Internasional

Selain Turki, Mata Uang 3 Negara Ini Anjlok Karena Trump

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
13 August 2018 21:18
Selain Turki, Mata Uang 3 Negara Ini Anjlok Karena Trump
Foto: Cem Oksuz/Presidential Palace/Handout via REUTERS
Jakarta, CNBC Indonesia - Turki sedang diambang krisis ekonomi setelah mata uang lira makin terpuruk dampak dari kebijakan Presiden Donald Trump yang menaikkan bea masuk baja dan aluminium hingga dua kali lipat pada Jumat (10/8/2018).

Keputusan Trump menyebabkan nilai tukar lira, mata uang turki, seketika anjlok hingga 18% terhadap dolar AS di hari Jumat. Depresiasi itu merupakan penurunan harian yang terdalam sejak tahun 2001.

[Gambas:Video CNBC]
Lira sempat rebound ke posisi 6,86 per dolar AS pada hari Minggu (12/8/2018) ketika Menteri Keuangan sekaligus menantu sang presiden Berat Albayrak berkata pemerintah sudah menyusun rencana aksi ekonomi untuk mulai diimplementasi hari Senin (13/8/2018) ini.

Namun, lira kembali tergelincir dan menyentuh level terendah sepanjang sejarah di posisi 7,24 lira (Rp 15.518) per dolar AS pada pembukaan perdagangan Asia Pasifik hari Senin pagi. Jika dirunut, sepanjang tahun ini lira sudah kehilangan nilai hingga 80%. Defisit transaksi berjalan juga semakin melebar mendekati 16%.

Trump memberlakukan sanksi bea impor, karena pemerintah Erdogan menolak membebaskan seorang pendeta berkewarganegaraan AS bernama Andrew Brunson. Dia ditahan sejak Oktober 2016 atas tuduhan aksi teror dan mata-mata yang menjadi bagian dari upaya kudeta terhadap Erdogan.

Dampak krisis ekonomi Negeri Kebab ini mulai menghantui global. Bursa global mengalami koreksi masal pada hari Senin seperti bursa Singapura yang turun 0,7%, bursa Hong Kong berkurang 1,83% dan bursa Tokyo anjlok nyaris 2%.

Indonesia pun tak ketinggalan terkena dampak krisis ekonomi Turki dengan nilai tukar rupiah yang tembus Rp 14.600 terhadap greenback, terendah sejak September 2015, dan IHSG yang terkoreksi 2,5% di hari Senin.

Berikut negara-negara ekonominya bergejolak akibat jurus mabuk Donald Trump.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memproyeksikan inflasi Venezuela akan tembus 1.000.000% tahun ini. Proyeksi itu lebih tinggi 70 kali lipat dibandingkan ramalan inflasi sebelumnya, yakni 14.000%.

Nilai tukar bolivar, mata uang Venezuela, pun rontok. Mengutip CNN, US$1 masih setara dengan 8 bolivar di tahun 2010. Namun, saat ini bolivar sudah terdepresiasi sangat tajam. Data Reuters hari Senin menunjukkan US$1 setara dengan 248.209,92 bolivar (Rp 17.534). Selama setahun, bolivar mengalami pelemahan hingga 2,7 juta persen.

Runtuhnya bolivar menyebabkan kelangkaan makanan, obat-obatan, listrik dan air yang mengakibatkan krisis kemanusiaan. Keadaan yang sudah berlangsung sekitar setahun ini. Krisis ini telah menyebabkan pasien di rumah sakit terlantar karena kosongnya stok obat-obatan.

Krisis diplomatik AS-Venezuela dimulai di tahun 2016. Ketika itu pemerintah Presiden Barack Obama melarang sejumlah pejabat Turki masuk ke Negeri Paman Sam karena dianggap melanggar hak asasi manusia dan menerapkan kebijakan yang tidak demokratis. Venezuela membalas dengan mendeportasi sejumlah diplomat AS.

Ketegangan meningkat ketika Trump mulai menjabat sebagai presiden dan memutuskan menerapkan sanksi ekonomi ke Venezuela untuk pertama kalinya di tahun 2017.

Dia menandatangani sebuah perintah eksekutif yang melarang pembelian utang baru dari pemerintah ataupun perusahaan minyak milik negara. Upaya itu dilakukan untuk menghentikan pendanaan terhadap pemerintahan Maduro, yang Gedung Putih sebut sebagai "diktator", dilansir dari Reuters.

Di bulan Mei lalu, pemerintah Trump kembali menerapkan sanksi baru ke Venezuela dengan melarang perusahaan dan warga AS membeli utang ataupun piutang dari pemerintah Venezuela. Sanksi itu diberlakukan guna "menutup jalan untuk korupsi" yang menurut AS dilakukan oleh jajaran pemerintahan Maduro, seperti dilansir dari New York Times.

Ketika Presiden Maduro kembali terpilih untuk menjabat selama dua periode masa jabatan enam tahun, AS dengan tegas menyatakan tidak akan mengakui hasil pemilihan tersebut. Negeri Paman Sam itu pun mempertimbangkan sanksi-sanksi minyak terhadap Venezuela untuk menargetkan para pejabat pemerintah, bukannya penduduk Venezuela.

Namun, mengutip dari situs berita Oil Price, para analis berpendapat Washington tidak akan lagi mengincar industri perminyakan Venezuela. Alasannya, selain karena minyak Venezuela menyumbang sebagian besar impor kilang minyak di Gulf Coast, pemerintah AS juga tidak ingin dianggap bertanggungjawab atas keruntuhan ekonomi yang terjadi di negara itu. Meski sanksi memang ditujukan untuk "menghukum" pemerintah Venezuela, rakyat tetaplah menjadi korban yang paling menderita dari krisis ekonomi ini.

Iran adalah negara lain yang berada di ambang krisis akibat sanksi dari orang nomor satu di AS. Rial, mata uang Iran, sudah mengalami pelemahan -14,14% dari awal tahun ini. Menurut data Reuters, $1 setara dengan 42.000 rial (Rp 14.584) di hari Senin. 

Penurunan nilai mata uang Iran terus-menerus terjadi sejak Revolusi Islam di tahun 1979, ketika 70 rial mampu ditukar dengan satu dolar AS. Namun, rial semakin terjerembab ketika Presiden Trump memutuskan untuk menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran dan kembali memberlakukan berbagai sanksi untuk memutuskan negara itu dari sistem keuangan global.

Untuk diketahui, perjanjian nuklir antara Iran dengan lima anggota tetap Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu AS, China, Prancis, Rusia dan Inggris ditambah Jerman dilakukan untuk mencabut sanksi yang melumpuhkan ekonomi dan memangkas ekspor minyaknya menjadi setengah. 

Agar sanksi itu bisa dicabut, Iran harus menyanggupi ketentuan pembatasan program nuklir dan mengizinkan inspektur internasional masuk ke fasilitas nuklirnya. Hengkangnya AS dari kesepakatan itu tidak terlepas dari janji kampanye "America First" milik Trump, yang tetap dia pegang teguh meski ditentang oleh para sekutunya.

Melansir dari CNBC International, berikut adalah sektor-sektor ekonomi Iran yang kembali terkena sanksi AS terhitung tanggal 6 Agustus:

- Pembelian ataupun kepemilikan dolar AS.
- Perdagangan emas dan logam berharga lainnya.
- Penjualan, pasokan ataupun perdagangan logam seperti aluminium dan baja, serta grafit, batu bara dan sejumlah piranti lunak (software) untuk "memadukan proses industri".
- Penjualan ataupun pembelian rial yang "signifikan", atau pemeliharaan dana atau rekening yang signifikan di luar negeri menggunakan rial Iran.
- Penerbitan utang Iran.
- Otomotif Iran.

Negeri Paman Sam juga berencana memotong ekspor minyak Iran di awal bulan November, serta meminta para konsumen dan importir minyak Iran mengakhiri kontrak mereka. Seakan semua sanksi itu belum cukup, Presiden Trump kembali mengeluarkan ancaman sanksi baru ke Iran yang diumumkan lewat akun Twitternya.

"Siapapun yang berbisnis dengan Iran TIDAK akan berbisnis dengan Amerika Serikat. Saya hanya meminta PERDAMAIAN DUNIA!" cuitnya di awal bulan ini.

Sanksi AS menyebabkan uang hasil ekspor kesulitan masuk ke Iran karena bank-bank internasional masih menolak membuka bisnisnya di Iran supaya tidak terkena sanksi. Masyarakat juga kesulitan mengakses mata uang yang diperkirakan hanya mencapai 5% dari keseluruhan mata uang asing di Iran, dan sisanya tersedia dalam bentuk pinjaman untuk kegiatan usaha.

Depresiasi rial dan melonjaknya inflasi di negara itu telah menimbulkan demonstrasi yang memprotes korupsi dan meneriakkan slogan-slogan antipemerintah.  Secara global, sanksi AS terhadap Iran juga diperkirakan membuat harga minyak naik di atas US$90 per barel karena adanya kekurangan pasokan. Pasalnya, ketika Iran terakhir kali terkena sanksi, separuh ekspor minyak senilai 2,4 juta barel per hari hilang dari pasar.

Jika segala masalah tidak segera diselesaikan, krisis keuangan yang dikombinasikan dengan memburuknya hubungan diplomatik dengan AS dapat memperparah kestabilan republik Islam yang dipimpin oleh Presiden Hassan Rouhani itu. Selain itu, harga minyak dunia juga bisa semakin bergejolak.


Rusia menjadi salah satu negara yang mengalami perseteruan di bidang ekonomi dengan Amerika Serikat belakangan ini. Pekan lalu, AS mengumumkan sebuah rancangan undang-undang yang diajukan para senator Partai Demokrat dan Republik untuk membatasi kegiatan bisnis beberapa bank milik negara asal Rusia di AS. 

Mereka juga mengusulkan pelarangan penggunaan mata uang dolar AS oleh Rusia.

Sehari setelah wacana itu diumumkan, rubel yang merupakan mata uang Rusia terdepresiasi hingga 3%, penurunan terdalam sejak November 2016. Pada hari Kamis (9/8/2018) pagi waktu setempat, CNBC International melaporkan US$1 setara dengan 66,71 rubel (Rp 14.318).

Berdasarkan data Reuters, rubel telah mengalami pelemahan -17,84% terhadap dolar AS sepanjang tahun ini. Di hari Senin, $1 setara dengan 67,94 rubel.
Rusia pun menganggap setiap langkah AS yang menghalangi kegiatan bisnis perbankan Rusia atau berbagai kesepakatan valuta asing mereka sebagai pernyataan perang ekonomi.

"Saya tidak ingin mengomentari pembicaraan mengenai sanksi-sanksi baru, tetapi saya dapat sampaikan satu hal: Jika beberapa larangan terhadap kegiatan bank atau penggunaan satu atau beberapa mata uang terjadi, ini akan dapat disebut sebagai pernyataan perang ekonomi," kata Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev pada hari Jumat.

Untuk diketahui, rencana sanksi tersebut dijatuhkan karena Rusia menggunakan racun syaraf untuk meracuni mantan mata-mata Sergei Skripal dan putrinya Yulia di Salisbury, Inggris, bulan Maret lalu. Rusia terus mengelak tuduhan ini. 

Jika sanksi benar-benar diterapkan, Rusia menyatakan akan mengambil langkah-langkah ekonomi, politik dan upaya lain untuk membalas AS.

Meskipun begitu, nasib rancangan undang-undang terkait sanksi ini masih belum jelas. Anggota Kongres AS belum akan kembali hingga September nanti dan bahkan pada saat itu pun para staf kongres berkata mereka tidak yakin aturan itu akan lolos sepenuhnya.



(roy) Next Article Tenangkan Investor, Turki Siapkan Rencana Penyelamatan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular