Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif sepanjang pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, tetapi nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah malah melemah.
Sepanjang pekan kemarin, IHSG memang menguat 1,71%. Namun investor asing masih membukukan jual bersih (net sell) Rp -832,86 miliar.
Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun naik 18,9 basis poin (bps) dalam sepekan. Kenaikan yield menunjukkan harga instrumen ini sedang turun.
Kepemilikan investor di Surat Berharga Negara (SBN) juga menyusut. Pada 2 April, kepemilikan asing tercatat Rp 931,88 triliun, turun Rp 157,77 triliun dibandingkan sebulan sebelumnya.
Seretnya arus modal asing di pasar saham dan SBN membuat rupiah sulit menguat. Selama minggu ini, rupiah terdepresiasi 1,86% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Sentimen yang mewarnai pergerakan pasar keuangan Indonesia pada pekan ini belum banyak berubah dibandingkan pekan-pekan sebelumnya. Investor masih berfokus ke pandemi virus corona atau Coronavirus Desease-2019 (Covid-19) yang semakin mengkhawatirkan.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 5 April menunjukkan jumlah pasien positif corona di Indonesia adalah 2.273 orang. Dari jumlah tersebut, 198 orang meninggal dunia (tingkat kematian/mortality rate 8,71%).
Seminggu sebelumnya, jumlah pasien corona di Tanah Air adalah 1.414 orang dan korban jiwa tercatat 122 orang (tingkat kematian 8,62%). Artinya jumlah pasien naik 60,75% dan korban meninggal bertambah 62,29% dalam sepekan.
Kecepatan pertumbuhan kasus corona di Indonesia sedikit banyak membuat investor cemas. Ini membuat Bursa Efek Indonesia dan pasar SBN dijauhi untuk sementara waktu.
"Perlambatan ekonomi terjadi di mana-mana sehingga investor tidak punya banyak pilihan. Kami melihat virus corona membuat investor tidak lagi melihat imbalan dalam berinvestasi. Investor memilih aset di negara yang dipandang virus corona lebih bisa dijinakkan melalui langkah-langkah penanggulangan," kata Stephen Innes, Chief Global Market di AxiCorp, seperti dikutip dari Reuters.
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama di bursa saham New York ambles sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 2,7%, S&P 500 melemah 2,08%, dan Nasdaq Composite terpangkas 1,7%.
Wall Street tidak akan selemah ini andai mampu menunjukkan performa yang lebih baik pada perdagangan akhir pekan. Pada akhir pekan lalu, DJIA anjlok 1,69%, S&P 500 jatuh 1,45%, dan Nasdaq melorot 1,53%.
Penyebabnya adalah rilis data ketenagakerjaan terbaru di Negeri Paman Sam. US Bureau of Labor Statistics melaporkan perekonomian AS kehilangan 701.000 lapangan kerja pada Maret 2010. Ini adalah kontraksi pertama sejak September 2010 dan menjadi yang terburuk sejak Maret 2009.
Hilangnya lapangan kerja membuat angka pengangguran di Negeri Paman Sam melonjak ke 4,4%. Ini menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2017.
"Pada dua bulan pertama 2020, rata-rata lapangan kerja bertambah 245.000 sebelum penurunan tajam akibat virus corona. Pengurangan lapangan kerja terbanyak ada di sektor hiburan dan rekreasi yaitu sebanyak 417.000 karena banyak restoran dan bar menutup operasi. Ini menghapus kenaikan dalam dua tahun terakhir," sebut William Beach, Komisioner US Bureau of Labor Statistics, seperti dikutip dari keterangan resmi.
Pasar tenaga kerja yang semakin ketat membuat investor mencemaskan prospek perekonomian Negeri Adidaya. Dikhawatirkan ekonomi AS bisa mencatatkan kontraksi (pertumbuhan negatif) dalam waktu yang tidak sebentar.
"Kita mendapat peringatan terhadap apa yang akan terjadi ke depan dari data ini. Sepertinya kita tidak akan melihat pola V-Shaped (kontraksi dalam kemudian pulih dengan cepat) karena benar-benar belum ada langkah signifikan untuk mengatasi penyebab dari semua masalah ini. Proses akan terus berlangsung dan memakan waktu," kata Mike Turvey, Institutional Senior Trading Strategist di TD Ameritrade, seperti dikutip dari Reuters.
Penyebab dari semua masalah yang disebut Turvey adalah pandemi virus corona. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis Sabtu (5/4/20 2020) pukul 23:09 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 1.237.420. Dari jumlah tersebut, 67.260 orang meninggal dunia (tingkat kematian 5,43%).
AS adalah negara dengan pasien corona terbanyak di dunia yaitu 321.762 orang. Korban jiwa akibat virus corona di Negeri Paman Sam mencapai 9.180 orang (tingkat kematian 2,85%).
Akibat terpaan virus corona, perekonomian AS diprediksi lumpuh. Wajar, sebab aktivitas warga sangat terbatas karena masyarakat takut (atau dilarang) keluar rumah agar tidak tertular virus. Hampir seluruh negara bagian di AS sudah menutup sekolah, museum, perkantoran, dan tempat-tempat yang menciptakan keramaian. Di beberapa negara bagian, restoran dan bar tidak melayani makan-minum di tempat, hanya boleh dibawa pulang.
Masalahnya, yang begini tidak cuma terjadi di AS. Berbagai negara pun melakukan kebijakan serupa. Bahkan negara seperti India dan Filipina menerapkan karantina wilayah alias lockdown. Warga sama sekali dilarang keluar rumah kecuali untuk urusan darurat, transportasi publik tidak beroperasi.
Jadi, kelesuan ekonomi menjadi sebuah fenomena global. Kala hampir seluruh negara mengalaminya, maka hasilnya adalah resesi ekonomi dunia.
"Kekhawatiran terhadap resesi ekonomi global semakin hari semakin terkonfirmasi. Sampai penyebaran virus mencapai puncak dan kemudian turun, sentimen positif hanya akan bertahan sebentar," kata Han Tan, Market Analyst di FXTM, seperti dikutip dari Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu saja perkembangan pandemi virus corona.
Presiden AS Donald Trump menyampaikan pesan yang sangat menyeramkan. Sang presiden ke-45 Negeri Adidaya mengatakan, ke depan akan ada banyak kematian akibat virus corona.
"Ada ada banyak kematian. Kita sudah sampai pada masa yang sangat berat. Mungkin kita tidak akan melihat angka (kematian) yang seperti ini kecuali saat Perang Dunia I atau II," kata Trump kepada para jurnalis di Gedung Putih, sebagaimana diwartakan Reuters.
Para pejabat di AS pun terlihat sudah benar-benar lelah, baik secara fisik maupun mental. "Baru 30 hari sejak kasus pertama, tetapi rasanya seperti seumur hidup," ujar Gubernur New York Andrew Cuomo, seperti diberitakan Reuters.
Dengan perkembangan pandemi virus corona yang semakin parah, suka tidak suka risiko resesi pasti meninggi. Dua institusi multilateral raksasa, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, menyebutkan saat ini perekonomian dunia sudah memasuki resesi.
"Ini adalah krisis yang berbeda dari sebelumnya. Kita sudah lihat perekonomian dunia tidak bergerak, dan sekarang sudah resesi. Ini lebih parah dibandingkan 2008-2009. Sepanjang hidup saya, inilah kegelapan terbesar bagi umat manusia, ancaman bagi seluruh dunia," tegas Kristalina Geogieva, Direktur Pelaksana IMF, juga dikutip dari Reuters.
Dalam survei Reuters yang dihelat pada 1-3 April dan melibatkan lebih dari 50 ekonom di Amerika Utara, Eropa, dan Asia, proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2020 menunjukkan median 1,2%. Padahal survei serupa tiga pekan sebelumnya menghasilkan median proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia masih 1,6%.
"Situasi saat ini lebih buruk ketimbang resesi 2008-2009, kami harus memangkas proyeksi. Minimnya kebijakan yang efektif untuk meredam penyebaran virus corona di negara maju dan negara berkembang membuat kami merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2020," kata Ethan Harris, Global Economist di Bank of America Merrill Lynch, seperti dikutip dari Reuters.
Tahun lalu, ekonomi dunia disebut-sebut bakal resesi gara-gara perang dagang AS-China. Ramalan itu tidak terbukti, malah AS-China sudah menyepakati perjanjian damai dagang pada pertengahan Januari 2020.
Sekarang isu resesi datang lagi dan bahkan semakin menguat akibat pandemi virus corona. Ibaratnya, virus corona adalah jelangkung yang memanggil kuntilanak bernama resesi. Apesnya, si mbak kunti kemungkinan besar bakal datang...
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Ada kemungkinan dolar AS bakal menguat sehingga menekan berbagai mata uang lain, termasuk rupiah.
Pada Senin (6/4/2020) pukul 01:33 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,5%. Dalam sebulan terakhir, indeks ini sudah melesat nyaris 5%.
Dalam situasi yang sangat tidak pasti, apalagi rasanya resesi sudah tidak mungkin dihindari, pelaku pasar menjauh dari aset-aset berisiko. Kini investor memilih untuk kembali 'primitif' dengan memegang uang tunai. Cash is king.
Namun yang dipilih para pelaku ekonomi bukan sembarang cash, tetapi dolar AS. Maklum, dolar AS adalah mata uang global yang sangat likuid. Segala urusan mulai dari perdagangan, investasi, pembayaran utang, sampai dividen bisa selesai kalau punya dolar AS. Permintaan dolar AS meningkat, nilainya pun menguat.
Apabila penguatan dolar AS terus bertahan, maka akan sulit bagi rupiah untuk menembus zona hijau. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang negara lain pun akan bernasib serupa kalau dolar AS seng ada lawan.
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Maret 2020. Pada Februari, IKK berada di 117,7. Masih di atas 100 berarti konsumen masih pede menghadapi perekonomian saat ini dan masa mendatang. Namun optimisme itu menipis, karena bulan sebelumnya masih 121,7.
IKK adalah salah satu indikator permulaan (leading indicator) untuk meneropong arah perekonomian ke depan. Ketika konsumen masih yakin dan berniat untuk meningkatkan konsumsi, maka prospek ekonomi akan cerah. Sebaliknya jika konsumen pesimistis maka prospek pertumbuhan ekonomi juga mendung, karena konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 60% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data IKK periode Maret 2020 (10:00 WIB).
- Konferensi pers perkembangan penanganan virus corona di Indonesia oleh Gugus Tugas Penanganan Covid-19 (tentatif).
- Komisi III DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Pertanian membahas realokasi anggaran terkait penanganan Covid-19 (10:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2019 YoY) | 5,02% |
Inflasi (Maret 2020 YoY) | 2,96% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2020) | 4,5% |
Surplus/defisit anggaran (APBN 2020) | -1,76% PDB |
Surplus/defisit transaksi berjalan (2019) | -2,72% PDB |
Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2019) | US$ 4,68 miliar |
Cadangan devisa (Februari 2020) | US$ 130,44 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA