
Mister Biden Mau Naikin Pajak Ya? RI Untung atau Buntung Nih?

Sentimen ketiga, investor masih harus mewaspadai tren kenaikan yield obligasi pemerintah AS. Sentimen ini terus menjadi momok di pasar keuangan negara berkembang, dan sepertinya belum reda.
Thomas Birkin, Presiden The Fed cabang Richmond, menyatakan bahwa kenaikan yield mencerminkan optimisme terhadap prospek ekonomi AS. Kenaikan yield, yang mencerminkan kenaikan ekspektasi inflasi, menandakan permintaan bakal meningkat.
"Momentum pemulihan ekonomi memang semakin terlihat. Sepertinya kita akan melihat (permintaan) yang kuat pada musim panas ini yang berlanjut ke musim gugur. Permintaan akan meningkat seiring semakin cepatnya vaksinasi sehingga ekonomi akan tumbuh lebih tinggi," kata Birkin kepada CNBC International.
Dalam proyeksi terbarunya, The Fed memperkirkaan Produk Domestik Bruto (AS) tumbuh 6,5% pada 2021. Jika terwujud, maka akan menjadi catatan terbaik sejak 1984.
So, sepertinya The Fed sudah menganggap kenaikan yield sebagai sesuatu yang wajar karena ekspektasi terhadap prospek ekonomi AS yang semakin membaik. Sepanjang yield obligasi pemerintah AS terus naik, maka pasar keuangan negara-negara lain sebaiknya bersiap menghadapi tekanan lebih lanjut.
Sentimen keempat, masih terkait AS, sepertinya hubungan Washington-Beijing akan semakin memanas. Akhir pekan lalu, pemerintah China melarang mobil Tesla memasuki komplek militer karena kekhawatiran soal keamanan negara. Ada kemungkinan kamera terpasang di mobil bikinan AS itu sehingga rahasia negara bisa bocor.
Langkah ini semacam balas dendam karena AS memperlakukan perusahaan China dengan kebijakan serupa. Huawei, misalnya, dibatasi untuk memasok komponen bagi perusahaan teknologi AS karena isu ancaman keamanan.
Awalnya ada kelegaan karena Biden dianggap tidak akan sefrontal Trump dalam hal relasi dengan China. Namun ternyata hampir sama, Biden pun masih 'galak' terhadap Negeri Panda.
Dalam pertemuan AS-China di Achorage (Alaska), kedua kubu pun rada 'panas'. Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, menegaskan bahwa Washington cemas akan kebijakan China di beberapa aspek seperti dugaan penindasan terhadap etnis minoritas di Xinjiang, opresi kepada gerakan pro-demokrasi di Hong Kong, dugaan serangan siber ke AS, sampai provokasi di Laut Chiha Selatan.
"Kami akan mendiskusikan soal kekhawatiran yang mendalam tentang aksi China di Xinjiang, Hong Kong, Taiwan, serangan siber, dan sebagainya. Setiap tindakan ini mengancam stabilitas dunia," tegas Blinken di hadapan delegasi China, seperti dikutip dari Reuters.
Dibilang begitu, China tentu tidak terima. Yang Jiechi, Diplomat Senior China, dalam pidatonya selama 15 menit menyatakan bahwa AS pun punya masalah dalam berdemokrasi, penegakan hak-hak kelompok minoritas, dan lain-lain.
"AS beserta kekuatan militer dan hegemoni finansialnya telah melampaui batas yurisdiksi dan menekan negara-negara lain. AS melakukan pelanggaran atas nama keamanan nasional untuk menghambat perdagangan dan sekarang mengajak negara-negara lain untuk melawan China," tutur Yang, sebagaimana diberitakan Reuters.
Sepertinya ketegangan hubungan AS-China belum bisa dicoret dari daftar. Risiko ini masih menghantui perekonomian dunia dan bisa menjadi hambatan menuju pemulihan.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (3)
(aji/aji)
