Neraca Dagang Surplus, Senang Tapi Lebih Banyak Sedihnya

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 June 2020 12:17
Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan memeriksa Kapal Carpenters Sirius Singapore dari Malaysia di tengah laut sejauh 4 mil dari dermaga saat akan memasuki Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan memeriksa Kapal Carpenters Sirius Singapore dari Malaysia di tengah laut sejauh 4 mil dari dermaga saat akan memasuki Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sangat tinggi pada Mei 2020. Impor yang anjlok lebih dalam ketimbang ekspor menjadi penyebabnya.

Pada Mei 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor sebesar US$ 10,53 miliar. Ini berarti ada kontraksi -28,95% secara tahunan (year-on-year/YoY). Jauh lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan kontraksi 19,015%.

Kontraksi -28,95% merupakan yang paling dalam sejak Februari 2009. Kala itu, Indonesia (dan dunia) tengah berkubang dalam krisis keuangan global.

Sementara nilai impor bulan lalu tercatat US$ 8,44 miliar atau anjlok 42,2% YoY. Juga jauh lebih parah ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dengan proyeksi -24,55%. Seperti halnya ekspor, kontraksi impor juga menjadi yang paling dalam sejak 2009.

Dengan kontraksi dalam yang dialami ekspor, apalagi impor, neraca perdagangan Indonesia 'menang banyak'. Pada Mei, terjadi surplus US$ 2,09 miliar, tertinggi sejak Februari.

Di satu sisi, neraca perdagangan yang surplus besar ini bisa menjadi kabar baik. Ada harapan transaksi berjalan (current account), yang mencerminkan ekspor-impor barang dan jasa, akan membaik pada kuartal II-2020.

Perbaikan transaksi berjalan berarti pasokan devisa ke perekonomian nasional akan lebih memadai. Ini memberi pijakan bagi nilai tukar rupiah untuk menguat.

Namun di sisi lain, data ini juga membawa kabar buruk. Ekspor yang ambles sangat dalam membuat prospek pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 menjadi suram.

Pada kuartal I-2020, ekspor masih bisa tumbuh walau tipis saja di 0,24%. Itu tertolong akibat pertumbuhan yang mencapai 12% pada Februari.

Namun dengan kontraksi lebih dari 28% pada Mei, harapan untuk mengulangi pencapaian serupa sangat sulit (kalau tidak mau dibilang mustahil). Ekspor berperan sekitar 17% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dan pada kuartal II-2020 sepertinya potensi itu hilang.

Kemudian di sisi impor, kontraksi sangat dalam terjadi untuk impor bahan baku/penolong dan barang modal. Pada Mei, impor bahan baku/penolong ambrol -43,03% YoY dan barang modal jatuh -40% YoY.

Kelesuan impor bahan baku/penolong dan barang modal menggambarkan kelesuan proses produksi industri nasional. Ini juga mencerminkan keengganan dunia usaha dalam berekspansi, sehingga investasi sepertinya bakal bernasib sama seperti ekspor. Terkontraksi...

Pada kuartal I-2020, investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) masih tumbuh 1,7%. Namun dengan impor bahan baku/penolong dan bahan baku yang turun begitu parah, sepertinya pertumbuhan investasi kuartal II-2020 bakal negatif.

PMTB menyumbang lebih dari 30% terhadap PDB Tanah Air. Jadi kalau PMTB tidak jadi kontributor malah jadi pemberat, maka sulit bagi ekonomi Indonesia untuk tumbuh positif.

Jadi, sepertinya surplus neraca perdagangan yang melimpah pada Mei sulit untuk dirayakan. Sebab data itu seakan menjadi penegas suramnya prospek ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular