Jakarta, CNBC Indonesia - Prospek pemulihan ekonomi dunia semakin samar-samar. Penjualan mobil yang sempat membaik kembali terpuruk pada Agustus 2020. Tanda-tanda ini menjadi sinyal kuat kondisi resesi ke arah yang lebih parah yaitu depresi.
Mengutip data Marklines, penjualan mobil di delapan negara menunjukkan pemburukan. Hanya dua negara yang mampu mencatatkan perbaikan penjualan pada Agustus dibandingkan bulan sebelumnya yaitu Argentina dan Meksiko, sisanya anjlok.
Paling parah terjadi di Prancis. Pada Juli, penjualan mobil di Negeri Anggur naik 3,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Namun pada bulan berikutnya, penjualan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 1,98% YoY.
Lembaga pemeringkat Moody's memperkirakan penjualan mobil di seluruh dunia tahun ini turun 2,5% dibandingkan 2019. Lebih buruk dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu turun 0,9%. Secara nominal, penjualan mobil pada 2020 diperkirakan 88 juta unit sedangkan tahun lalu ada di 90,3 juta unit.
"Konsumen rumah tangga masih ragu untuk keluar rumah, apalagi ke tempat yang berpotensi ada kerumunan manusia. Sementara permintaan kendaraan oleh perusahaan juga lemah, karena ketidakpastian ekonomi membuat korporasi mengurangi belanja modal," sebut riset Moody's.
Penjualan mobil mencerminkan kekuatan daya beli masyarakat. Saat masyarakat berkenan membeli mobil, yang merupakan kebutuhan sekunder bahkan tersier, artinya daya beli rakyat kuat. Sudah selesai dengan urusan sandang, pangan, papan.
Oleh karena itu, penjualan mobil akan mencerminkan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, formula itu terbukti di mana penjualan mobil bergerak searah dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia tidak lepas dari dinamika pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Setelah sempat mereda, penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu kembali menggila.
Mengutip data WHO, jumlah pasien positif corona per 2 September adalah 25.602.665 orang. Bertambah 245.984 orang (0,97%) dibandingkan posisi hari sebelumnya. Dalam 14 hari terakhir (20 Agustus-2 September), rata-rata pasien baru bertambah 257.522 orang per hari.
Pada Mei-Juni, berbagai negara sempat melakukan pelonggaran pembatasan sosial (social distancing) karena penyebaran virus corona memang melambat. Bahkan negara seperti Jerman, Selandia Baru, sampai Vietnam sudah mendeklarasikan kemenangan dalam perang melawan pandemi virus corona.
Namun takdir mengatakan lain. Peningkatan intensitas kontak dan interaksi antar-manusia seiring pelonggaran social distancing membuat virus lebih mudah menyebar. Akibatnya, dunia menghadapi apa yang menjadi kekhawatiran: gelombang serangan kedua (second wave outbreak).
Lonjakan kasus membuat berbagai negara kembali mengetatkan pembatasan sosial, meski dalam 'dosis' yang tidak setinggi sebelumnya. Misalnya, pemerintah Filipina memberlakukan karantina wilayah (lockdown) tetapi terbatas di wilayah metropolitan Manila.
Kemudian di India, pemerintah Punjab mengumumkan perpanjangan lockdown sampai akhir bulan ini. Negara bagian itu melarang segala aktivitas yang berpotensi menciptakan kerumunan. Upacara pernikahan dan pemakaman hanya boleh dihadiri masing-masing 30 dan 20 orang saja.
Punjab juga menerapkan jam malam. Warga tidak boleh keluar rumah mulai pukul 19:00 hingga 05:00 waktu setempat, berlaku setiap hari tidak mengenal libur. Perkembangan seperti ini terjadi di banyak negara.
Reopening berubah menjadi reclosing dalam waktu singkat. Roda ekonomi yang sempat berputar kembali macet.
Ekonomi dunia di ambang (atau mungkin sudah) resesi. Namun selama virus corona belum bisa dienyahkan, maka resesi itu bisa berlangsung lama. Resesi yang berlangsung lama namanya depresi.
Amit-amit...
TIM RISET CNBC INDONESIA