Kemarin, IHSG menutup hari di posisi 6.208,87. Menguat 0,93% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu dan berada di level tertinggi sejak 25 Januari 2021.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada di Rp 13.995. Rupiah terapresiasi 0,14% sekaligus menyentuh titik terkuat sejak 21 Januari 2021.
Di Jepang, misalnya, tes acak terhadap warga ibu kota Tokyo menunjukkan 0,91% responden telah memiliki antibodi untuk menangkal virus corona. Naik dibandingkan tes yang dilakukan pada Juni 2020 yaitu 0,1%.
Dalam beberapa hari terakhir, kasus corona di Negeri Matahari Terbit terpantau melandai. Per 6 Februari 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di Jepang adalah 401.355 orang. Bertambah 2.307 orang (0.56%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Selama 14 hari terakhir (24 Januari-6 Februari 2021), rata-rata pasien positif bertambah 3.234 orang per hari. Jauh menurun dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 5.923 orang.
Situasi serupa terjadi di Australia. Mulai akhir pekan lalu, Kota Perth dan sekitarnya mulai membuka kembali 'keran' aktivitas dan mobilitas penduduk.
Seperti halnya di Jepang, kurva kasus corona di Negeri Kanguru pun melandai. WHO mencatat jumlah pasien positif corona di Australia per 6 Februari 2021 adalah 28.842 orang. Bertambah empat orang (0,01%) dibandingkan sehari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien positif bertambah enam orang setiap harinya. Lebih sedikit ketimbang rerata 14 hari sebelumnya yakni 13 orang per hari.
Akan tetapi, harga obligasi pemerintah malah turun. Ini terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield) berbagai tenor. Saat yield terangkat, artinya harga obligasi sedang turun.
Berpindah ke bursa saham New York, tiga indeks utama ditutup di jalur hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,76%, S&P 500 bertambah 0,74%, dan Nasdaq Composite menguat 0,95%. Ketiganya menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Investor di Wall Street semringah karena rencana stimulus fiskal di AS sepertinya berjalan mulus. Kongres sudah memberikan restu terhadap anggaran negara 2021 yang di dalamnya terkandung stimulus fiskal sebeesar US$ 1,9 trilun. Kemungkinan stimulus ini bisa mulai digelontorkan dalam beberapa pekan ke depan.
Janet Yellen, Menteri Keuangan AS, optimistis stimulus ini bakal berdampak besar bagi rakyat AS. Eks ketua bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) itu memperkirakan stimulus akan merangsang penciptaan lapangan kerja hingga ke titik optimal (full employment) dalam waktu setahun.
"Tidak ada alasan kita harus melalui masa pemulihan ekonomi yang terlampau lama. Dengan paket stimulus ini, saya perkirakan kita akan menuju full employment pada tahun depan," tegas Yellen, sebagaimana diwartakan CNBC International.
Selain itu, investor juga mengapresiasi kecepatan pemerintah AS dalam mendistribusikan vaksin anti-virus corona. US Centers of Disease Control dan Prevention (CDC) mencatat sudah 31,59 juta orang menerima satu dosis vaksin dan 9,15 juta orang sudah disuntik dosis kedua.
Mengutip riset Citi, sepertinya target Presiden Joseph 'Joe' Biden untuk mencapai kekebalan kolektif (herd immunity) dalam 100 hari pemerintahannya bisa tercapai. Saat ini, rata-rata vaksinasi di Negeri Paman Sam mencapai 1,44 juta dosis per hari.
"Setidaknya 233 juta penduduk atau 70% populasi AS harus menerima 365-485 juta dosis vaksin untuk membentuk herd immunity. Jika rata-rata vaksinasi bertahan di kisaran 1-2 juta dosis per hari mulai Februari 2021, maka penyuntikan 365 juta dosis akan tercapai pada Juli-Desember 2021," sebut riset Citi.
Vaksinasi akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian. Sebab, vaksin akan membentuk kekebalan tubuh untuk melawan virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu sehingga masyarakat bisa lebih merasa aman dalam beraktivitas. Mobilitas akan berangsur normal sehingga ekonomi akan pulih.
Citi memperkirakan vaksinasi akan memberi tambahan 1,1 poin persentase terhadap pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini. Naik dibandingkan perkiraan yang dibuat pad November 2020 yaitu 0,8 poin persentase.
 Sumber: Citi |
Untuk perdagangan hari ini, investor patut menyimak sejumlah sentimen yang bisa menggerakkan pasar. Pertama tentu perkembangan positf di Wall Street. Hijaunya Wall Street akan menjadi modal bagi pasar keuangan Asia untuk menguat, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah perkembangan harga minyak. Pada pukul 03:05 WIB, harga minyak jenis brent melesat 2,06% dan light sweet terdongkrak 1,9%. Harga si emas hitam sudah menyamai pencapaian pada Februari 2020, sebelum serangan pandemi merebak.
"Sekarang harga sudah menyentuh kisaran US$ 60/barel. Sepertinya pasar sudah bangkit setelah perjuangan yang panjang dan investor boleh menghembuskan napas lega. Rasanya hidup sudah berangsur normal," kata Paola Rodriguez, Vice Presiden Rystad Energy, seperti dikutip dari Reuters.
April 2020 adalah periode paling suram dalam sejarah perdagangan minyak dunia. Kala itu, harga anjlok-seanjloknya sampai ke titik terendah sepanjang masa. Bayangkan, harga light kok bisa sampai minus...
Kenaikan harga minyak memberi optimisme bahwa ekonomi sedang dan akan terus membaik. Kenaikan harga minyak menandakan permintaan komoditas ini meningkat tajam, tanda aktivitas ekonomi sudah mulai pulih dari keterpurukan. OPEC+ memperkirakan permintaan minyak akan berada di atas pasokan sehingga bukan tidak mungkin harga masih bisa naik.
 Sumber: Reuters |
Kini semua sudah terasa normal lagi. Harga minyak sudah kembali ke level pra-pandemi.
Ini tentu menjadi sentimen positif di pasar. Harapan akan kebangkitan ekonomi seiring pandemi yang lebih terkendali tentu memberi tambahan energi bagi investor.
Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Sejalan dengan optimisme yang menebal, investor pun ogah bermain aman. Akibatnya dolar AS yang berstatus sebagai aset aman (safe haven asset) kekurangan peminat sehingga nilai tukarnya melemah. Pada pukul 03:17 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,09%.
"Sekarang pasar bertanya-tanya, apakah dolar AS masih bisa menguat? Ini akan sangat tergantung dari perkembangan pandemi dan stimulus fiskal," ujar Yukio Ishizaki, FX Strategist di Daiwa Securities, seperti diberitakan Reuters.
Berdasarkan survei Reuters yang digelar pada 1-4 Februari 2021 terhadap 73 analis, 63 (86,3%) di antaranya memperkirakan dolar AS akan bertahan di level sekarang atau bahkan melemah. Hanya 10 analis (13,69%) yang memperkirakan dolar AS bisa menguat.
 Sumber: Reuters |
"Untuk jangka panjang, proyeksi kami untuk dolar AS adalah depresiasi, bukan apresiasi. Penguatan dolar AS yang terjadi pada awal tahun rasanya hanya fenomena temporer," tutur Steve Englander, Head of Global G10 FX Research di Standard Chartered, seperti dikutip dari Reuters.
Pelemahan dolar AS membuka ruang bagi mata uang lain, termasuk rupiah. Bukan tidak mungkin rupiah akan menguat sehingga dolar AS kian jauh dari level psikologis Rp 14.000.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel periode Desember 2020 dan proyeksi Januari 2021. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjuala ritel Desember 2020 tumbuh negatif 20,7% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY). Jika terwujud, maka akan menjadi yang terendah sejak November 2008.
Data-data ekonomi domestik yang sudah dirilis kurang menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi pada Januari 2021 sebesar 1,55% YoY, melambat dari bulan sebelumnya yang sebesar 1,68%. Suhariyanto, Kepala BPS, menyoroti soal konsumsi yang masih lemah menjadi penyebab perlambatan laju inflasi.
Kemudian BI sudah mengumumkan data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Januari 2021 yang sebesar 84,9. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 96,5.
IKK menggunkaan angka 100 sebagai titik mula. Kalau masih di bawah 100, maka konsumen secara umum pesimistis dalam memandang perekonomian, baik saat ini maupun enam bulan yang akan datang.
"Pada Januari 2021, persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini melemah dari bulan sebelumnya, diindikasi karena diberlakukannya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah, khususnya Jawa dan Bali, yang berdampak pada kembali menurunnya aktivitas ekonomi dan terbatasnya penghasilan masyarakat. Keyakinan konsumen terhadap penghasilan saat ini melemah disebabkan penurunan penghasilan rutin (gaji/upah/honor) maupun omset usaha, yang ditengarai akibat PPKM.
"Keyakinan konsumen terhadap ketersediaan lapangan kerja pada Januari 2021 juga tercatat menurun dibandingkan bulan sebelumnya. Sejalan dengan penurunan keyakinan terhadap penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja, keyakinan konsumen untuk melakukan pembelian barang tahan lama pada Januari 2021 juga mengalami penurunan, terutama pada jenis barang elektronik, furnitur, dan perabot rumah tangga," jelas laporan BI.
Oleh karena itu, data penjualan ritel yang anjlok tentu bukan sebuah kabar gembira. Saat pemulhan ekonomi global mulai terlihat, rasanya Indonesia masih agak tertinggal.
Apalagi laju vaksinasi anti-virus corona di Tanah Air masih lambat. Per 7 Februari 2021, rata-rata tujuh harian vaksinasi hanya 58.253 dosis. Sangat jauh di bawah target pemerintah yaitu 1 juta dosis per hari.
Vaksin akan menjadi kunci, game changer, untuk mengembalikan aktivitas dan mobilitas masyarakat kembali seperti dulu lagi. Kalau vaksinasi masih lambat, maka Indonesia butuh waktu lebih lama untuk mencapai herd immunity sehingga impian hidup normal kian jauh dari kenyataan.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data indeks keyakinan usaha Australia periode Januari 2021 (07:30 WIB).
- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Lotte Chemical Titan Indonesia (09:00 WIB).
- Rilis data penjualan ritel Indonesia periode Desember 2020 dan proyeksi Januari 2021 (10:00 WIB).
- Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR dengan Direktur Utama PT Pertamina (10:00 WIB).
- Rilis data perdagangan internasional Jerman periode Desember 2020 (14:00 WIB).
- Rapat Kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kelautan dan Perikanan (14:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (2020 YoY) | -2,07% |
Inflasi (Januari 2021 YoY) | 1,55% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2020) | 3,75% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2021) | -5,17% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (kuartal III-2020) | 0,36% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (kuartal III-2020) | US$ 2,05 miliar |
Cadangan Devisa (Januari 2021) | US$ 138 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA