Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) mulai bangkit di awal tahun 2021 ini. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS (DXY) berhasil mencapai level tertinggi dalam 2 bulan terakhir pada pekan lalu.
Namun, para "peternak" dolar AS jangan senang dulu, sebab hingga saat ini para analis masih belum merubah proyeksinya terkait berlanjutnya pelemahan the greenback. Apalagi, rupiah juga masih stabil melawan dolar AS.
Melansir data Refinitiv, pada 5 Januari lalu indeks dolar AS menyentuh level terendah nyaris 3 tahun di 89,209. Setelahnya, DXY perlahan bangkit dan menyentuh 91,602 pada pekan lalu, yang merupakan level tertinggi sejak 1 Desember. Secara persentase, dari 5 Januari hingga pekan lalu, indeks dolar AS sudah menguat 2,68%.
Pada periode yang sama dengan penguatan indeks dolar AS tersebut, rupiah hanya melemah 0,7%. Bahkan pada pekan lalu saat indeks dolar mencapai level tertinggi 2 bulan, rupiah malah stagnan, bahkan dalam 2 pekan beruntun.
Posisi jual (short) dolar AS memang sedang mengalami penurunan, artinya tekanan mulai berkurang. Berdasarkan data dari Commodity Futures Trading Commission (CTFC) posisi short dolar AS pada pekan yang berakhir 2 Februari tercatat sebesar US$ 27,95 miliar, turun tajam dari pekan sebelumnya US$ 33,81 miliar.
Penguatan dolar AS belakangan ini dipicu oleh bagusnya data tenaga kerja Negeri Paman Sam yang membuat pelaku pasar melakukan aksi short covering (menutup posisi jual dolar AS). Alhasil posisi short menjadi menurun dan dolar AS menguat.
Data yang dirilis pada Jumat pekan lalu menunjukkan tingkat pengangguran AS turun menjadi 6,3% di bulan Januari 2021, dari bulan Desember tahun lalu sebesar 6,7%. Tingkat pengangguran tersebut juga menjadi yang terendah sejak bulan Maret 2020, tepat saat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi.
Meski demikian, tingkat pengangguran tersebut masih jauh dibandingkan posisi sebelum pandemi Covid-19 di 3,5%.
"Ekonomi AS relatif lebih kuat dibandingkan negara lainnya, sehingga memicu aksi short covering dolar AS," kata Tohru Sasaki, kepala riset pasar Jepang J.P. Morgan, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (5/2/2021).
Namun, penguatan dolar AS belakangan ini diprediksi hanya berlangsung sesaat. Ahli strategi dari Westpac melihat vaksinasi yang dilakukan di Eropa akan mulai dipercepat pada akhir kuartal IV, ditambah dengan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgar pada akhirnya akan membuat dolar AS melemah.
"Penguatan indeks dolar AS (DXY) hanya sementara," tulis ahli strategi Westpac dalam sebuah catatan yang dikutip CNBC International, Jumat (5/4/2021).
Bahkan dalam catatan tersebut Westpac memberikan keterangan "Jual DXY ketika di Level 92". Indeks dolar AS saat ini berada di kisaran 91, sehingga kemungkinan tidak akan naik lebih jauh lagi.
Reuters melakukan survei pada 4 -7 Januari terhadap 70 ahli strategi mata uang, hasilnya menunjukkan sebanyak 46% memprediksi dolar AS masih akan melemah dalam 1 sampai 2 tahun ke depan. Persentase tersebut naik ketimbang survei bulan Desember lalu sebesar 39%.
 Foto: Refinitiv |
Sementara yang memprediksi the greenback akan melemah lebih dari 2 tahun sebesar 10%, sama dengan hasil survei bulan lalu.
Sedangkan yang memprediksi pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung selama 3 bulan turun menjadi 14% dari sebelumnya 15%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kebijakan Moneter Ultra Longgar dan Stimulus Fiskal Bakal Tekan Dolar AS
Penyebab utama dolar AS diramal akan melemah adalah stimulus moneter dari The Fed yang masih akan berlangsung hingga tahun 2023. Ditambah lagi dengan kemungkinan cairnya stimulus fiskal US$ 1,9 triliun, yang tentunya membuat dolar AS makin tertekan.
Kedua stimulus tersebut membuat jumlah uang yang bereda di perekonomian bertambah, secara teori dolar AS akan melemah.
House of Representative (DPR) AS sudah menyepakati resolusi anggaran pada Rabu pekan lalu waktu setempat. Resolusi tersebut akan diserahkan ke Senat AS dan diprediksi juga akan disepakati di pekan ini. Untuk diketahui DPR dan Senat AS kini sudah dikuasai oleh Partai Demokrat.
Dengan resolusi tersebut pemerintah AS bisa mencairkan stimulus fiskal US$ 1,9 triliun tanpa perlu persetujuan dari Partai Republik. Sehingga lolosnya undang-undang stimulus fiskal tersebut menjadi lebih mudah.
Sementara itu, The Fed di bawah komando Jerome Powell pada Kamis (28/1/2021) mempertahankan suku bunga di rekor terendah <0,25% dan program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan.
Kebijakan tersebut masih dipertahankan sebab The Fed melihat pemulihan ekonomi yang nyungsep akibat pandemi Covid-19 di Negeri Paman Sam mengalami pelambatan.
"Perekonomian masih jauh dari target inflasi dalam kebijakan moneter kami, dan kemungkinan membutuhkan waktu beberapa lama untuk mencapai kemajuan yang substansial.
Kebijakan masih akan "sangat akomodatif saat pemulihan sedang berlangsung," kata ketua The Fed, Jerome Powell, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (28/1/2021).
Suku bunga rendah <0,25% juga masih belum akan dinaikkan hingga tahun 2023, hal tersebut terindikasi dari data dari Fed Dot Plot yang diirlis. Sehingga ruang penguatan emas sebenarnya masih cukup besar.
Selain itu, dalam konferensi pers usai mengumumkan kebijakan moneter. Powell mengatakan laju pemulihan ekonomi dan pasar tenaga kerja dalam beberapa bulan terakhir berjalan secara moderat, dengan pelemahan terjadi di sektor yang paling terdampak pandemi.
Kemudian, "bisik-bisik" pengurangan nilai QE atau yang dikenal dengan tapering di akhir tahun ini, yang selama ini beredar di pasar, dibantah oleh Powell.
"Mengenai tapering, itu masih prematur. Kamu baru saja membuat panduan. Kami mengatakan kami ingin melihat kemajuan yang substansial menuju target kami sebelum kami memodifikasi panduan QE. Dan itu masih terlalu prematur untuk membahas kapan waktunya, kami harus fokus dalam kemajuan yang ingin kami lihat," kata Powell.
Pernyataan Powell tersebut membuat "bisik-bisik" tapering di akhir tahun ini meredup. Tapering The Fed pernah terjadi pada periode 2013-2015.
Pada Juni 2013 The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke akhirnya mengeluarkan wacana tapering QE. Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum".
Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE sejak krisis finansial global 2008, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.
The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Namun, hal tersebut sepertinya tidak akan terjadi, sebab The Fed sudah membantah tapering di akhir tahun ini. Selain itu, dalam rapat kebijakan moneter Desember 2020 lalu, para anggota dewan The Fed juga sepakat agar memberikan informasi ke pasar sejelas-jelasnya, guna meminimalisir risiko "taper tantrum".