Polling CNBC Indonesia

Pasar Terbelah! BI Mau Turunkan Bunga atau Tahan Kah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 February 2020 06:20
Pasar Terbelah! BI Mau Turunkan Bunga atau Tahan Kah?
Ilustrasi Logo BI (REUTERS / Fatima El-Kareem)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku pasar gamang dalam menentukan antisipasi soal suku bunga acuan. Kemungkinan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan atau menurunkannya sama-sama besar, dan masing-masing alasannya masuk akal.

BI akan mulai menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Februari 2020 hari ini. Esok hari, Gubernur Perry Warjiyo dan sejawat akan mengumumkan BI 7 Day Reverse Repo Rate.



Di sini masalahnya. Dari 11 institusi yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus pasar CNBC Indonesia, enam di antaranya memperkirakan suku bunga acuan bertahan di 5%. Sisanya meramal BI 7 Day Reverse Repo Rate diturunkan 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%.
 

Institusi

BI 7 Day Reverse Repo Rate (%)

CIMB Niaga

5

BCA

4.75

BNI Sekuritas

5

Maybank Indonesia

4.75

ING

4.75

Citi

5

BTN

4.75

Danareksa Research Institute

5

Moody's Analytics

5

Bahana Sekuritas

4.75

Barclays

5

 
Well, enam dari 11 memang mayoritas. Namun mayoritas yang rapuh.

Ibarat sepakbola, sebuah tim unggul 1-0 tetapi bermain dengan 10 orang karena satu pemain dapat kartu merah padahal laga masih tersisa lumayan lama. Sebuah keunggulan yang sangat sulit dipertahankan. Imbang adalah hasil akhir yang realistis bagi tim itu.

Harus diakui, pasar terbelah. Tidak satu suara, jauh dari aklamasi. Namun apa yang membuat pasar begitu terpolarisasi?

[Gambas:Video CNBC]




Jawabannya adalah virus corona. Virus yang penyebarannya bermula dari Kota Wuhan di Provinsi Hubei (China) itu sudah menjadi masalah dunia.

Pada Selasa (18/2/2020) pukul 20:53 WIB, jumlah kasus virus corona di seluruh dunia mencapai 73.337. Sementara korban jiwa tercatat 1.875, hampir seluruhnya berada di China.

Mayoritas kasus Corona memang terjadi di China yaitu 72.439. Namun virus ini sudah menyebar ke berbagai negara di Asia, Eropa, Amerika, hingga Afrika.

Di Singapura ada 77 kasus, Jepang 66, Hong Kong 61, Thailand 35, Korea Seatan 31, Malaysia dan 22, Jerman dan Vietnam 16, Australia dan Amerika Serikat (AS) 15, Prancis 12, Makau 10, Uni Emirat Arab dan Inggris sembilan, Kanada delapan, Italia, Filipina, dan India tiga, Rusia dan Spanyol dua, serta Nepal, Kamboja, Belgia, Finlandia, Swedia, Finlandia, Mesir, dan Sri Lanka satu. Plus 454 kasus di kapal pesiar Diamond Princess.


Virus corona membuat seluruh dunia siaga satu. Aktivitas ekonomi lesu, karena siapa yang berani keluar rumah ketika virus mematikan bergentayangan?

"Pada akhir 2019, kami memproyeksikan akan ada pemulihan dan tekanan yang terjadi pada 2018-2019 bakal berakhir. Namun kemudian virus menyerang. Terjadi gangguan terhadap aktivitas bisnis, kantor-kantor tutup, dan mobilitas terbatas. Ada ketidakpastian, bukan hanya soal penyebaran virus tetapi juga dampak terhadap perekonomian global," tulis riset Citi.

Aktivitas masyarakat, terutama di China, yang lesu membuat roda perekonomian bergerak lambat. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi China sudah pasti melambat dan beberapa negara lain bahkan mendekat ke jurang resesi.

Oleh karena itu, ekonomi butuh perangsang. Pihak yang paling cepat bisa memberikan rangsangan tersebut adalah bank sentral.

Bank sentral China (PBoC) menurunkan suku bunga Medium-term Lending Facility (MLF) tenor setahun dari 3,25% menjadi 3,15%. Penurunan MLF diyakini pelaku pasar sebagai pembuka jalan pemangkasan Loan Prime Rate (LPF) yang akan diumumkan besok.

Sementara bank sentral Meksiko pada 13 Februari menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 7%. Langkah ini ditempuh setelah melihat perkiraan pertumbuhan ekonomi yang melambat.

"Berdasarkan data-data terkini, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2020 lebih rendah dibandingkan perkiraan yang dibuat pada Juli-September 2019. Risiko yang ada adalah bias ke bawah (downside)," sebut keterangan tertulis Banco de Mexico.

Bank sentral Thailand (BoT) sudah lebih dulu menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1% pada 5 Februari. Penyebabnya apa lagi kalau bukan virus Corona.

"Komite melihat bahwa pertumbuhan ekonomi Thailand pada 2020 lebih lambat dari perkiraan sebelumnya karena penyebaran virus Corona, keterlambatan pengesahan anggaran negara, dan kekeringan. Kunjungan wisatawan diperkirakan tumbuh melambat. Ekspor diperkirakan turun seiring penurunan permintaan di negara-negara mitra dagang dan dampak dari gangguan rantai pasok.

"Stabilitas sektor keuangan menjadi rentan dalam situasi perlambatan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, Komite melihat kebijakan moneter akomodatif dapat mengurangi dampak negatif tersebut," tulis keterangan resmi BoT.

Oleh karena itu, sangat masuk akal jika BI menempuh langkah serupa dengan Banco de Mexico dan BoT. Sebab, cepat atau lambat dampak virus Corona pasti akan dirasakan di Indonesia, bisa melalui jalur ekspor, investasi, hingga sentimen di pasar keuangan.

"Investasi akan terpukul ketika ada gangguan di China. Sekitar 50% impor Indonesia dari China adalah produk-produk manufaktur yang menjadi bahan baku/penolong untuk industri dalam negeri. Jadi ketika risiko gangguan rantai pasok di China semakin besar akibat penyebaran virus Corona, maka akan mempengaruhi pertumbuhan investasi di Indonesia," jelas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Satria memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2019 akan berada di kisaran 4,8%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,97%. Pada semester I-2019, pertumbuhan ekonomi diramal masih berada di bawah 5%, tepatnya 4,9%.


Kondisi ini membuat otoritas fiskal dan moneter akan merilis berbagai kebijakan untuk meredam dampak virus Corona terhadap perekonomian Indonesia. Paling dekat adalah BI menurunkan suku bunga acuan. "Sudah ada kebutuhan bank sentral bertindak preemtif untuk menangkal risiko perlambatan investasi," ujar Satria.

Akan tetapi ya itu tadi, pasar tidak sepakat bulat. Malah masih lebih banyak yang memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan bertahan di 5%.

"Memang BI masih mempertahankan tone kebijakan yang bias longgar, artinya penurunan suku bunga bisa terjadi kala pertumbuhan ekonomi berisiko melambat. Inflasi yang rendah dan rupiah yang cenderung menguat membuat ruang pelonggaran menjadi terbuka," kata Katrina Ell, Ekonom Moody's Analytics.

Namun, Ell memperkirakan penurunan suku bunga acuan tidak akan terjadi bulan ini. Pasalnya, masih ada hal yang akan membuat BI penuh pertimbangan dalam memutuskan kebijakan tersebut yaitu defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).

Pada kuartal IV-2019, transaksi berjalan Indonesia membukukan defisit US$ 8,12 miliar atau 2,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yakni US$ 7,49 miliar (2,6% PDB).


Boleh dibilang sejak 2018, fokus kebijakan suku bunga tidak lagi diarahkan untuk pengendalian inflasi tetapi juga CAD. Sebab CAD yang sejatinya adalah fenomena sektor riil (devisa ekspor-impor barang dan jasa yang seret) punya konsekuensi moneter yaitu depresiasi nilai tukar.

Kala pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa minim, rupiah memang berisiko melemah. Sebab rupiah menggantungkan diri kepada arus modal dari investasi portofolio di sektor keuangan yang mudah datang dan pergi.

Penurunan suku bunga acuan tidak akan membantu rupiah, karena justru berisiko membuat CAD membengkak. Saat suku bunga turun, investasi akan merangkak naik sehingga kebutuhan impor bahan baku/penolong dan barang modal meningkat. Investasi portofolio alias hot money pun enggan datang karena imbal hasil yang berkurang.

"CAD masih menjadi sumber kerentanan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, BI tentu akan sangat berhati-hati jika ingin menurunkan suku bunga acuan," tegas Ell.

Menjaga CAD adalah sebuah alasan yang masuk akal. Namun menjaga perekonomian dari dampak penyebaran virus corona tidak kalah penting.

Bingung juga ya. Kita serahkan saja ke BI deh...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular