Newsletter

Mister Biden Mau Naikin Pajak Ya? RI Untung atau Buntung Nih?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 March 2021 06:00
Markets Wall Street. (AP/Courtney Crow)
Ilustrasi Bursa Saham AS (AP/Courtney Crow)

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang akhir pekan lalu melemah tajam. Ini bisa membuat mental pelaku pasar di Asia menjadi kalah sebelum bertanding.

Sentimen kedua, masih dari AS, pelaku pasar mulai mengendus adanya kemungkinan pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden untuk menaikkan tarif pajak. Maklum, pemerintah butuh pemasukan untuk membiayai pembengkakan pengeluaran, termasuk untuk paket stimulus bernilai US$ 1,9 triliun.

"Ini (kenaikan tarif pajak) sudah patut menjadi hal yang dianggap serius. Ini akan segera dibicarakan dan akan menjadi kenyataan," tutur Quincy Krosby, Chief Market Strategist di Prudential Financial, seperti dikutip dari Reuters.

"Dalam 6-8 bulan ke depan, pasar akan semakin khawatir dengan isu tersebut," tambah Jonathan Golub, US Equity Strategist di Credit Suisse, juga dikutip dari Reuters.

Baca: Jika Biden Jadi Penunggu Baru Gedung Putih, Indonesia Untung?

Pada masa kampanye, Biden memang mengusulkan kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 21% menjadi 28%. Rencana ini mendapat dukungan dari Janet Yellen, Menteri Keuangan AS.

Menurut riset Citi, kenaikan tarif PPh dari 21% menjadi 25% saja sudah menggerus laba emiten anggota S&P 500 sekitar 4-5%. Kalau tarif naik sampai 28%, maka laba akan turun 6-7%.

"Teorinya jika Anda membeli saham sebuah emiten karena ekspektasi kenaikan laba akibat dorongan stimulus, maka perlu dicatat bahwa laba itu akan tergerus oleh pajak," kata Tobias Levkovich, US Equity Strategist di Citi, seperti dikutip dari Reuters.

Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, pemerintah AS memangkas tarif PPh baik Badan maupun Orang Pribadi. Sebelum pemotongan tarif pajak, rata-rata PPh yang dibayar emiten anggota S&P 500 adalah 25,4% pada kuartal III-2017. Pada kuartal III-2020, turun drastis menjadi rata-rata 17,54%.

pajakSumber: Reuters

"Laba perusahaan naik signifikan saat pemerintahan Trump. Apakah laba itu akan tergerus sampai habis jika ada aturan tarif pajak baru? Mungkin saja, bahkan sangat mungkin," ujar Brad McMillan, Chief Investment Officer di Commonwealth Financial Network, seperti diberitakan Reuters.

Kenaikan tarif pajak di AS bisa menjadi sentimen positif atau negatif. Berita buruknya dulu, kemungkinan Wall Street akan kembali tertekan karena persepsi penurunan laba perusahaan. Kalau Wall Street merah, maka pasar keuangan lain akan mengikuti, termasuk Indonesia.

Kabar baiknya, kenaikan tarif PPh di AS akan membuat perusahaan-perusahaan di sana memindahkan aktivitas di negara lain. Dalam visi-misi kampanye, Biden memang berencana untuk mengenakan tarif PPh sebesar 21% bagi perusahaan yang melakukan relokasi ke luar negeri. Namun 21% lebih baik ketimbang 28% bukan?

Jadi ada kemungkinan perusahaan-perusahaan AS akan melakukan relokasi agar tidak membayar pajak terlalu tinggi. Indonesia bisa menjadi salah satu tempat tujuan, yang jika terwujud tentu berdampak positif bagi ekonomi Ibu Pertiwi. Lapangan kerja terbuka, pemerintah Indonesia pun mendapatkan tambahan setoran pajak.

Baca: Biden Diramal Gantikan Trump, Ngaruhnya Apa Buat Indonesia?

Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular