
Laju Penguatan Terhenti, Rupiah Dekati Rp 14.800/US$ Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Penguatan rupiah dalam enam hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) akhirnya terhenti. Mata Uang Garuda bahkan melemah cukup tajam, 0,61% ke 14.785/US$, melansir data Refinitiv.
Setelah menguat tajam dalam lima pekan beruntun, koreksi yang dialami rupiah terbilang wajar, apalagi sebentar lagi pasar keuangan Indonesia akan libur panjang menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Indeks dolar AS yang rebound sejak Jumat pekan lalu memberikan tekanan bagi rupiah. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut menguat 0,54% pada perdagangan Jumat dan berlanjut lagi 0,1% pada Senin (17/4/2023) pagi ini.
Dolar AS mampu bangkit setelah Gubernur The Fed Christopher Waller mengatakan meski bank sentral sudah agresif menaikkan suku bunga, tetapi masih belum membuat banyak progres membawa inflasi kembali ke target 2% dan perlu untuk menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi.
Selain itu, Presiden The Fed wilayah Atlanta, Raphael Bostic mengatakan kebaikan suku bunga 25 basis poin sekali lagi akan membuat The Fed mencapai terminal rate dengan lebih yakin mampu menurunkan inflasi ke target.
Tetapi di sisi lain, Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan The Fed kemungkinan tidak perlu lagi menaikkan suku bunga. Sebabnya, pasca kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) dan dua bank lainnya, perbankan di Amerika Serikat kemungkinan akan lebih berhati-hati menyalurkan kredit, sehingga likuiditas akan menjadi lebih ketat.
"Perbankan kemungkinan akan lebih berhati-hari dalam kondisi saat ini. Kita sudah melihat pengetatan standar penyaluran kredit di sistem perbankan dibandingkan sebelumnya, dan kemungkinan akan ada pengetatan lebih lanjut. Pembatasan kredit bisa menjadi substitusi untuk kenaikan suku bunga The Fed," kata Yellen dalam adara "Fareed Zakaria GPS" CNN, yang dikutip CNBC International, Minggu (17/4/2023).
Tekanan bagi rupiah semakin besar setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan surplus neraca perdagangan yang menurun jauh mencapai US$ 2,91 miliar. Posisi surplus ini dicapai setelah impor Indonesia tercatat US$23,50 miliar lebih rendah dari ekspor sebesar US$ 20,59 miliar.
Surplus tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Februari 2023 yang mencapai US$ 5,48 miliar. Surplus ini jauh lebih rendah dari konsensus pasar yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia dari 14 lembaga. Lembaga tersebut memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Maret 2023 sebesar US$ 4,19 miliar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
