Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat akan menggelar RDG pada 17-18 Juni. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menghasilkan median BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 4,25%. Artinya turun 25 basis poin (bps) dari posisi saat ini.
Selama dua kali RDG sebelumnya, pasar sudah berekspektasi suku bunga acuan bakal turun. Namun ternyata masih bertahan di 4,5%. Jika benar suku bunga acuan turun ke 4,25%, maka akan menjadi yang terendah sejak 2018.
Sebelumnya, BI berpandangan bahwa mempertahankan suku bunga acuan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Maklum, rupiah sempat melemah tajam pada Maret lalu hingga menyentuh kisaran Rp 16.000/US$.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) menggemparkan dunia sejak pekan ketiga Januari. Per 15 Juni, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sudah ada 7.823.289 orang yang positif mengidap virus corona dan korban jiwa mencapai 431.541 orang.
Pandemi virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu kemudian bertransformasi menjadi nestapa ekonomi.
Atas nama menekan penyebaran virus, berbagai negara menerapkan pembatasan sosial (social distancing). Perbatasan ditutup bagi warga negara asing, sekolah diliburkan, kantor dan pabrik tutup sementara, pusat perbelanjaan dan tempat wisata tidak boleh buka dulu, restoran tidak melayani makan/minum di tempat, serta berbagai larangan lainnya. Pokoknya jangan sampai ada kerumunan, karena virus mudah menyebar saat terjadi peningkatan kontak dan interaksi antar-manusia.
Meski social distancing telah menyelamatkan ribuan atau bahkan jutaan nyawa, tetapi 'tagihan' yang datang sangat mahal. Social distancing sama dengan membuat roda ekonomi seakan berhenti berputar. Akibatnya tidak hanya perlambatan, kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi terjadi di mana-mana.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia akan terkontraksi -5,2% pada tahun ini. Ini menjadi pencapaian terburuk sejak Perang Dunia II.
Dihadapkan kepada prospek ekonomi global yang suram, pelaku pasar panik dan memilih bermain aman. Instrumen paling aman saat situasi sangat tidak menentu adalah uang tunai, cash is king. Punya uang tunai, hidup Anda bakal aman.
Namun tidak sembarang cash, yang menjadi incaran utama adalah dolar Amerika Serikat (AS). Sebab, greenback adalah mata uang global yang diterima di seluruh dunia. Segala urusan bisa diselesaikan dengan mata uang Negeri Paman Sam.
Ketika dolar AS menjadi primadona pasar, otomatis mata uang lainnya melemah. Rupiah salah satunya, bahkan pada Maret depresiasi rupiah di hadapan dolar AS mencapai belasan persen.
Pandemi virus corona masih berlangsung dan tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Oleh karena itu, ketidakpastian di pasar keuangan global masih sangat tinggi dan sewaktu-waktu investor bisa kembali jatuh dalam kepanikan massal.
Alasan ini yang sepertinya menjadi pertimbangan BI belum menurunkan suku bunga acuan. Sebab kala pasar dilanda kekacauan dan suku bunga turun, rupiah semakin tidak menarik di mata investor.
Baca: Demi Rupiah, Alasan Utama BI Tahan Bunga Acuan di 4,5%
Akan tetapi, semakin ke sini alasan itu semakin kurang relevan. Selepas Maret, rupiah langsung tancap gas dan menguat sangat tajam.Sejauh ini, kuartal II-2020 adalah milik rupiah.
Sejak akhir Maret hingga kemarin, rupiah menguat nyaris 14% di hadapan dolar AS. Mata uang Asia lainnya tidak ada yang bisa menyamai, mendekati pun tidak.
Fundamental penyokong rupiah juga membaik. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) kemungkinan akan semakin tipis seiring penurunan impor yang sangat dalam. Pada Mei, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan surplus US$ 2,09 miliar akibat impor yang anjlok 42,2% year-on-year (YoY).
Tekanan inflasi pun sangat minim seiring lemahnya permintaan akibat pandemi virus corona. Berdasarkan Survei Pemantauan Harga (SPH) pekan kedua, BI memperkirakan inflasi Juni hanya 0,02% month-to-month (MtM). Ini membuat inflasi YoY masih di bawah 1%, tepatnya 1,93%.
Ketidakpastian di pasar keuangan juga mereda karena ada harapan ekonomi bisa pulih seiring perlambatan penyebaran virus corona yang membuat berbagai negara mulai membuka kembali keran aktivitas masyarakat meski tetap dengan rambu-rambu protokol kesehatan. Ini sering disebut sebagai kehidupan normal yang baru alias new normal.
Volatilitas di pasar sering dilihat berdasarkan indeks VIX, yang mencerminkan volatilitas di pasar saham AS dan menjadi rujukan dunia. Pada pertengahan Maret indeks yang dikenal sebagai indeks ketakutan (fear index) ini sempat berada di atas 82, tertinggi sepanjang sejarah.
Namun new normal membawa harapan ekonomi bisa bangkit pada semester II-2020 sehingga kepanikan pasar pun reda. Sejak akhir Maret, indeks VIX anjlok sampai hampir 40%.
Kemudian, rupiah juga punya 'beking' yang kuat bernama cadangan devisa. Per akhir Mei, cadangan devisa tercatat US$ 130,5 miliar, tertinggi sejak awal tahun ini.
Dengan cadangan devisa yang kian 'gemuk', investor boleh yakin bahwa rupiah bakal terus stabil bahkan bisa cenderung menguat. Sebab, BI akan punya 'peluru' yang cukup untuk menjaga rupiah kalau sampai terjadi apa-apa.
BI kini bisa lebih tenang karena rupiah (semoga) tidak akan kenapa-kenapa. So, sekarang adalah saat yang tepat bagi bank sentral untuk ikut mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, ekonomi Indonesia sepertinya akan terkontraksi -3,1% pada kuartal II-2020. Kalau proyeksi ini terwujud, maka akan menjadi kali pertama ekonomi Indonesia masuk zona minus sejak kuartal I-1999. Kala itu, ekonomi Tanah Air terkontraksi -6,13%.
BI bisa mengambil peran dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memberi stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan. Kala suku bunga acuan turun, diharapkan suku bunga simpanan perbankan akan mengikuti dan kemudian disusul oleh suku bunga kredit.
Saat suku bunga kredit rendah, dunia usaha dan rumah tangga akan berminat untuk mengambil pinjaman. Terjadi ekspansi konsumsi dan investasi sehingga bisa mendongrak pertumbuhan ekonomi.
Pada April, penyaluran kredit perbankan Indonesia hanya tumbuh 5,73% YoY. Ini adalah laju terlemah sejak November 2009.
Kredit perbankan ibarat 'darah' bagi perekonomian. Kala darah tidak mengalir lancar, maka seluruh tubuh akan menderita. Saat penyaluran kredit perbankan lesu, ekonomi pun jadi lunglai.
Oleh karena itu, butuh rangsangan untuk kembali menaikkan pertumbuhan kredit agar ekonomi bisa bergairah lagi. Salah satunya dengan menurunkan suku bunga acuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA