Sentimen Pasar Pekan Depan

Ekonomi RI 2020 Kayaknya -2%, Piye Nasib IHSG dkk?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 January 2021 15:40
Ilustrasi IHSG
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pekan ini. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terluka dalam, nilai tukar rupiah stagnan, sementara harga obligasi pemerintah malah naik.

Sepanjang minggu ini, IHSG rontok 7,05% secara point-to-point. IHSG tidak pernah sekalipun finis di jalur hijau, selalu merah.

Seluruh indeks saham utama Asia juga terkoreksi dalam pekan ini. Namun koreksi IHSG menjadi yang paling parah.

Berikut perkembangan indeks saham utama Benua Kuning pekan ini:

Meski IHSG ambles, tidak demikian dengan rupiah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), mata uang Tanah Air memang tidak menguat. Namun juga tidak melemah, stagnan saja.

Rupiah tidak sampai terjerumus ke jurang depresiasi karena arus modal (terutama asing) masih masuk ke pasar obligasi pemerintah. Pada 22 Januari 2021, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) adalah Rp 980,57 triliun. Per 28 Januari 2021, nilainya bertambah menjadi Rp 985,38 triliun.

Derasnya arus modal asing membuat imbal hasil (yield) SBN bergerak turun, yang menandakan harga aset ini sedang naik. Pekan ini, yield SBN seri acuan tenor 10 tahun turun 3,4 basis poin (bps).

Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Sekarang saatnya kita menatap masa depan.

Kira-kira bagaimana nasib IHSG dkk pekan depan? Sentimen apa saja yang mesti jadi perhatian pelaku pasar?

Dari dalam negeri, akan ada dua rilis data penting. Pertama adalah inflasi periode Januari 2020.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan inflasi bulanan (month-to-month/ MtM) sebesar 0,34%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/ YoY) ada di 1,65%. Kemudian, inflasi inti secara tahunan diperkirakan 1,53%.

Bank Indonesia (BI) memperkirakan secara umum terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan III, inflasi Januari 2021 diperkirakan 0,37% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini membuat inflasi tahunan menjadi 1,67%.

"Penyumbang utama inflasi yaitu cabai rawit sebesar 0,1% (MtM), tempe dan tahu masing-masing sebesar 0,03%, cabai merah dan tarif angkutan antar-kota masing-masing sebesar 0,02%, daging ayam ras, ikan kembung, kacang panjang, bayam, kangkung, ikan tongkol, daging sapi, emas perhiasan, nasi dengan lauk dan tarif angkutan udara masing-masing sebesar 0,01%. Sementara itu, komoditas yang menyumbang deflasi pada periode laporan berasal dari komoditas telur ayam ras sebesar -0,05% dan bawang merah sebesar -0,01%," papar keterangan tertulis BI.

Jika sesuai dengan ekspektasi pasar, maka laju inflasi Tanah Air melambat. Pada Desember 2020, inflasi MtM adalah 0,45%, YoY 1,68%, dan inflasi inti 1,6% YoY.

Perlambatan laju inflasi menandakan permintaan domestik masih lemah. Lebih-lebih kalau melihat inflasi inti, yang merupakan indikator kekuatan daya beli. Inflasi inti kini mencapai titik terendah sejak BPS melaporkan data ini pada 2004.

Memasuki 2021, yang digadang-gadang gilang-gemilang penuh harapan, ternyata situasinya masih sama. Kalau melihat perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/ Covid-19), yang ada malah tambah parah.

Pandemi yang tidak kunjung terkendali membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah di Jawa-Bali. Sedianya PPKM berakhir pada 25 Januari 2021, tetapi kemudian diperpanjang dua pekan lagi.

PPKM praktis mengharapkan warga untuk #dirumahaja. Sejak PPKM berlaku, mobilitas masyarakat terpantau turun.

Saat mobilitas berkurang, artinya roda ekonomi bergerak lambat. Kala aktivitas ekonomi lesu, itu tandanya permintaan lemah. Jadi jangan heran kalau laju inflasi masih woles.

Kedua adalah rilis data pertumbuhan ekonomi pada 5 Februari 2021. Konsensus sementara yag dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal IV-2020 tumbuh -2% YoY.

Artinya, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) selama tiga kuartal beruntun. Indonesia belum bisa lepas dari resesi.

Sementara pertumbuhan ekonomi sepanjang 2020 diperkirakan -2,1% YoY. Kalau terwujud, maka akan menjadi pertumbuhan negatif pertama sejak 1998.

Kemudian beberapa institusi memberikan proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi 2021. Nilai mediannya berada di 3,835% YoY. Lebih rendah ketimban 'ramalan' Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 4,8%.

Institusi

Pertumbuhan Ekonomi Q IV-2020 (%QtQ)

Pertumbuhan Ekonomi Q IV-2020 (%YoY)

Pertumbuhan Ekonomi 2020 (%YoY)

Pertumbuhan Ekonomi 2021 (%YoY)

CIMB Niaga

-1.14

-2.9

-2.3

-

Bank Danamon

0.76

-1.04

-1.78

3.46

Mirae Asset

0.03

-1.75

-1.96

4.15

ING

-

-2

-

-

Maybank Indonesia

-0.52

-2.29

-2.1

4.4

Citi

1.2

-0.6

-

-

BNI Sekuritas

-0.27

-1.83

-1.92

3.52

Moody's Analytics

1.6

-3.1

-2.2

-

Bank Permata

-0.73

-2.5

-2.15

-

MEDIAN

-0.12

-2

-2.1

3.835

Jika ekspektasi ini menjadi kenyataan, maka bisa menjadi sentimen negatif di pasar keuangan Indonesia. Tahun 2021 yang digadang-gadang jadi momentum kebangkitan yang membuat ekonomi Indonesia meroket, ternyata 'segitu doang'. Pertumbuhan ekonomi 2021 tidak sampai 4%.

Apalagi ini masih awal tahun, masih sangat mungkin angka-angka proyeksi itu direvisi. Kalau pandemi tidak bisa teratasi dan semakin ganas, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah dari itu. Amit-amit jabang bayi...

 

Sentimen ketiga, investor juga perlu memantau rilis data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur berbagai negara pada 1 Februari 2021. PMI adalah salah satu indikator mula (leading indicator) yang sering digunakan untuk 'menerawang' arah perekonomian ke depan.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka berarti dunia usaha berada di fase ekspansi sehingga ekonomi akan bergeliat.

Rata-rata PMI manufaktur global pada 2020 adalah 49,17. Artinya, pengusaha masih 'tiarap', masih kontraksi.

Nah, angka PMI Januari 2021 akan memberi gambaran bagaimana kira-kira kondisi perekonomian tahun ini. Apakah betul bahwa kebangkitan ekonomi sudah di depan mata, atau ternyata hanya fatamorgana? Ini yang akan terjawab besok...

Sentimen keempat, pada akhir pekan depan, US Bureau of Labor Statistics (BLS) akan merilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam periode Januari 2021. Pada Desember 2020, tingkat pengangguran AS tercatat 6,7% dan bulan ini bisa naik ke 6,8%, seperti konsensus pasar yang dihimpun Reuters.

Angka pengangguran akan menentukan arah kebijakan moneter. Sebab, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tidak hanya bertugas mengawal inflasi, tetapi juga memastikan penciptaan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

Dengan pasar tenaga kerja yang masih rapuh, besar kemungkinan The Fed tetap mempertahankan kebijakan ultra-longgar. Suku bunga acuan akan tetap rendah, dan gelontoran likuiditas melalui pembelian aset (quantitative easing) terus berlangsung. Kemungkinan ini masih akan terjadi dalam hitungan tahun.

Kebijakan tersebut membuat likuiditas dolar AS melimpah. Belum lagi pemerintahan AS di bawah komando Presiden Josep 'Joe' Biden berencana menggelontorkan paket stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.

Barang yang mengalami kelebihan pasokan (oversupply) pasti harganya bakal turun. Demikian pula mata uang, likuiditas dolar AS yang berceceran akan membuat nilai mata uang ini melemah.

Sepertinya pelemahan dolar AS masih menjadi tema besar di pasar keuangan dunia pada tahun ini. Kalau dolar AS melemah, maka mata uang lain punya ruang untuk menguat, tidak terkecuali rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular