Newsletter

Mister Biden Mau Naikin Pajak Ya? RI Untung atau Buntung Nih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 March 2021 06:00
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia melemah sepanjang pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, sampai harga obligasi pemerintah mengalami koreksi.

Sepanjang minggu kemarin, IHSG melemah tipis 0,03% secara point-to-point. Meski IHSG melemah. Tetapi Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat investor asing melakukan beli bersih senilai Rp 0,93 triliun.

Sementara harga obligasi pemerintah juga bergerak turun. Penurunan harga terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield), di mana untuk seri acuan tenor 10 tahun naik 9,8 basis poin (bps) sepanjang pekan lalu. Harga dan yield obligasi memiliki hubungan terbalik.

Per 18 Maret 2021, kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) adalah Rp 953,24 triliun. Turun Rp 1,69 triliun dibandingkan sepekan sebelumnya.

Jadi secara neto, investor asing masih cenderung keluar dari pasar keuangan Indonesia. Ini menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air terdepresiasi 0,14% secara point-to-point.

Tekanan di pasar keuangan domestik masih disebabkan oleh tren kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Sepanjang pekan lalu, yield US Treasury Bonds tenor 10 tahun naik 9,7 bps secara point-to-point.

Pada perdagangan akhir pekan, yield instrumen ini ditutup di 1,732%. Ini adalah yang tertinggi sejak 23 Januari 2020.

Kenaikan yield obligasi pemerintah AS didorong oleh tingginya ekspektasi inflasi di Negeri Paman Sam. Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) dalam proyeksi terbarunya memperkirakan laju inflasi pada akhir tahun bisa mencapai 2,4%. Lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yakni 1,8%.

Percepatan laju inflasi bisa membuat The Fed menaikkan suku bunga acuan lebih cepat. Saat suku bunga naik, maka yield (yang sangat sensitif terhadap suku bunga) akan ikut terkerek.

Di sini kita bicara tentang obligasi pemerintah AS, aset yang sangat aman anti gagal bayar (default). Sudah aman, kini aset itu memberikan keuntungan dengan yield yang semakin tinggi.

Akibatnya, investor terus mengalihkan fokus ke pasar obligasi pemerintah AS. Perburuan terhadap dolar AS meningkat sebagai persiapan untuk mengoleksi US Treasury Bonds.

Sepanjang pekan lalu, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,26% secara point-to-point. So, wajar saja IHSG dkk berakhir merah.

Halaman Selanjutnya --> Wall Street Rontok!

Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama di bursa saham New York melemah sepanjang pekan lalu. Secara point-to-point, Dow Jones Industrial Average (DJIA) terpangkas 0,82%, S&P 500 ambles 1,19%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,79%.

Pada perdagangan akhir pekan, Wall Street bergoyang hebat. DJIA melemah 0,46%, tetapi S&P 500 anjlok 1,48% dan Nasdaq ambrol hingga 3,02%.

Tenyata kenaikan yield tidak hanya memukul pasar keuangan negara lain, bahkan bursa saham AS pun kena dampaknya. Transaksi di pasar saham jadi sepi, karena investor mengalihkan fokus ke pasar obligasi pemerintah. Akhir pekan lalu, volume perdagangan di Wall Street tercatat 12,8 miliar unit saham, lebih sedikit dibandingkan rata-rata 20 hari terakhir yaitu 14,2 miliar unit saham.

"The Fed mungkin bilang bahwa suku bunga tidak akan naik sampai 2023. Namun ternyata yield masih saja naik," keluh Tim Ghriskey, Chief Investment Strategist di Inverness Counsel yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.

Selain soal yield, koreksi dalam di Wall Street akhir pekan lalu juga disebabkan oleh kasus virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) yang kembali melonjak di Eropa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di Benua Biru per 19 Maret 2021 adalah 42.058.698 orang. Bertambah 233.900 orang dibandingkan sehari sebelumnya.

Sepanjang pekan lalu, rata-rata pasien positif corona di Eropa bertambah rata-rata 199.580 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata sepekan sebelumnya yaitu 173.762 orang per hari.

Perkembangan ini tidak lepas dari vVaksinasi anti-virus corona di Eropa yang sedang terhambat. Penggunaan vaksin buatan AstraZaneca-Universitas Oxford ditangguhkan di sejumlah negara akibat kekhawatiran soal efek samping. Padahal WHO sudah menegaskan agar negara-negara Eropa tetap melanjutkan penggunaan vaksin tersebut.

"Sampai saat ini, kita belum tahu apakah kondsi-kondisi yang dilaporkan memang terkait efek samping vaksin atau ada faktor lain. Bagaimanapun, manfaat penggunaan vaksin AnstraZaneca melebihi risikonya. Jadi penggunaannya harus diteruskan, untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa," jelas Hans Kluge, Direktur WHO untuk kawasan Eropa, sebagaimana diwartakan Reuters.

Our World in Data mencatat, laju vaksinasi anti-virus corona di negra-negara Uni Eropa menurun drastis. Rata-rata tujuh harian vaksinasi pada 20 Maret 2021 adalah 938.406 dosis per hari. Ini adalah yang terendah sejak 1 Maret 2021.

"Di AS, kita mengantisipasi reopening besar-besaran dan virus sepertinya semakin terkendali. Namun di luar AS sepertinya tidak demikian, ini tentu tidak bagus," kata Joe Saluzzi, Co-Manager of Trading di Themis Trading yang berbasis di New Jersey, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang akhir pekan lalu melemah tajam. Ini bisa membuat mental pelaku pasar di Asia menjadi kalah sebelum bertanding.

Sentimen kedua, masih dari AS, pelaku pasar mulai mengendus adanya kemungkinan pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden untuk menaikkan tarif pajak. Maklum, pemerintah butuh pemasukan untuk membiayai pembengkakan pengeluaran, termasuk untuk paket stimulus bernilai US$ 1,9 triliun.

"Ini (kenaikan tarif pajak) sudah patut menjadi hal yang dianggap serius. Ini akan segera dibicarakan dan akan menjadi kenyataan," tutur Quincy Krosby, Chief Market Strategist di Prudential Financial, seperti dikutip dari Reuters.

"Dalam 6-8 bulan ke depan, pasar akan semakin khawatir dengan isu tersebut," tambah Jonathan Golub, US Equity Strategist di Credit Suisse, juga dikutip dari Reuters.

Baca: Jika Biden Jadi Penunggu Baru Gedung Putih, Indonesia Untung?

Pada masa kampanye, Biden memang mengusulkan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 21% menjadi 28%. Rencana ini mendapat dukungan dari Janet Yellen, Menteri Keuangan AS.

Menurut riset Citi, kenaikan tarif PPh dari 21% menjadi 25% saja sudah menggerus laba emiten anggota S&P 500 sekitar 4-5%. Kalau tarif naik sampai 28%, maka laba akan turun 6-7%.

"Teorinya jika Anda membeli saham sebuah emiten karena ekspektasi kenaikan laba akibat dorongan stimulus, maka perlu dicatat bahwa laba itu akan tergerus oleh pajak," kata Tobias Levkovich, US Equity Strategist di Citi, seperti dikutip dari Reuters.

Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, pemerintah AS memangkas tarif PPh baik Badan maupun Orang Pribadi. Sebelum pemotongan tarif pajak, rata-rata PPh yang dibayar emiten anggota S&P 500 adalah 25,4% pada kuartal III-2017. Pada kuartal III-2020, turun drastis menjadi rata-rata 17,54%.

pajakSumber: Reuters

"Laba perusahaan naik signifikan saat pemerintahan Trump. Apakah laba itu akan tergerus sampai habis jika ada aturan tarif pajak baru? Mungkin saja, bahkan sangat mungkin," ujar Brad McMillan, Chief Investment Officer di Commonwealth Financial Network, seperti diberitakan Reuters.

Kenaikan tarif pajak di AS bisa menjadi sentimen positif atau negatif. Berita buruknya dulu, kemungkinan Wall Street akan kembali tertekan karena persepsi penurunan laba perusahaan. Kalau Wall Street merah, maka pasar keuangan lain akan mengikuti, termasuk Indonesia.

Kabar baiknya, kenaikan tarif PPh di AS akan membuat perusahaan-perusahaan di sana memindahkan aktivitas di negara lain. Dalam visi-misi kampanye, Biden memang berencana untuk mengenakan tarif PPh sebesar 21% bagi perusahaan yang melakukan relokasi ke luar negeri. Namun 21% lebih baik ketimbang 28% bukan?

Jadi ada kemungkinan perusahaan-perusahaan AS akan melakukan relokasi agar tidak membayar pajak terlalu tinggi. Indonesia bisa menjadi salah satu tempat tujuan, yang jika terwujud tentu berdampak positif bagi ekonomi Ibu Pertiwi. Lapangan kerja terbuka, pemerintah Indonesia pun mendapatkan tambahan setoran pajak.

Baca: Biden Diramal Gantikan Trump, Ngaruhnya Apa Buat Indonesia?

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Sentimen ketiga, investor masih harus mewaspadai tren kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Sentimen ini terus menjadi momok di pasar keuangan negara berkembang, dan sepertinya belum reda.

Thomas Birkin, Presiden The Fed cabang Richmond, menyatakan bahwa kenaikan yield mencerminkan optimisme terhadap prospek ekonomi AS. Kenaikan yield, yang mencerminkan kenaikan ekspektasi inflasi, menandakan permintaan bakal meningkat.

"Momentum pemulihan ekonomi memang semakin terlihat. Sepertinya kita akan melihat (permintaan) yang kuat pada musim panas ini yang berlanjut ke musim gugur. Permintaan akan meningkat seiring semakin cepatnya vaksinasi sehingga ekonomi akan tumbuh lebih tinggi," kata Birkin kepada CNBC International.

Dalam proyeksi terbarunya, The Fed memperkirkaan Produk Domestik Bruto (AS) tumbuh 6,5% pada 2021. Jika terwujud, maka akan menjadi catatan terbaik sejak 1984.

So, sepertinya The Fed sudah menganggap kenaikan yield sebagai sesuatu yang wajar karena ekspektasi terhadap prospek ekonomi AS yang semakin membaik. Sepanjang yield obligasi pemerintah AS terus naik, maka pasar keuangan negara-negara lain sebaiknya bersiap menghadapi tekanan lebih lanjut.

Sentimen keempat, masih terkait AS, sepertinya hubungan Washington-Beijing akan semakin memanas. Akhir pekan lalu, pemerintah China melarang mobil Tesla memasuki komplek militer karena kekhawatiran soal keamanan negara. Ada kemungkinan kamera terpasang di mobil bikinan AS itu sehingga rahasia negara bisa bocor.

Langkah ini semacam balas dendam karena AS memperlakukan perusahaan China dengan kebijakan serupa. Huawei, misalnya, dibatasi untuk memasok komponen bagi perusahaan teknologi AS karena isu ancaman keamanan.

Awalnya ada kelegaan karena Biden dianggap tidak akan sefrontal Trump dalam hal relasi dengan China. Namun ternyata hampir sama, Biden pun masih 'galak' terhadap Negeri Panda.

Dalam pertemuan AS-China di Achorage (Alaska), kedua kubu pun rada 'panas'. Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, menegaskan bahwa Washington cemas akan kebijakan China di beberapa aspek seperti dugaan penindasan terhadap etnis minoritas di Xinjiang, opresi kepada gerakan pro-demokrasi di Hong Kong, dugaan serangan siber ke AS, sampai provokasi di Laut Chiha Selatan.

"Kami akan mendiskusikan soal kekhawatiran yang mendalam tentang aksi China di Xinjiang, Hong Kong, Taiwan, serangan siber, dan sebagainya. Setiap tindakan ini mengancam stabilitas dunia," tegas Blinken di hadapan delegasi China, seperti dikutip dari Reuters.

Dibilang begitu, China tentu tidak terima. Yang Jiechi, Diplomat Senior China, dalam pidatonya selama 15 menit menyatakan bahwa AS pun punya masalah dalam berdemokrasi, penegakan hak-hak kelompok minoritas, dan lain-lain.

"AS beserta kekuatan militer dan hegemoni finansialnya telah melampaui batas yurisdiksi dan menekan negara-negara lain. AS melakukan pelanggaran atas nama keamanan nasional untuk menghambat perdagangan dan sekarang mengajak negara-negara lain untuk melawan China," tutur Yang, sebagaimana diberitakan Reuters.

Sepertinya ketegangan hubungan AS-China belum bisa dicoret dari daftar. Risiko ini masih menghantui perekonomian dunia dan bisa menjadi hambatan menuju pemulihan.

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (3)

Sentimen kelima, kali ini dari dalam negeri, pemerintah resmi memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro hingga 5 April 2021. Cakupannya kini bertambah ke Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Namun, pemerintah memberi kelonggaran terhadap sejumlah aktivitas. Kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi/akademi mulai diuji coba untuk berlangsung secara tatap muka yang nantinya diatur oleh Peraturan Kepala Daerah. Kegiatan sosial-budaya juga sudah diizinkan, dengan kapasitas maksimal 25% dan menerapkan protokol kesehatan.

coronaSumber: KPCPEN

Well, di satu sisi memang masih ada pembatasan di sana-sini. Misalnya kegiatan perkantoran masih disarankan 50% dilakukan dari rumah (work from home) atau restoran yang hanya boleh menerima pelanggan yang makan-minum di tempat dibatasi 50% dari kapasitas.

Namun di sisi lain, pemerintah juga membuka ruang bagi kegiatan yang selama ini ditutup total seperti pendidikan dan sosial-budaya seperti konser musik. Ini tentu memberi angin segar, aktivitas yang boleh dilakukan masyarakat semakin bertambah. Diharapkan permintaan akan pulih sehingga mendongrak kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data Loan Prime Rate tenor satu dan lima tahun China periode Maret 2021 (08:30 WIB).
  2. DBS Asian Instights Conference 2021 (09:00 WIB).
  3. Rapat Kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM (13:00 WIB).
  4. Rilis data penjualan sepeda motor Indonesia periode Februari 2021 (tentatif).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular