Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat, tetapi nilai tukar rupiah dan harga obligasi pemerintah terkoreksi.
Kemarin, IHSG mencatatkan penguatan 0,78%. Ini sudah cukup menjadikan IHSG sebagai indeks saham terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari Shanghai Composite (China) dan Hang Seng (Hong Kong) yang masing-masing melesat lebih dari 2%.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis 0,03%. Walau melemah, depresiasi mata uang Tanah Air adalah yang yang paling dangkal ketimbang para tetangganya.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah cenderung naik, meski sangat tipis. Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun karena aksi jual.
Pasar bergerak galau karena sentimen yang beredar pun campur-aduk. Sentimen positif datang dari dalam negeri di mana pemerintah provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi. Artinya masa-masa PSBB yang diperketat sudah berakhir, berbagai 'keran' aktivitas warga sudah dibuka kembali meski tetap dibatasi protokol kesehatan.
Restoran, rumah makan, dan kafe kini sudah boleh menerima pengunjung untuk makan-minum di tempat (dine-in) dengan kapasitas maksimal 50%. Sementara taman rekreasi dan pariwisata boleh kembali buka dengan batasan pengunjung maksimal 25% dari kapasitas. Aktivitas dalam ruangan (indoor) dengan pengaturan tempat duduk, misalnya bioskop, sudah bisa dilakukan dengan kapasitas maksimal 25%.
Pelonggaran PSBB di Jakarta tidak dipungkiri akan membawa dampak ekonomi yang signifikan. Bahkan peningkatan aktivitas warga Ibu Kota bakal mengangkat ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Maklum, Jakarta adalah provinsi penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar. Jika Jakarta bisa bangkit, maka Indonesia secara keseluruhan bisa terungkit.
Namun, sentimen eksternal menjadi pemberat. Kemarin, Ketua House of Representatives (salah satu dari dua kamar yang membentuk Kongres AS) Nancy Pelosi mengirim surat kepada para koleganya anggota Partai Demokrat, kubu oposisi.
Dalam surat itu, Pelosi menegaskan belum bisa menerima proposal stimulus fiskal pemerintah yang bernilai US$ 1,8 triliun. Masih di bawah angka yang diharapkan kubu Partai Keledai yaitu US$ 2,2 triliun.
"Sampai saat ini, kami masih belum menyepakati banyak hal. Demokrat menunggu sinyal dari pemerintah selagi pembahasan mengenai angka stimulus terus berlangsung," kata Pelosi dalam suratnya kepada para anggota Partai Demokrat.
Tidak hanya dari kubu oposisi, Partai Republik pendukung pemerintah pun sepertinya belum memberi lampu hijau. Dalam pembicaraan jarak jauh dengan Mnuchin dan Kepala Staff Gedung Putih Mark Meadows, sejumlah senator Republik juga keberatan dengan proposal baru pemerintah karena terlalu besar.
Oleh karena itu, Pimpinan Senat Mitch McConnell dari Partai Republik tidak yakin paket stimulus ini bisa disahkan sebelum pilpres. "Begitu dekatnya pelaksanaan piplres dan masih adanya perbedaan pendapat begitu kentara," keluhnya, seperti dikutip dari Reuters.
Ketidakpastian soal stimulus fiskal di Negeri Paman Sam bisa menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global. Investor yang awalnya yakin ekonomi AS bakal pulih dengan sokongan stimulus fiskal bisa jadi memilih wait and see.
Beralih ke Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat, bahkan lumayan tajam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,88%, S&P 500 melesat 1,64%, dan Nasdaq Composite meroket 2,56%.
Kabar soal stimulus fiskal di AS masih menjadi sentimen utama yang mendorong bursa saham New York. Kini kembali muncul harapan Gedung Putih dan Capitol Hill bisa menemukan kata sepakat.
Pemerintah berencana menambah nilai paket stimulus dengan memasukkan sisa dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tidak terpakai. Jumlahnya sekitar US$ 130 miliar. Namun penggunaan dana ini perlu persetujuan Kongres, terutama dari kubu Demokrat.
Pemerintah berharap pihak Demokrat di Kongres mau bekerja sama dengan menurunkan ekspektasi nilai paket stimulus. "Pendekatan semua atau tidak sama sekali bukan sebuah pilihan yang dapat diterima oleh rakyat AS," tegas surat yang ditulis Mnuchin dan Meadows kepada Pelosi dan Chuck Schumer (Pimpinan Demokrat di Senat), seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, sepertinya pelaku pasar mulai mengambil posisi karena sepertinya peluang kemenangan Joseph 'Joe' Biden dalam pemilihan presiden (pilpres) AS semakin besar. Jajak pendapat yang digelar Reuters dan Ipsos per 6 Oktober menunjukkan, 44,2% calon pemilih akan memberikan suara bagi Biden jika pilpres dilakukan sekarang. Suara yang memilih sang petahana Donald Trump hanya 37,1%.
Pelaku pasar melihat ada satu kebijakan Biden yang bakal mencolok dibandingkan Trump, yaitu dalam hal perdagangan. Saat Biden, kemungkinan, jadi presiden Negeri Adidaya, maka perang dagang dengan berbagai negara (terutama China) akan selesai.
Jadi satu risiko besar di perekonomian dunia, yaitu perang dagang, bisa dicoret dari daftar. Ekonomi pun bisa lebih stabil.
Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dari Wall Street, yang bakal menjadi sentimen positif. Semoga optimisme d New York bisa menyeberangi Samudra Atlantik dan sampai ke Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua, pelaku pasar perlu terus memonitor perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di seluruh negara per 12 Oktober 2020 mencapai 37.423.650 orang. Bertambah 307.403 orang (0,83%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Eropa masih menjadi pusat perhatian karena Benua Biru menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Per 12 Oktober, jumlah pasien positif corona tercatat 7.011.756 orang. Bertambah 87.100 orang (1,26%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (29 September-12 Oktober), rata-rata pasien baru bertambah 88.829 orang per hari. Melonjak dibandingkan 14 hari sebelumnya yaitu 63.343 orang.
Pertumbuhan kasus juga mengalami percepatan. Dalam dua pekan terakhir, rata-rata jumlah pasien baru bertambah 1,4% per hari. Lebih cepat ketimbang dua pekan sebelumnya yaitu 1,2%.
Perkembangan ini membuat sejumlah negara Eropa memperketat kebijakan pembatasan sosial (social distancing). Di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson akan memberlakukan sosical distancing berdasarkan kategori wilayah.
Kategori pertama adalah wilayah berisiko sedang. Beberapa larangan di wilayah dengan kategori ini adalah warga dilarang berkumpul lebih dari enam orang di luar rumah (rule of six), restoran dan bar wajib tutup lebih awal yaitu pukul 22:00.
Kategori kedua adalah wilayah berisiko tinggi, yang akan diterapkan di daerah Manchester dan sekitarnya, Birmingham, Nottingham, Leicester, serta Leeds. Warga yang berasal dari rumah tangga berbeda tidak berkumpul di dalam ruangan, rule of six tetap berlaku, dan membatasi perjalanan ke luar rumah.
Kategori ketiga adalah wilayah berisiko sangat tinggi, yang sejauh ini hanya mencakup Merseyside (termasuk kota juara Liga Primer Inggris, Liverpool). Sejumlah larangan yang berlaku di wilayah ini antara lain:
- Warga jangan bertemu dengan orang yang tidak serumah.
- Bar dan pub tidak boleh buka.
- Resepsi pernikahan tidak boleh dilakukan.
- Warga sebaiknya tidak keluar-masuk wilayah kecuali untuk bekerja, sekolah, dan merawat orang sakit.
- Warga jangan menginap di wilayah lain dengan risiko yang lebih rendah.
"Kita harus segera bertindak untuk menyelamatkan nyawa. Jika kita biarkan virus merajalela, maka kita tidak hanya menghadapi tingginya angka kematian tetapi juga peningkatan beban bagi tenaga medis," tegas Johnson di hadapan parlemen, seperti diwartakan Reuters.
Tidak hanya Inggris, Italia pun menyiapkan upaya pengetatan social distancing. Roberto Speranza, Menteri Kesehatan italia, berencana melarang sejumlah kegiatan yang berisiko meningkatkan penyebaran virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut.
Misalnya, pesta keluarga seperti perayaan ulang tahun, pernikahan, dan sebagainya akan dilarang. Jam operasional restoran dan bar juga akan dipersingkat, terutama di wilayah sekitar Roma.
Bahkan Speranza membuka opsi untuk membatasi kegiatan olahraga dengan kontak fisik yang tidak bisa menggunakan masker. Apakah itu termasuk sepakbola, Speranza belum memberikan petunjuk lebih lanjut.
"Sekarang kita perlu menambah kecepatan dengan melakukan berbagai intervensi. Tidak sedrastis kebijakan sebelumnya, tetapi mampu membuat kita mengendalikan wabah," kata Speranza dalam wawancara dengan RAI.
Perkembangan ini membuat prospek pemulihan ekonomi menjadi semakin buram. Akibatnya, pelaku pasar bisa saja memilih bermain aman dan menghindari risiko.
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 4%.
Adalah rupiah yang akan membuat MH Tharmrin ragu-ragu menurunkan suku bunga acuan. Mata uang Tanah Air memang cenderung menguat akhir-akhir ini. Namun itu terjadi setelah melalui kuartal III-2020 yang 'berdarah-darah'.
Selama Juli-September 2020, rupiah ambles 4,65% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia.
Well, dengan UU BI yang sekarang tentu berat bagi bank sentral untuk memikirkan hal lain di luar stabilitas nilai tukar rupiah. Padahal sekarang kondisinya ekonomi butuh 'perangsang' dari segala lini, termasuk kebijakan suku bunga.
Meski data resmi output ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) baru diumumkan awal November mendatang, tetapi dapat dipastikan Indonesia sudah masuk zona resesi. Berbagai indikator menunjukkan ekonomi Ibu Pertiwi tertekan di dua sisi sekaligus, produksi dan permintaan.
Namun dalam UU No 3/2004, disebutkan bahwa mandat BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. BI tidak (atau belum, siapa yang tahu?) diberi tugas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Jadi wajar saja jika BI memilih untuk menjaga rupiah meski ada kebutuhan untuk menurunkan suku bunga demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Mau bagaimana lagi, BI hanya menjalankan amanat UU...
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data Reuters Tankan Index Jepang periode Oktober 2020 (06:00 WIB).
- Rilis data perdagangan internasional China periode September 2020 (10:00 WIB).
- Rilis data pembacaan final inflasi Jerman periode September 2020 (13:00 WIB).
- Pengumuman suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (14:00 WIB).
- Rilis data tingkat pengangguran Inggris periode September 2020 (13:00 WIB).
- Rilis data inflasi AS periode September 2020 (19:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (kuartal II-2020 YoY) | -5,32% |
Inflasi (September 2020 YoY) | 1,42% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (September 2020) | 4% |
Defisit anggaran (APBN 2020) | -6,34% PDB |
Transaksi berjalan (kuartal II-2020) | -1,18% PDB |
Neraca pembayaran (kuartal II-2020) | US$ 9,24 miliar |
Cadangan devisa (September 2020) | US$ 135,15 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA