
Rupiah Rasanya Baik-baik Saja, Bisa Dong BI Turunkan Bunga...

Sebelumnya, BI berpandangan bahwa mempertahankan suku bunga acuan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Maklum, rupiah sempat melemah tajam pada Maret lalu hingga menyentuh kisaran Rp 16.000/US$.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) menggemparkan dunia sejak pekan ketiga Januari. Per 15 Juni, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sudah ada 7.823.289 orang yang positif mengidap virus corona dan korban jiwa mencapai 431.541 orang.
Pandemi virus corona adalah tragedi kesehatan dan kemanusiaan. Namun virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu kemudian bertransformasi menjadi nestapa ekonomi.
Atas nama menekan penyebaran virus, berbagai negara menerapkan pembatasan sosial (social distancing). Perbatasan ditutup bagi warga negara asing, sekolah diliburkan, kantor dan pabrik tutup sementara, pusat perbelanjaan dan tempat wisata tidak boleh buka dulu, restoran tidak melayani makan/minum di tempat, serta berbagai larangan lainnya. Pokoknya jangan sampai ada kerumunan, karena virus mudah menyebar saat terjadi peningkatan kontak dan interaksi antar-manusia.
Meski social distancing telah menyelamatkan ribuan atau bahkan jutaan nyawa, tetapi 'tagihan' yang datang sangat mahal. Social distancing sama dengan membuat roda ekonomi seakan berhenti berputar. Akibatnya tidak hanya perlambatan, kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi terjadi di mana-mana.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia akan terkontraksi -5,2% pada tahun ini. Ini menjadi pencapaian terburuk sejak Perang Dunia II.
Dihadapkan kepada prospek ekonomi global yang suram, pelaku pasar panik dan memilih bermain aman. Instrumen paling aman saat situasi sangat tidak menentu adalah uang tunai, cash is king. Punya uang tunai, hidup Anda bakal aman.
Namun tidak sembarang cash, yang menjadi incaran utama adalah dolar Amerika Serikat (AS). Sebab, greenback adalah mata uang global yang diterima di seluruh dunia. Segala urusan bisa diselesaikan dengan mata uang Negeri Paman Sam.
Ketika dolar AS menjadi primadona pasar, otomatis mata uang lainnya melemah. Rupiah salah satunya, bahkan pada Maret depresiasi rupiah di hadapan dolar AS mencapai belasan persen.
Pandemi virus corona masih berlangsung dan tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Oleh karena itu, ketidakpastian di pasar keuangan global masih sangat tinggi dan sewaktu-waktu investor bisa kembali jatuh dalam kepanikan massal.
Alasan ini yang sepertinya menjadi pertimbangan BI belum menurunkan suku bunga acuan. Sebab kala pasar dilanda kekacauan dan suku bunga turun, rupiah semakin tidak menarik di mata investor.
Baca: Demi Rupiah, Alasan Utama BI Tahan Bunga Acuan di 4,5%
(aji)