Yuk Siap-siap, Minggu Depan Kayaknya Bakal Sibuk

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 April 2020 16:29
Yuk Siap-siap, Minggu Depan Kayaknya Bakal Sibuk
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini menjadi periode yang lumayan berat bagi pasar keuangan Indonesia. Namun pekan depan tantangan bukannya lebih ringan.

Sepanjang pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memang menguat 1,71%. Namun investor asing masih membukukan jual bersih (net sell) Rp 832,86 miliar.


Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) surat utang tenor 10 tahun naik 18,9 basis poin (bps) dalam sepekan. Kenaikan yield menunjukkan harga instrumen ini sedang turun.

Kepemilikan investor di Surat Berharga Negara (SBN) juga menyusut. Pada 2 April, kepemilikan asing tercatat Rp 931,88 triliun, turun Rp 157,77 triliun dibandingkan sebulan sebelumnya.


Seretnya arus modal asing di pasar saham dan SBN membuat rupiah sulit menguat. Selama minggu ini, rupiah terdepresiasi 1,86% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).


Sentimen yang mewarnai pergerakan pasar keuangan Indonesia pada pekan ini belum banyak berubah dibandingkan pekan-pekan sebelumnya. Investor masih berfokus ke pandemi virus corona atau Coronavirus Desease-2019 (Covid-19) yang semakin mengkhawatirkan.

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 per 4 April menunjukkan jumlah pasien positif corona di Indonesia adalah 2.092 orang. Dari jumlah tersebut, 191 orang meninggal dunia (tingkat kematian/mortality rate 9,13%).

Seminggu sebelumnya, jumlah pasien corona di Tanah Air adalah 1.155 orang dan korban jiwa tercatat 102 orang (tingkat kematian 8,83%). Artinya jumlah pasien naik 81,12% dan korban meninggal bertambah 87,25%.

Kecepatan pertumbuhan kasus corona di Indonesia sedikit banyak membuat investor cemas. Ini membuat Bursa Efek Indonesia dan pasar SBN dijauhi untuk sementara.

"Perlambatan ekonomi terjadi di mana-mana sehingga investor tidak punya banyak pilihan. Kami melihat virus corona membuat investor tidak lagi melihat imbalan dalam berinvestasi. Investor memilih aset di negara yang dipandang virus corona lebih bisa dijinakkan melalui langkah-langkah penanggulangan," kata Stephen Innes, Chief Global Market di AxiCorp, seperti dikutip dari Reuters.


Pekan depan, sepertinya isu penyebaran virus corona masih akan dominan mempengaruhi pergerakan pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Apabila jumlah kasus dan korban jiwa terus bertambah dalam laju yang cepat, maka siap-siap saja kencangkan sabuk pengaman.

Data satelit pemetaan AcGis pada Minggu (5/4/2020) pukul 13:44 WIB menunjukkan jumlah pasien corona di seluruh dunia sudah lebih dari 1,2 juta orang tepatnya 1.203.923. Sementara yang meninggal dunia adalah 64.795 (tingkat kematian 5,38%).

Begitu tinggi dan cepatnya penyebaran virus corona membuat pemerintahan di berbagai negara menerapkan kebijakan yang tidak biasa yaitu membatasi aktivitas publik. Jangan keluar rumah, kecuali untuk urusan darurat. Bahkan India dan Filipina memberlakukan kebijakan yang lebih ketat.


Aktivitas masyarakat yang sangat terbatas membuat laju roda perekonomian berjalan lambat. Perlambatan ekonomi sudah basi, sekarang yang ada di depan mata adalah resesi.

Dalam survei Reuters yang dihelat pada 1-3 April dan melibatkan lebih dari 50 ekonom di Amerika Utara, Eropa, dan Asia, proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2020 menunjukkan median 1,2%. Padahal survei serupa tiga pekan sebelumnya, median proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia masih 1,6%.

Reuters

"Situasi saat ini lebih buruk ketimbang resesi 2008-2009, kami harus memangkas proyeksi. Minimnya kebijakan yang efektif untuk meredam penyebaran virus corona di negara maju dan negara berkembang membuat kami merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2020," kata Ethan Harris, Global Economist di Bank of America Merrill Lynch, seperti dikutip dari Reuters.

Apabila berita-berita resesi, depresi, dan semacamnya masih muncul (bahkan semakin kencang) pekan depan, maka sangat sulit untuk berharap IHSG dkk bisa menguat. Sebab, investor tentu emoh bermain dengan aset-aset berisiko ketika ancaman resesi sudah begitu nyata.


Sentimen berikutnya yang akan mempengaruhi pasar adalah rilis data ketenagakerjaan di AS. Akhir pekan ini, US Bureau of Labor Statistics melaporkan perekonomian AS kehilangan 701.000 lapangan kerja pada Maret 2010. Ini adalah kontraksi pertama sejak September 2010 dan menjadi yang terburuk sejak Maret 2009.

Hilangnya lapangan kerja membuat angka pengangguran di Negeri Paman Sam melonjak ke 4,4%. Ini menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2017.


Data penuh duka ini dirilis pada akhir pekan ini, dan kemungkinan akan memantik reaksi pelaku pasar pada awal pekan depan. Kemudian data ini kemungkinan bakal senada dengan rilis berikutnya yaitu notula rapat (minutes of meeting) bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committe/FOMC) melakukan lima kali rapat pada Maret, dua di antaranya tidak terjadwal yaitu pada 3 Maret dan 15 Maret waktu Washington. Hasilnya, suku bunga acuan dipangkas habis-habisan mendekati 0%, tepatnya di kisaran 0-0,25%.




Dengan data ketenagakerjaan terbaru, investor ingin mendapat kepastian apakah proyeksi The Fed terhadap perekonomian Negeri Paman Sam masih gloomy? Apakah ke depan ada peluang untuk menurunkan Federal Funds Rate ke teritori negatif? Bagaimana arah kebijakan moneter AS dalam menghadapi hantaman pandemi Covid-19?

Pertanyaan-pertanyaan itu bisa ditemukan jawabannya dalam minutes of meeting edisi Maret. Sekaligus investor akan mendapat gambaran bagaimana 'suasana kebatinan' dalam diri Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat.


Sentimen ketiga adalah rencana pertemuan OPEC+ pada 9 April. Pertemuan ini rencananya akan menjadi arena perdamaian Arab Saudi-Rusia yang terlibat perang harga minyak sejak bulan lalu.

Pada awal Maret, OPEC+ gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi untuk mengatrol harga si emas hitam. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.

Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir Maret. Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon.

Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.

Akibatnya, harga minyak terjun bebas. Bahkan pernah harga komoditas ini sampai jatuh 30% dalam sehari.

Namun ada harapan kedua negara bakal berdamai setelah Amerika Serikat (AS) bersedia menjadi penengah. Presiden AS Donald Trump mengungkapkan dirinya sudah menghubungi Arab Saudi dan kemungkinan ada kesepakatan dengan Rusia.

"Saya sudah berbicara dengan kawan saya MBS (Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Arab Saudi) yang mana beliau juga sudah menghubungi Presiden (Vladimir) Putin dari Rusia. Saya berharap mereka bisa menyepakati pemotongan produksi (minyak) sekitar 10 juta barel dan bahkan mungkin lebih. Jika terjadi, maka akan sangat bagus bagi industri migas!" cuit Trump di Twitter.

Kin OPEC+ tengah merancang kesepakatan untuk memangkas produksi hingga 10 juta/barel atau sekitar 10% dari total produksi dunia. OPEC+ akan mengadakan pertemuan pada 9 April, mundur dari rencana awal yaitu 6 April.


Pengunduran jadwal ini terjadi karena sepertinya hubungan Riyadh-Moskow masih menyisakan api dalam sekam. Putin mengungkapkan Arab Saudi malah tidak sepakat dengan rencana pemangkasan produksi.

"Sayang sekali, mitra kita dari Arab Saudi tidak setuju untuk membuat kesepakatan dan memutuskan untuk menarik diri bahkan masih memberi diskon untuk harga minyak mereka. Tentu saja ini akan membuat harga semakin tertekan, apalagi di tengah penurunan permintaan," tegas Putin, seperti diberitakan Reuters.

Arab Saudi membantah tudingan Putin. Pangeran Abdulaziz bin Salman, Menteri Energi Arab Saudi, malah mengatakan justru keputusan Rusia yang membuat negaranya meningkatkan produksi.

"Menteri Energi Rusia adalah pihak pertama yang mengatakan bahwa seluruh negara melepas komitmen mereka. Pernyataan ini membuat negara-negara anggota lain menaikkan produksi," tegas sang pangeran, seperti diwartakan Reuters.

Berhasil atau tidaknya OPEC+ menyepakati pemotongan produksi akan menjadi sentimen penggerak harga minyak pekan depan. Jika gagal, apalagi Arab Saudi terus menggenjot produksi, maka harga minyak bisa ambles lagi. Namun kalau Arab Saudi dan Rusia berhasil berdamai dan OPEC+ mencapai kesepakatan, maka bersiaplah harga minyak bakal meneruskan tren kenaikan seperti pekan ini.





Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah sejumlah rilis data dari Bank Indonesia yaitu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), cadangan devisa, dan penjualan eceran. Ketiganya bisa memberi gambaran bagaimana dampak penyebaran virus corona terhadap perekonomian Indonesia.

Pada Februari, IKK berada di 117,7. Masih di atas 100 berarti konsumen masih pede menghadapi perekonomian saat ini dan masa mendatang. Namun optimisme itu menipis, karena bulan sebelumnya masih 121,7.

IKK adalah salah satu indikator permulaan (leading indicator) untuk meneropong arah perekonomian ke depan. Ketika konsumen masih yakin dan berniat untuk meningkatkan konsumsi, maka prospek ekonomi akan cerah. Sebaliknya jika konsumen pesimistis maka prospek pertumbuhan ekonomi juga mendung, karena konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 60% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

 


Sementara rilis cadangan devisa akan memberi gambaran seberapa besar 'amunisi' yang dimiliki BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Jika cadangan devisa tergerus signifikan, maka persediaan 'peluru' BI untuk mengawal rupiah juga berkurang. Ini akan membuat persepsi investor terhadap rupiah menjadi negatif.

 


Sedangkan penjualan eceran akan mencerminkan bagaimana kondisi keuangan dunia usaha, terutama di sektor ritel. Kalau penjualan turun, maka pendapatan mereka tentu berkurang sehingga kecemasan terhadap gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa semakin besar.

Selain itu, penjualan eceran juga bisa menjadi ukuran seberapa kuat daya beli konsumen Indonesia. Lagi-lagi kalau ada penurunan, maka bisa diartikan ada daya beli yang tergerus.

Huft, banyak juga yang mesti dipantau ya. Jadi siap-siap, sepertinya pekan depan akan menjadi periode yang lumayan sibuk...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular