Sentimen Pasar Pekan Depan

'Rem Darurat' Vs Vaksinasi, Mana yang Lebih Bergigi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 January 2021 18:45
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini, pasar keuangan Indonesia 'berpesta'. Bagaimana dengan pekan depan?

Sepanjang minggu ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat tajam 2,51%. IHSG sudah kembali di atas level 6.200, sesuatu yang kali terakhir dicapai pada awal 2020. Artinya, IHSG sudah kembali ke masa sebelum pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,43%. Kini dolar AS terjaga di bawah Rp 14.000.

Apakah minggu depan penguatan ini bisa terulang? Sentimen apa saja yang kemungkinan bisa menggerakkan pasar keuangan Tanah Air?

Sentimen paling utama apalagi kalau bukan pandemi Covid-19. Namun ada kabar baik, karena pekan depan sepertinya proses vaksinasi di Indonesia sudah bisa dimulai.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberi label halal dan suci untuk vaksin penangkal virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu. Sementara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih melakukan uji untuk menerbitkan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA).

Vaksin, apabila efektif, akan membentuk kekebalan tubuh sehingga mengurangi risiko infeksi virus corona. Jika sebagian besar populasi sudah menerima vaksin, maka akan tercipta kekebalan kolektif (herd immunity) sehingga rantai penularan bisa diputus. Pandemi pun bisa diakhiri dan rakyat Indonesia bisa hidup normal lagi.

"Perkembangan positif seputar proses vaksinasi membuat risk appetite investor semakin tebal, sehingga ke depan akan mendorong mata uang Asia. Meski kasus harian Covid-19 masih terus melonjak, tetapi adanya vaksin diharapkan mampu menciptakan momentum pemulihan ekonomi," ujar Anthony Kevin, ekonom Mirae Asset, dalam risetnya.

Menurut Kevin, dimulainya tahapan vaksinasi di Tanah Air akan menjadi sentimen positif di pasar keuangan. Arus modal akan mengalir deras sehingga bukan tidak mungkin rupiah bisa menguat ke bawah Rp 13.900/US$.

Namun ada pula kabar kurang sedap terkait pandemi Covid-19. Mulai awal pekan depan, pemerintah resmi memperketat pembatasan sosial (social distancing) di sejumlah daerah Jawa-Bali. Kali ini namanya bukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, tetapi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang akan diterapkan pada 11-25 Januari 2021.

PPKM mensyaratkan pegawai untuk bekerja di rumah (work from home) hingga 25%. Proses belajar-mengajar kembali dilakukan secara jarak jauh. Kemudian tempat-tempat hiburan yang dikelola pemerintah tidak boleh beroperasi.

Pusat perbelanjaan masih boleh buka, tetapi maksimal hanya sampai pukul 19:00. Restoran juga masih bisa melayani pengunjung yang makan-minum di tempat, tetapi maksimal 25% dari total kapasitas. Sedangkan rumah ibadah hanya boleh menerima jamaah 50% dari kapasitas.

"Pemerintah daerah, gubernur, akan menentukan wilayah dengan pembatasan tersebut dan itu di kabupaten/kota yang sudah dilihat adalah provinsi dengan risiko tinggi. Ada DKI Jakarta dan sekitarnya. Jawa Barat adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cimahi."

"Provinsi Banten ada di Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan. Jawa Tengah adalah Semarang Raya, Solo Raya, dan juga Banyumas Raya. Sedangkan Yogyakarta adalah Kabupaten Gunung Kidul, Sleman, Kulonprogo."

"Kemudian Jawa Timur adalah Malang Raya, Surabaya Raya. Sementara Bali adalah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung," papar Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian.

Sayangnya, provinsi-provinsi itu adalah penyumbang utama perekonomian nasional. Jakarta, misalnya, adalah kontributor terbesar dengan sumbangsih 17,66% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional kuartal III-2020. Sementara Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah menyumbang masing-masing 14,73%, 13,1%, dan 8,63%.

Pemberlakuan PSBB ketat di provinsi-provinsi itu pasti akan berdampak kepada perekonomian nasional. Dalam kasus ekstrem, bukan tidak mungkin PDB Indonesia pada kuartal I-2021 kembali tumbuh negatif alias terkontraksi. Kalau terjadi, maka Indonesia masih terjebak di 'lumpur' resesi sehingga menjadi sentimen negatif di pasar.

Sementara dari sisi rilis data, ada beberapa yang patut dicermati. Pertama adalah rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi 2020 di Jerman. Negeri Panser adalah perekonomian terbesar di Eropa, sehingga apa yang terjadi di sana akan berpengaruh signifikan.

Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Jerman tahun lalu tumbuh negatif alias terkontraksi 5,1% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Jika terwujud, maka akan menjadi laju terlemah sejak 2009.

Kedua, kali ini dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data perdagangan internasional periode Desember 2020 pada akhir pekan depan.

Konsensus sangat sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 5,6% YoY sementara impor tumbuh negatif 11,75%. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 2,43 miliar.

Arus devisa yang memadai dari sisi perdagangan, plus aliran modal asing di sektor keuangan (portofolio), bisa menjadi modal bagi rupiah untuk melanjutkan tren penguatan. Ada harapan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kembali surplus sehingga fundamental penyokong rupiah menjadi semakin kuat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular