Masalah Baru Setelah Pandemi Corona: Taper Tantrum Jilid II

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2020 06:30
Ilustrasi Dollar Rupiah
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat dunia berubah, termasuk para pengambil kebijakan. Virus yang awalnya menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini memaksa pengambil kebijakan menempuh langkah yang tidak biasa.

Dari sisi kesehatan dan kemanusiaan, pemerintah meminta (bahkan ada yang memaksa) rakyatnya untuk tinggal di rumah. Maklum, virus lebih cepat menyebar saat terjadi kontrak dan interaksi antar-manusia.

Pembatasan sosial alias social distancing menjadi opsi kebijakan yang lazim. Demi mempersempit ruang gerak penyebaran virus, segala aktivitas yang berpotensi menimbulkan kerumunan manusia dipaksa berhenti sementara.

Pabrik, kantor, sekolah, rumah ibadah, pertokoan, restoran, lokasi wisata, transportasi umum, dan sebagainya tidak boleh dikunjungi oleh terlalu banyak orang. Bahkan sekolah belum bisa menjadi tempat belajar-mengajar, proses ini masih dilakukan dari jauh melalui bantuan teknologi informasi.

Aktivitas masyarakat yang sangat terbatas pada masa pandemi membuat roda perekonomian sulit bergerak. Selain karena kebijakan pemerintah, tidak sedikit warga yang masih khawatir berkegiatan d luar rumah karena risiko terpapar virus mematikan.

Akibatnya, dua sisi ekonomi sekaligus yaitu produksi dan permintaan sama-sama anjlok. Aktivitas ekonomi yang mati suri ini dicerminkan dalam kontraksi (pertumbuhan negatif) dari Produk Domestik Bruto (PDB), utamanya pada kuartal II-2020.

Ketika kontraksi terjadi dalam dua kuartal beruntun, itu namanya resesi. Mengutip catatan Trading Economics, sudah ada 47 negara yang masuk zona resesi.

Para pengambil kebijakan tidak hanya dipusingkan oleh penanganan pagebluk dari sisi kesehatan dan kemanusiaan, tetapi juga sosial-ekonomi. Saat resesi, dunia usaha dan rumah tangga tidak bisa menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Negara yang harus bergerak.

Pemerintah melalui kebijakan fiskal menggelontorkan stimulus berupa bantuan sosial, subsidi pajak, subsidi bunga, dan sebagainya. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat hingga Mei 2020 nilai total stimulus fiskal di seluruh dunia mencapai US$ 9 triliun atau sekira Rp 133.258,05 triliun.

coronaIMF

Tidak cuma pemerintah, bank sentral pun turut ambil bagian dalam penyelamatan ekonomi. Saat ini sudah bukan masanya lagi mencetak uang secara harfiah, tetapi bank sentral 'mencetak uang' dengan menggelontorkan likuiditas ke pasar.

Misalnya bank sentral Amerika Serikat/AS (The Federal Reserve/The Fed). Seja akhir 2019, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps). Kini suku bunga acuan Negeri Paman Sam sudah menyamai apa yang terjadi kala krisis keuangan global 2008-2009 (Global Financial Crisis/GFC).

Tidak berhenti sampai di situ, The Fed juga mulai menggalakkan kembali program pembelian aset-aset di pasar keuangan. Awalnya program ini dibatasi maksimal US$ 700 miliar, tetapi kini tidak dibatasi, sesuai dengan kebutuhan untuk menopang pasar.

Kemudian pada 23 Maret, The Fed mengumumkan program pinjaman langsung kepada dunia usaha dan rumah tangga senilai US$ 300 miliar. Terakhir, pada 9 April The Fed merilis stimulus jumbo bernilai US$ 2,3 triliun dalam bentuk pembelian aset dan penyaluran kredit.

"Fokus kami adalah jangka pendek dulu. Perkiraan saya, perilaku masyarakat akan berubah meski tidak bisa cepat. Nantinya, orang-orang akan kembali ke bioskop, jalan-jalan, dan punya keyakinan. Namun proses menuju ke sana akan bertahap dan tentatif," kata Powell, sebagaimana dikutip dari CNBC International.

Ke depan, sepertinya kebijakan ultra longgar seperti ini akan bertahan. Dalam simposium Jackson Hole baru-baru ini, The Fed memutuskan untuk mengubah target inflasi dari 2% menjadi rata-rata 2% untuk beberapa waktu ke depan.

"Perubahan ini merefleksikan tujuan kami untuk mewujudkan pasar tenaga kerja yang kuat, terutama bagi masyarakat berpendapatan menengah-bawah. Kami ingin agar upaya mendorong pasar tenaga kerja ini tanpa menyebabkan peningkatan inflasi," kata Powell, sepeti dikutip dari keterangan tertulis.

Dengan perubahan ini, The Fed seakan memberi 'restu' bagi suku bunga rendah dan berbagai kebijakan penggelontoran likuiditas. Kebijakan ini bisa memicu laju inflasi, tetapi tidak apa-apa karena fokus saat ini adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

Selama pola kebijakan seperti ini masih dipertahankan, maka likuiditas di pasar keuangan dan perekonomian AS secara keseluruhan akan 'membanjir'. Likuiditas itu merembes dan mengucur ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Mentalitas 'beli, beli, dan beli' muncul dan menggairahkan pasar keuangan dunia.

Berkat 'belas kasih' The Fed (dan bank sentral lain), uang murah membanjiri dunia. Berbagai aset diborong, bahkan yang berisiko sekalipun.

Namun sampai kapan The Fed bermurah hari seperti ini? Sampai kapan free money tetap akan tersedia di pasar?

Sulit untuk menjawabnya. Dalam beberapa krisis terakhir, seperti dotcom bubble atawa GFC, ada siklus boom-burst yang bisa dihitung. Setelah krisis mencapai dasar, bisa diperkirakan berapa waktu yang dibutuhkan untuk rebound.

Namun kali ini sama sekali berbeda, karena penyebab krisis bukan dari sektor keuangan melainkan kesehatan. Selama virus corona masih ganas dan berkeliaran, maka ketidakpastian masih sangat tinggi.

Pada Mei-Juni, dunia dilanda euforia karena laju kasus corona melambat. Euforia ini kemudian diwujudkan dalam bentuk reopening, membuka kembali 'keran' aktivitas publik yang terkunci selama berbulan-bulan. Ada harapan ekonomi bisa pulih pada paruh kedua 2020.

Namun takdir berkata lain. Reopening menyebabkan intensitas interaksi dan kontak antar-manusia meningkat sehingga infeksi virus corona kembali meningkat. Dunia kini mengalami apa yang dikhawatirkan sebelumnya yaitu gelombang serangan kedua (second wave outbreak).

Lonjakan pasien positif corona membuat pemerintah di berbagai negara mundur lagi. Social distancing yang sempat dikendurkan kini ditegakkan lagi. Hasilnya, roda ekonomi yang sempat berputar sekarang macet lagi.

Jadi selama pandemi belum teratasi, maka ekonomi masih tetap akan seperti ini. Buka-tutup-buka-tutup, begitu saja terus tanpa pernah mencapai kapasitas maksimal seperti dulu.

Tumpuan harapan kini ada di vaksin anti-virus corona. Vaksin diharapkan mampu menciptakan 'tameng' yang membuat tubuh kita bisa menangkal virus mematikan tersebut.

Saat ini ratusan calon vaksin tengah dikembangkan di berbagai negara. Skenario paling optimistis adalah vaksin bisa tersedia pada akhir tahun ini.

"Pada akhir tahun ini atau awal 2021, saya yakin. Tidak ada yang bisa menjamin, tetapi saya optimistis bahwa kita akan punya satu vaksin atau lebih dan mulai bisa mendistibusikannya kepada masyarakat," kata Anthony Fauci, Direktur US National Institute of Allergy and Infectious Disease, sebagaimana diwartakan Reuters.

Menciptakan vaksin adalah satu hal, tetapi memproduksi secara massal dan mendistribusikannya adalah hal yang lain. Dunia butuh miliaran dosis vaksin, dan harus terdistribusi kepada penduduk perkotaan hingga mereka yang tinggal di pegunungan Himalaya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Aliansi Vaksin Dunia (Gavi) dalam program Covax menargetkan untuk memberikan vaksin kepada 20% warga yang paling berisiko di seluruh negara anggota pada akhir 2021. Boleh dibilang ini adalah tahap awal dari prises vaksinasi global, setelah itu diharapkan dunia bisa lebih siap menghadapi virus corona.

Situasi dunia akan lebih cerah pada akhir 2021, ini adalah skenario paling optimistis. Jadi, kita andaikan ini adalah dasar dari krisis corona. Setelah sudah menyentuh dasar krisis, diharapkan akan mulai terjadi pembalikan (dengan syarat tidak ada gelombang serangan kesekian). Ekonomi bisa berjalan dengan lebih tenang, kontraksi bisa diangkat.

Nah, pada saat seperti ini terbuka kemungkinan bagi The Fed untuk mulai melakukan penyesuaian. Mungkin pada awal 2022, The Fed akan mulai memberi sinyal tentang meninggalkan kebijakan ultra longgar untuk menuju pengetatan (tapering off). Walau untuk menuju pelonggaran butuh waktu lama mengingat dampak pandemi virus corona begitu luar biasa...

Situasi ini pernah terjadi pada rentang 2013-2015. Kala itu The Fed yang masih dipimpin oleh Janet Yellen berulang kali memberi petunjuk mengenai perubahan arah kebijakan karena ekonomi mulai menunjukkan pemulihan yang stabil setelah masa-masa sulit akibat GFC.

Setelah memberikan sinyal pada 2013, suku bunga acuan baru benar-benar naik pada 2015. Investor dibuat menunggu selama 2-3 tahun. Periode melelahkan yang dikenal sebagai taper tantrum.


Namun yang jelas, pelaku pasar sudah punya pandangan bahwa cepat atau lambat suku bunga di Negeri Adikuasa akan naik. Ini membuat dolar AS yang berceceran di delapan penjuru mata angin sebagai akibat kebijakan quantitative easing ramai-ramai pulang kampung.

Investor bernafsu memburu dolar AS karena ada iming-iming suku bunga bakal naik. Arus modal yang menyemut di sekitar dolar AS membuat mata uang itu menguat.

Sejak akhir 2012 hingga penghujung 2015, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melonjak 23,64%.

Kala itu, dolar AS menjadi 'raja' mata uang dunia. Dolar AS begitu perkasa dan membuat mata uang lainnya teraniaya.

Salah satu korban keberingasan dolar AS kala itu adalah rupiah. Dalam periode yang sama, mata uang Ibu Pertiwi anjlok 43,15% di hadapan dolar AS.

"Itu situasi yang sulit, sangat tidak mudah. Rapat bermalam-malam. Sulit," kenang Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia (BI) kala itu.

Hasil dari rapat bermalam-malam itu tertuang dari kebijakan ekstrem bank sentral, yakni meningkatkan suku bunga 175 bps dari 5,75% menjadi 7,5% dalam rentang delapan bulan. Sebuah preseden yang belum pernah terjadi sejak instrumen suku bunga kebijakan diperkenalkan.

So, setelah krisis corona kelar sepertinya dunia masih belum bisa tidur tenang. Sebab akan muncul satu satu ketidakpastian baru bernama taper tantrum jilid II. Apalagi sepertinya periode taper tantrum jilid II ini akan lama, karena ekonomi AS sempat jatuh ke titik nadir. Tidak mungkin ada penyesuaian dalam jangka pendek. Namun begitu The Fed baru memberi sinyal saja, pasti pasar sudah akan bergerak.

Plus ada pula risiko krisis utang karena pemerintah begitu jor-joran ngebon demi stimulus fiskal selama masa pandemi. Pusing kepala Barbie...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular