Neraca Dagang RI Surplus Tinggi, Tapi Kenapa Harus Hati-hati?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 March 2020 12:30
Neraca Dagang RI Surplus Tinggi, Tapi Kenapa Harus Hati-hati?
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus tinggi pada Februari 2020. Namun alih-alih gembira, sepertinya Indonesia malah perlu waspada.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor pada Februari sebesar US$ 13,94 miliar atau naik 11% year-on-year (YoY). Sementara impor tercatat US$ 11,6 miliar, turun 5,11% YoY. Ini membuat neraca perdagangan membukukan surplus US$ 2,34 miliar, tertinggi sejak 2011.




Realisasi ini jauh lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi -7,215% year-on-year (YoY), impor terkontraksi -4,855% YoY, dan neraca perdagangan surplus tipis US$ 91 juta.

Di satu sisi, neraca pembayaran yang surplus tinggi menjadi kabar baik. Ketersediaan valas di perekonomian domestik meningkat, sehingga tekanan transaksi berjalan (current account) menurun. Ini bisa menjadi modal untuk memperkuat fondasi rupiah.

Namun di sisi lain, surplus ini patut dikhawatirkan. Pasalnya data yang ada begitu jelas menggambarkan rantai pasok yang rusak.


Pada Februari, BPS mencatat impor dari China turun US$ 1,95 miliar dibandingkan Januari. Penurunan terbesar terjadi di mesin dan perlengkapan elektrik, mesin dan peralatan mekanik, serta barang plastik dan barang dari plastik.

Penurunan pasokan barang dari China membuat impor secara keseluruhan anjlok. Pada Februari, impor barang konsumsi turun 12,81% YoY dan 39,91% month-on-month (MoM). Kemudian bahan baku/penolong turun 1,5% YoY dan 15,89% MoM. Sedangkan barang modal turun 16,44% YoY dan 18,03% MoM.

Koreksi di bahan baku/penolong dan barang modal membuat prospek investasi menjadi suram. Sebab, dua kelompok ini akan sangat menentukan realisasi investasi dalam beberapa bulan ke depan.


Begitu investasi melambat, maka pada gilirannya konsumsi rumah tangga akan terpengaruh. Perlambatan investasi tentu menyebabkan keterbatasan penciptaan lapangan kerja. Akibatnya, daya beli rumah tangga bakal terpengaruh.

Oleh karena itu, sepertinya akan sulit untuk berharap Indonesia bisa terhindar dari perlambatan ekonomi. Bank Indonesia (BI) sudah memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2019 di bawah 5%.



Data yang dirilis BPS hari ini persis dengan apa yang diumumkan di China. Pada Januari-Februari 2020, produksi industri China turun 13,5% YoY. Ini adalah penurunan pertama sejak awal 1990.




Industri manufaktur China terpukul hebat oleh penyebaran virus corona. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 10:33 WIB, jumlah kasus corona di China adalah 81.020 dan korban jiwa tercatat 3.217 orang. Jumlah kasus dan korban jiwa di China adalah yang tertinggi di dunia.

 

Sejumlah pabrik di China menjadi korban kebijakan isolasi (lockdown) di kota tempat mereka beroperasi. Atau karyawan dirumahkan untuk mencegah penularan lebih lanjut.

Misalnya Kota Wuhan di Provinsi Hubei (yang menjadi 'pusat gempa' virus corona) yang sampai sekarang masih dalam status lockdown. Padahal kota ini adalah domisili beberapa pabrik penting, terutama di sektor otomotif.

"Wuhan dikenal sebagai Motor City karena menjadi lokasi pabrikan besar seperti Honda, Nissan, Peugeot, dan Renault. Untuk Honda sendiri, fasilitas di Hubei menyumbang sekitar 50% dari total produksi di seluruh China pada 2019. Sedangkan Provinsi Hubei berkontribusi sekitar 10% dari total produksi mobil China," jelas riset World Economic Forum.


Dengan adanya lockdown, pabrik-pabrik otomotif di Wuhan kesulitan memperoleh bahan baku/penolong karena pengiriman barang sulit masuk ke dalam kota. Belum lagi masih banyak pekerja yang diliburkan.

Perkembangan ini membuat produksi mobil China anjlok. Pada Februari, produksi mobil Negeri Panda tercatat 28,5 juta unit atau anjlok 79,8% YoY.

 


Ini baru satu contoh kasus. Sayangnya kejadian serupa dialami oleh sektor industri lain, kota lain, dan bahkan negara lain. Akibatnya, pengiriman produk ke berbagai negara turun termasuk ke Indonesia.

"Dalam jangka pendek, dampak (virus corona) terhadap perekonomian global dan rantai pasok tidak bisa dihindari. Pertumbuhan ekonomi global akan menghadapi tekanan," kata Li Xingqian, Direktur di Kementerian Perdagangan China, seperti diberitakan oleh Reuters.


Oleh karena itu, perlambatan ekonomi domestik sudah hampir pasti terjadi. Resesi mungkin masih sangat jauh, tetapi jangan heran kalau pertumbuhan ekonomi Ibu Pertiwi di bawah 5%.

Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, melihat ada tiga skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, kasus baru di China bertahan rendah di kisaran 80/hari, di luar China sekitar 2.000/hari, dan tidak ada outbreak (penyebaran tidak terkendali) di Indonesia. Di bawah skenario ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 diperkirakan bisa bertahan 5,02% seperti 2019.


Skenario kedua adalah yang paling optimistis yaitu kasus baru di China bertahan rendah di kisaran 80/hari, di luar China sekitar 1.000/hari, dan tidak ada outbreak di Indonesia. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 bisa mencapai 5,15%.

Skenario ketiga adalah yang paling pesimistis yaitu outbreak terus berlangsung di penjuru dunia termasuk Indonesia. Dalam skenario ini, Indonesia akan sulit memanfaatkan momentum Ramadan-Idul Fitri yang secara tradisional adalah puncak konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

"Oleh karena itu, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2020 akan berada di bawah level psikologis 5%. Tepatnya di 4,85%," kata Kevin dalam risetnya.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular