
Ini Rahasia Agus Martowardojo Lewati Badai Krisis Ekonomi

Jakarta, CNBC Indonesia - Agus Martowardojo, mantan Gubernur Bank Indonesia periode 2013-2018, menyebutkan sepanjang kariernya selama 25 tahun di industri perbankan, kerap dihadapkan pada krisis baik besar maupun kecil. Namun tantangan tersebut dilaluinya dengan memegang teguh prinsip yang diajarkan sang ayah: integritas dalam bekerja.
Mantan Dirut PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) ini mengatakan ayahnya selalu mengingatkan untuk selalu memiliki 'kaki' yang kuat dalam menghadapi kondisi apapun.
Artinya, dalam bekerja, seseorang harus mengedepankan prinsip dan integritas sehingga tak menjadi beban dan bergantung kepada orang lain.
"Ayah saya kalau ketemu dengan saya, yang saya ingat ayah saya katakan 'Agus dalam segala kondisi harus punya kaki yang kuat dan itu adalah prinsip dan integritas dalam keadaan apapun. kalau jadi orang jangan membebani orang lain, harus bisa tidak bergantung kepada orang lain'," kata Agus di Komplek Bank Indonesia, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Cerita Agus ini diungkapkan usai peluncuran buku biografi "Agus Martowardojo, Pembawa Perubahan" di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin malam (2/9/2019).
Buku tersebut adalah cerita perjalanan hidup Agus Martowardojo selama menjabat sebagai bankir, Menteri Keuangan periode 2010-2013, dan Gubernur BI periode 2013-2018.
Prinsip tersebut terus dipegangnya sejak karier awalnya bergabung dengan Bank Niaga (kini PT Bank CIMB Niaga Tbk) dan harus merapikan kondisi bank tersebut.
Kemudian berlanjut pada tugasnya berikutnya untuk memperbaiki kondisi Bank Bumiputera (kini PT MNC Bank Tbk) yang kala itu dinilai telah menggerogoti induk usahanya, Asuransi Bumi Putera.
"Bangunan dan deposito dijaminkan untuk menjaga banknya sehat. Saya hadir bersama jajaran, kami selesaikan permasalahan itu dalam 7 bulan. Perusahaan rugi kami jadikan modalnya biru, jadikan perusahaan untung dan bangkit dan kembali menjalankan tugas intermediasinya," jelas Agus.
Tak sampai di situ, masalah pelik kembali dihadapinya ketika harus berhadapan dengan rencana penggabungan empat bank ketika Indonesia mengalami krisis keuangan berat di era 1997-1998.
Dia menjelaskan, kala itu konsultan asing menilai untuk menggabungkan dan restrukturisasi keempat bank tersebut membutuhkan waktu selama 4 tahun.
Namun berkat tangan dinginnya beserta dengan tim lain, penggabungan bank tersebut yang kini menjadi Bank Mandiri hanya membutuhkan waktu 7 bulan. Pada Juli 1999, empat bank BUMN yaitu, Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) digabung menjadi Bank Mandiri.
Proses yang dilakukan tak hanya menurunkan tingkat kredit macet (non performing loan/NPL) bank dari 60%, tapi juga mendapatkan suntikan dana segar senilai Rp 175 triliun.
"Kami selesaikan 7 bulan dari Desember-Agustus sudah bisa legal merger dan peroleh suntikan dari pemerintah melalui persetujuan dari DPR senilai Rp 175 triliun dan itu uang tahun 1997-1998, itu kalau sekarang nilanya sama dengan Rp 1.750 triliun. Besar sekali," jelas dia.
Tak berhenti di situ, kariernya di Bank Mandiri berlanjut ketika kembali ditunjuk menjadi direktur utama. Kala itu kondisi NPL Mandiri lagi-lagi menjadi sorotan ketika berada di level 27% dengan laba yang turun drastis dari Rp 5,2 triliun menjadi Rp 600 miliar.
![]() |
Sebelum menjadi orang nomor satu di Mandiri, Agus melanglang buana ke sejumlah bank yakni Direktur Utama Bank Exim Indonesia (1998-1999), Managing Director Bank Mandiri (1999-2002), penasihat Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (2002), Direktur Utama Bank Permata (2002-2005), dan Presiden Direktur Bank Mandiri 2005-2010).
Ketika menjabat sebagai Menteri Keuangan di 2010-2013 pun dirinya tak lepas dari kondisi krisis ketika harga minyak dunia melebih US$ 100 per barel. Banyak kebijakan tak populer harus diambil, seperti menurunkan subsidi BBM untuk memperkuat kondisi fiskal negara.
Terakhir, saat menjabat Gubernur Bank Indonesia langkah paling berat yang dijalankannya adalah berkali-kali menaikkan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia.
Pertimbangannya ketika itu adalah di masa Taper Tantrum ketika Amerika Serikat mulai melakukan normalisasi dan mengurangi stimulus keuangan. Ini adalah istilah kebijakan moneter AS tahun 2013 yang langsung memukul kurs sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia.
Di masa ini kepemimpinannya ini, BI juga mulai mengeluarkan beberapa kebijakan baru seperti menetapkan suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate (7DRR) dan implementasi giro wajib minimum (GWM).
"Dengan visi dan komitmen yang baik dan trust kita bisa capai kesuksesan," ujar alumnus Universitas Indonesia dan State University of New York ini.
(tas) Next Article Bakal Jadi Komut BNI, Ini Sepak Terjang Agus Martowardojo
