Sentimen Pasar Pekan Depan

Kerja, Kerja, Kerja! Minggu Depan Banyak yang Kudu Diwaspadai

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 March 2021 15:40
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan depan akan jadi periode yang lumayan sibuk. Investor kudu pasang mata dan telinga baik-baik karena ada momentum penting yang bisa menentukan gerak pasar.

Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,59% secara point-to-point. IHSG jadi indeks saham terbaik keempat di Asia. Namun investor asing membukukan jual bersih Rp 1,41 triliun.

Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 9,8 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun karena aksi jual. Bank Indonesia mencatat investor asing melakukan jual bersih Rp 6,87 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sepanjang 8-10 Maret 2021.

Arus modal keluar di pasar saham dan obligasi itu membuat rupiah melemah. Sepanjang minggu ini, rupiah terdepresiasi 0,63% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

So, bagaimana dengan pekan in? Kira-kira sentimen apa saja yang perlu dicermati oleh investor?

Halaman Selanjutnya --> Cermati Data Perdagangan Internasional

Pada awal pekan, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan kinerja ekspor Indonesia periode Februari 2021. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 6,75% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).

Sementara impor diperkirakan tumbuh 11,85% YoY. Meski pertumbuhan impor lebih cepat ketimbang ekspor, tetapi neraca perdagangan diproyeksi tetap positif US$ 2,145 miliar.

Kalau ekspor tidak usah ditanya. Sejak November 2020, ekspor selalu tumbuh positif. Bahkan pada Desember 2020 dan Januari 2021 laju pertumbuhannya mencapai belasan persen.

Impor yang kini perlu mendapat sorotan. Pasar memperkirakan impor mampu tumbuh positif, sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam 19 bulan terakhir.

"Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih mengganggu operasional perusahaan di Indonesia. Namun sektor manufaktur sepertinya tetap tegar (resilient), di mana produksi masih tumbuh. Penciptaan lapangan kerja juga semakin mengarah ke kondisi normal. Meski pandemi masih menjadi risiko, tetapi perusahaan optimistis terhadap prospek ke depan karena ada harapan pandemi bisa diakhiri," papar Andrew Harker, Economics Director IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

IHS Markit mencatat produksi manufaktur Tanah Air naik empat bulan beruntun. Ini karena permintaan baru (new orders) meningkat sehingga dunia usaha merespons dengan menggenjot produksi.

"Perbaikan ini mendorong dunia usaha untuk meningkatkan pembelian bahan baku dan memperlambat laju pengurangan karyawan. Bahkan pembelian bahan baku meningkat ke laju tercepat sejak Mei 2019," sebut keterangan tertulis IHS Markit.

Memang ada gejala bahwa permintaan domestik mulai bangkit sehingga impor (yang ddidominasi bahan baku) terangkat. Ini tentu menjadi sinyal positif bahwa pemulihan ekonomi Indonesia berada di jalur yang benar.

Tingginya impor bahan baku menunjukkan bahwa industri dalam negeri sudah siap memproduksi kebutuhan domestik. Jika produksi industri Tanah Air meningkat, maka impor barang konsumsi bisa ditekan, sesuatu yang dicita-citakan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Namun di sisi lain, peningkatan impor akan menjadi beban buat transaksi berjalan (current account). Padahal dalam dua kuartal terakhir 2020, Indonesia sudah berhasil membukukan surplus transaksi berjalan. Kali terakhir transaksi berjalan bisa surplus adalah pada 2011.

Jadi, sangat mungkin transaksi berjalan Indonesia kembali ke teritori negatif dalam kuartal-kuartal mendatang. Artinya, pasokan valas dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa akan tekor, boncos, minus. Ini membuat fundamental rupiah menjadi rapuh, karena mata uang Tanah Air akan murni mengandalkan pasokan devisa dari investasi portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi sesuka hati.

Halaman Selanjutnya --> BI Sepertinya Bakal Tahan Suku Bunga

Kedua, masih dari dalam negeri, BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Maret 2021 pada 17-18 Maret 2021. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Gubernur Perry Warjiyo dan kolega mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%.

Dalam RDG bulan lalu, Gubernur Perry dengan jelas menyatakan bahwa ruang penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah menyempit. Sejak tahun lalu, suku bunga acuan sudah dipotong 150 bps.

Mungkin BI masih ingin memonitor sejauh mana transaksi pelonggaran kebijakan moneter terhadap suku bunga di level perbankan. Suku bunga simpanan sudah turun, bahkan lebih tajam ketimbang penurunan suku bunga acuan. Namun suku bunga kredit hanya turun seiprit.

Per Januari 2021, rata-rata suku bunga deposito tenor satu bulan di bank komersial adalah 4,07% per tahun. Dibandingkan Januari 2020, sudah turun 190 bps. Dalam periode yang sama, suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) hanya turun 87 bps. Jadi buat apa BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan lagi kalau dampak ke suku bunga kredit masih belum optimal?

Selain itu, BI tentu juga mewaspadai tren depresiasi nilai tukar rupiah. Tidak hanya pekan ini, pelemahan rupiah adalah tema sepanjang 2021.

Sejak akhir 2020 (year-to-date), rupiah sudah melemah 2,42% di hadapan dolar AS. Rupiah jadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.

Menaikkan suku bunga jelas tidak mungkin karena ekonomi sedang kontraksi, menciut, mengkerut. Opsinya adalah menahan atau menurunkan. Namun kalau suku bunga diturunkan, imbalan berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) akan ikut berkurang. Berinvestasi di Indonesia jadi kurang menarik sehingga rupiah bisa semakin melemah. Oleh karena itu, mempertahankan suku bunga acuan menjadi pilihan yang paling rasional demi menjaga rupiah.

Sentimen ketiga, kali ini dari luar negeri, adalah rapat bulanan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang hasilnya akan diumumkan pada 18 Maret 2021 dini hari waktu Indonesia. Seperti BI, Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) pun kemungkinan tidak akan mengubah suku bunga acuan.

Mengutip CME FedWatch, probabilitas Federal Funds Rate bertahan di 0-0,25% pada bulan ini mencapai 100%. Pasar tidak melihat ada peluang perubahan sekecil apapun.

fedSumber: CME FedWatch

Akan tetapi, pelaku pasar perlu mencermati arah kebijakan moneter ke depan. Investor perlu mencermati kata dan kalimat dari Ketua Jerome 'Jay' Powell soal kemungkinan pengetatan kebijakan moneter.

Pasalnya, pasar sudah berekspektasi laju inflasi AS bakal terakselerasi seiring permintaan yang terus membaik. Perlahan tetapi pasti, dampak pandemi virus corona di Negeri Paman Sam mulai mereda meski situasi belum sepenuhnya kembali ke masa pra-pandemi.

Ekspektasi percepatan laju inflasi kemudian tercemin dalam yield obligasi pemerintah AS. Sepanjang pekan ini, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melesat 8,1 basis poin (bps). Pada akhir pekan, yield instrumen itu berada di 1,635%, tertinggi sejak Februari 2020.

Namun sejauh ini Powell dan kolega belum melihat tanda-tanda inflasi bakal 'menggila'. Sebab walau ekonomi mulai pulih tetapi masih jauh dari kata kuat.

"Ekonomi kita masih jauh dari penciptaan lapangan kerja yang maksimal dan target inflasi. Sepertinya butuh waktu untuk mencapai kemajuan yang lebih berarti. Jalan menuju pemulihan ekonomi sangat bergantung kepada perkembangan pandemi dan upaya pencegahan penyebaran virus.

"Kebijakan moneter saat ini akomodatif dan akan tetap akomodatif. Setidaknya sampai ada tanda yang jelas bahwa kita sudah mencapai kemajuan yang signifikan, yang saat ini belum terlihat," papar Powell dalam sebuah forum di hadapan Komite Perbankan Senat, belum lama ini.

Oleh karena itu, pelaku pasar perlu mencari bukti tambahan untuk membenarkan ekspektasi percepatan laju inflasi, yang bisa mengubah arah kebijakan moneter menjadi mengetat. Jadi coba cermati kalimat yang mengandung kata pemulihan (recovery), lapangan kerja (job), inflasi, dan yield. Mungkin akan ada petunjuk yang lebih jelas.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular