem pembelajaran yang terstruktur dari A sampai Z, yang sulit dipenuhi melalui pendekatan online.
So, apakah sistem belajar online tidak efektif? Tidak ada yang tahu jawabannya. Baru kali ini kita terpaksa harus menerapkan metode begini rupa, belum pernah ada pengalaman sebelumnya.
Semua langkah dan kebijakan yang diambil memang coba-coba, karena belum ada tuntunan. Kita semua berjalan dalam kegelapan. Jadi belum bisa untuk mengukur efektivitas karena memang belum ada ukurannya.
Namun ada baiknya kita perlu merenungi tajuk yang ditulis oleh The Economist dalam edisi 18 Juli 2020. Media kenamaan asal Amerika Serikat (AS) itu berani menentukan sikap bahwa mengembalikan murid-murid ke ruang kelas lebih banyak membawa manfaat ketimbang mudarat.
Alasan pertama, virus corona berisiko rendah untuk menghinggapi mereka yang berusia muda. Berbagai kajian menunjukkan mereka yang berumur di bawah 18 tahun 30-50% lebih aman dari risiko terjangkit virus corona. Risiko kematian juga sangat rendah untuk kelompok usia muda.
Mengutip kajian Our World in Data, kebanyakan penyakit menular sebelumnya seperti malaria atau flu Spanyol memang rentan membuat anak-anak menjadi korban jiwa. Dalam kasus malaria, 57% korban meninggal di seluruh dunia adalah anak-anak.
"Namun untuk Covid-19 justru kebalikannya. Semakin bertambah usia, maka semakin besar risiko kematian jika terjangkit oleh virus," sebut riset Our World in Data.
Berdasarkan kasus di Korea Selatan. China, Spanyol, dan Italia, tingkat kematian (mortality rate) akibat virus corona di kelompok umur 0-9 tahun hampir 0%. Begitu juga untuk kelompok umur 10-19 tahun.
 Our World in Data |
Alasan kedua, dampak dari terus-menurus 'bolos' sekolah sangat besar. Sebab, anak-anak bisa kehilangan kebiasaan belajar. Apalagi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, belajar secara online menjadi tantangan besar untuk beberapa kelompok anak, seperti yang berasal dari keluarga miskin, tinggal di daerah terpencil, usia dini, atau berkebutuhan khusus.
"Orang tua juga kesulitan, karena harus membagi antara pekerjaan dengan mengawasi anak-anak di rumah. Ada risiko karier orang tua menjadi terhambat. Anak-anak juga menjadi lebih rentan mengalami malnutrisi, kekerasan, dan gangguan mental," sebut tajuk The Economist.
Mengutip riset Bank Dunia berjudul Simulating the Potential Impacts of Covid-19 School Closures on Schooling and Learning Outcomes terbitan Juni 2020, pandemi virus corona diperkirakan rata-rata akan menghapus masa belajar di sekolah selama 0,6 tahun. Pada masa mendatang, waktu yang hilang ini membuat potensi pendapatan anak ketika dewasa berkurang US$ 872 (sekitar Rp 12,72 juta dengan kurs saat ini) per tahun.
Ini sama dengan menghapus potensi pendapatan US$ 16.000 (Rp 233,34 juta) sepanjang karier si anak nantinya. Di level global, potensi pendapatan yang menguap mencapai US$ 10 triliun (Rp 145.835,5 triliun), setara dengan 7% dari Produk Domestik Bruto saat ini.
 Bank Dunia |
"Sangat dapat dimengerti bahwa orang tua pasti khawatir. Virus corona adalah sesuatu yang baru dan belum sepenuhnya dipahami. Sekolah adalah tempat yang besar dan padat, anak-anak (apalagi yang masih kecil) akan sulit untuk menerapkan social distancing. Namun, kami tetap berpandangan bahwa manfaat membuka kembali sekolah akan lebih banyak manfaatnya ketimbang mudaratnya," tegas tajuk The Economist.
TIM RISET CNBC INDONESIA