Masalah Baru Setelah Pandemi Corona: Taper Tantrum Jilid II

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 September 2020 06:30
ilustrasi uang
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Para pengambil kebijakan tidak hanya dipusingkan oleh penanganan pagebluk dari sisi kesehatan dan kemanusiaan, tetapi juga sosial-ekonomi. Saat resesi, dunia usaha dan rumah tangga tidak bisa menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Negara yang harus bergerak.

Pemerintah melalui kebijakan fiskal menggelontorkan stimulus berupa bantuan sosial, subsidi pajak, subsidi bunga, dan sebagainya. Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat hingga Mei 2020 nilai total stimulus fiskal di seluruh dunia mencapai US$ 9 triliun atau sekira Rp 133.258,05 triliun.

coronaIMF

Tidak cuma pemerintah, bank sentral pun turut ambil bagian dalam penyelamatan ekonomi. Saat ini sudah bukan masanya lagi mencetak uang secara harfiah, tetapi bank sentral 'mencetak uang' dengan menggelontorkan likuiditas ke pasar.

Misalnya bank sentral Amerika Serikat/AS (The Federal Reserve/The Fed). Seja akhir 2019, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps). Kini suku bunga acuan Negeri Paman Sam sudah menyamai apa yang terjadi kala krisis keuangan global 2008-2009 (Global Financial Crisis/GFC).

Tidak berhenti sampai di situ, The Fed juga mulai menggalakkan kembali program pembelian aset-aset di pasar keuangan. Awalnya program ini dibatasi maksimal US$ 700 miliar, tetapi kini tidak dibatasi, sesuai dengan kebutuhan untuk menopang pasar.

Kemudian pada 23 Maret, The Fed mengumumkan program pinjaman langsung kepada dunia usaha dan rumah tangga senilai US$ 300 miliar. Terakhir, pada 9 April The Fed merilis stimulus jumbo bernilai US$ 2,3 triliun dalam bentuk pembelian aset dan penyaluran kredit.

"Fokus kami adalah jangka pendek dulu. Perkiraan saya, perilaku masyarakat akan berubah meski tidak bisa cepat. Nantinya, orang-orang akan kembali ke bioskop, jalan-jalan, dan punya keyakinan. Namun proses menuju ke sana akan bertahap dan tentatif," kata Powell, sebagaimana dikutip dari CNBC International.

Ke depan, sepertinya kebijakan ultra longgar seperti ini akan bertahan. Dalam simposium Jackson Hole baru-baru ini, The Fed memutuskan untuk mengubah target inflasi dari 2% menjadi rata-rata 2% untuk beberapa waktu ke depan.

"Perubahan ini merefleksikan tujuan kami untuk mewujudkan pasar tenaga kerja yang kuat, terutama bagi masyarakat berpendapatan menengah-bawah. Kami ingin agar upaya mendorong pasar tenaga kerja ini tanpa menyebabkan peningkatan inflasi," kata Powell, sepeti dikutip dari keterangan tertulis.

Dengan perubahan ini, The Fed seakan memberi 'restu' bagi suku bunga rendah dan berbagai kebijakan penggelontoran likuiditas. Kebijakan ini bisa memicu laju inflasi, tetapi tidak apa-apa karena fokus saat ini adalah bagaimana menciptakan lapangan kerja yang maksimal (maximum employment).

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular