Dolar AS Tembus Rp 14.600, Ini Kata Bos BCA

Gita Rossiana, CNBC Indonesia
13 August 2018 20:29
Dolar AS yang menguat dampak dari krisis mata uang Lira Turki.
Foto: Gita Rossiana
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Direktur PT. Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja menilai, Bank Indonesia (BI) harus bertindak preventif bukan represif dalam menanggapi kondisi pelemahan rupiah yang terjadi saat ini. Bentuk tindakan preventif tersebut adalah dengan menaikkan suku bunga acuan.

Berbicara dalam wawancara ekslusif dengan CNBC Indonesia, Jahja mengatakan, kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini tidak terlepas dari kondisi global, yakni kondisi yang terjadi di Turki. Bank sentral Turki bahkan menaikkan suku bunga sampai 1.000 bps atau 10% ke 17,5% untuk menjaga mata uangnya.

Namun di balik kepanikan itu, pemerintah Turki tetap harus mencari akar permasalahannya. Indonesia pada 1998, pernah menaikkan suku bunga 60%, tetapi tidak menolong, nilai tukar rupiah tetap ke Rp 16.000/dolar AS.

"Sehingga tetap harus dicari akar masalahnya, apakah dengan Erdogan secara drastis mengganti pemerintah untuk menyetop ketidakpercayaan secara keseluruhan,"ucap dia di Kantornya, Senin (13/8/2018).

Sementara itu terhadap nilai tukar rupiah, apabila dibandingkan Malaysia, Singapura dan Thailand, Indonesia di bawah itu. Memang bukan salah Indonesia, tetapi kan tetap harus diamati.

Apalagi, Amerika Serikat berencana menaikkan suku bunga pada September, Desember dan tahun depan, sehingga total sekitar 2-3 kali lagi untuk menaikkan suku bunga. Dengan memperhatikan gearing ratio antara Indonesia dan AS setidaknya harus 1:2 atau 1:3.

"Jadi, kalau mereka naik 1%, kita minimum naik 2%. Kalau naik 1%, ekuivalensinya sekarang di sana 25 basis poin, berarti kita 50 basis poin,"papar dia.

Hal tersebut memang tidak mengenakkan perekonomian. Pasalnya, BI harus memilih yang terbaik dari yang terburuk.

"Kalau dibandingkan bunga sama kurs, kurs itu lebih bahaya, kalau kurs tidak terkendali, bayangkan dampaknya ke nilai tukar, transportasi dan operasional pabrik bisa naik,"kata dia.

Kemudian dampak lanjutannya, perusahaan menaikkan harga sehingga masyarakat dan inflasi yang terkena. Apabila inflasi naik tinggi, suku bunga acuan akhirnya naik.

"Jadi lebih baik, bunga saja dulu yang naik, daripada kalau kurs sudah naik, susah turunnya. Tindakan preventif lebih baik daripada represif,"papar dia.

Lalu, untuk besaran peningkatan bunga acuan, menurut Jahja, paling tidak sekitar 50 bps. Hal ini bisa dilakukan 25 bps sebelum The Fed menaikkan suku bunga dan 25 bps setelah The Fed menaikkan suku bunga atau langsung 50 bps setelah The Fed menaikkan suku bunga.



(roy) Next Article Pelemahan Rupiah Bukan karena Faktor Fundamental

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular