Pak Jokowi, Moody's Sudah 'Warning' Ekonomi RI di Bawah 5%!
Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
18 February 2020 11:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Moody's kukuhkan peringkat surat utang pemerintah RI sebagai instrumen yang layak investasi (Investment Grade). Tapi...
Dalam assessment Moody's, Indonesia menghadapi tantangan dalam metrik kreditnya. Tantangan tersebut meliputi tiga hal. Pertama adalah rendahnya penerimaan negara yang dapat mempengaruhi profil kredit Indonesia.
Kedua adalah ketergantungan RI terhadap pendanaan eksternal dan yang terakhir adalah struktur ekonomi Indonesia yang masih riskan terhadap siklus pada sektor komoditas.
Artinya walau pertumbuhan ekonominya kuat dan stabil Indonesia masih menghadapi tantangan yang besar lho. Walaupun stabil, pertumbuhan ekonomi RI mentok di batas bawah angka 5%. Pertumbuhan ekonomi RI lima tahun terakhir berada di kisaran 4,9% - 5,2%.
Pertumbuhan ekonomi RI 2019 malah miris. Sejak kuartal pertama hingga akhir tahun pertumbuhan ekonomi terus melambat. Pada kuartal pertama tahun lalu, pertumbuhan ekonomi RI berada di angka 5,07% dan di kuartal terakhir bahkan di bawah 5% yaitu di 4,97% secara year on year.
Bahkan untuk tahun 2020 Moody's meramal pertumbuhan ekonomi pada 2020 ada kemungkinan berada di bawah 5% mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi global masih dapat terjadi.
Dalam rilis assessment seperti ditulis kembali, Selasa (18/2/2020), Moody's mengatakan walau ekonomi Indonesia tumbuh melambat dan hanya di angka 5%. Namun masih lebih baik dari negara lain dengan rating yang sama.
Di sini Moody's kembali memberikan catatannya untuk Indonesia. Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat oleh aturan dan isu ekonomi struktural lainnya seperti gap pada infrastruktur, sistem aturan atau regulasi yang membebani hingga pasar keuangan domestik yang dangkal.
Hal lain yang juga jadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi RI adalah kualitas tenaga kerja yang masih rendah dilihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan dan adanya ketidakcocokan antara kemampuan yang dimiliki dengan yang dibutuhkan pasar.
Namun Moody's memprediksi, inisiatif ini hanya akan menyelesaikan masalah struktural secara perlahan. Sementara pertumbuhan produktivitas masih akan rendah dan sensitivitas terhadap siklus komoditas masih tinggi.
Saat ini pemerintah memang sedang melakukan inisiatif untuk mereformasi hal ini seperti membangun infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas dan deregulasi untuk menarik investasi.
Di periode yang kedua, pemerintah saat ini fokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM), melalui sektor pendidikan dan kesehatan.
Selain itu pemerintah juga terus berupaya untuk membuat iklim di Indonesia lebih ramah terhadap dunia bisnis dengan melakukan pemangkasan kebijakan dan prosedur serta pemberian insentif pajak.
Bahkan pemerintah kemungkinan mengalami dilema untuk meningkatkan pendapatan dan melakukan reformasi fiskal guna menarik minat investasi para investor.
Lagi-lagi Moody's menyoroti hal ini dan Moody's memperkirakan jika hal ini berhasil diimplementasikan, maka dampaknya baru akan terlihat secara bertahap. Namun jika reformasi ini gagal atau malah molor maka perekonomian RI akan kena risikonya.
Selain dua faktor di atas yang disorot oleh Moody's, ada dua faktor lain yaitu faktor lingkungan dan pemerintahan. Moody's menilai risiko bisa datang dari faktor lingkungan mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana alam seperti banjir, kenaikan muka air laut, gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi.
Ini tentu menjadi risiko untuk profil kredit Indonesia karena dampaknya bisa sangat meluas mulai dari turunnya produksi pertanian, kerusakan pada infrastruktur dan properti hingga masalah keamanan pangan.
Selain itu, walau dari segi pemerintahan Indonesia menunjukkan adanya perbaikan. Namun berdasarkan Worldwide Governance Indicators, penegakan hukum di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan standard global.
Ada dua kesimpulan yang diambil oleh Moody's terkait faktor yang berpotensi menurunkan rating dan outlook surat utang RI. Pertama, jika reformasi yang dicanangkan pemerintah saat ini tak berjalan atau bahkan mengalami kemunduran. Kedua adalah jika ada perubahan kondisi eksternal yang menyebabkan depresiasi nilai tukar serta adanya aliran dana keluar (capital outflow).
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan melihat epidemi virus Corona yang masih menyerang dunia, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada pada kisaran 4,6% sampai 4,9% pada kuartal I-2019.
"Kemungkinan full year juga akan di bawah 5%. Karena epidemi ini belum tuntas, dan kita sudah kehilangan momen di satu semester ini," kata David saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (17/2/2020).
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, mengungkapkan sekitar 50% impor Indonesia dari China adalah barang-barang industri manufaktur yang diperlukan untuk investasi. Disrupsi supply chain regional di Tiongkok akibat corona virus ini tentunya berdampak pada industri di Indonesia, yang input produksinya banyak dari China.
"Banyak perusahaan multinasional asing yang memiliki pusat manufaktur di Tiongkok, yang produksi barangnya diperlukan industri di seluruh dunia termasuk Indonesia," kata Satria kepada CNBC Indonesia, Senin (17/2/2020).
"Tentu perlu ada sinkronisasi kebijakan fiskal-moneter yang lebih cepat dalam merespon ini. Otoritas fiskal di Tiongkok dan Singapura sudah mengumumkan pelebaran defisit anggaran, dan Indonesia seharusnya juga masuk ke dalam "synchronized fiscal easing" yang memang diperlukan untuk meminimalisir dampak melemahnya siklus ekonomi akibat dari virus corona ini," imbuhnya.
Satria kemudian menerangkan, dalam jangka pendek, pemerintah dapat melakukan: Pertama, pemotongan tiket pesawat untuk menstimulasi konsumsi, turisme dan perekonomian daerah. Kedua, stimulus pajak untuk menyokong ekspansi korporasi dan konsumsi domestik.
"Ketiga, memfokuskan stimulus fiskal ke bidang-bidang yang memiliki dampak multiplier tinggi bagi perekonomian, misalnya properti dan perumahan," terang Satria.
Senada dengan Satria, Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, mengungkapkan pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,3-4,6% pada kuartal I-2020.
"Perlambatan dipengaruhi wabah virus corona yang menghambat motor ekspor, investasi dan konsumsi domestik," katanya.
"Investasi dalam negeri masih wait and see menunggu pembahasan omnibus law perpajakan dan cipta kerja di parlemen," terang Bhima.
Sementara dari sektor lapangan usaha, industri manufaktur terus melemah ditunjukkan oleh penurunan PMI dari 49.5 menjadi 49.3 per Januari 2020 dibanding Desember tahun lalu.
"Yang harus dilakukan pemerintah dan BI adalah merilis paket paket stimulus pada sektor yang terdampak corona," tutur Bhima.
"Bisa berupa pemangkasan suku bunga acuan bank 25-50 bps di kuartal I-2020 maupun insentif perpajakan pada sektor berorientasi ekspor dan pariwisata, melakukan penangguhan pembayaran bunga atau cicilan pokok debitur pariwisata pada bank bank bumn (khususnya di Bali, Lombok dan Manado). Terakhir saya usul tarif maskapai penerbangan khususnya Garuda diturunkan secara signifikan sebagai promo wisatawan domestik untuk menggantikan potensi wisman yang hilang," paparnya.
(dru/wed) Next Article Moody's Sebut Risiko Perbankan di Asia Pasifik Meningkat
Dalam assessment Moody's, Indonesia menghadapi tantangan dalam metrik kreditnya. Tantangan tersebut meliputi tiga hal. Pertama adalah rendahnya penerimaan negara yang dapat mempengaruhi profil kredit Indonesia.
Kedua adalah ketergantungan RI terhadap pendanaan eksternal dan yang terakhir adalah struktur ekonomi Indonesia yang masih riskan terhadap siklus pada sektor komoditas.
Pertumbuhan ekonomi RI 2019 malah miris. Sejak kuartal pertama hingga akhir tahun pertumbuhan ekonomi terus melambat. Pada kuartal pertama tahun lalu, pertumbuhan ekonomi RI berada di angka 5,07% dan di kuartal terakhir bahkan di bawah 5% yaitu di 4,97% secara year on year.
Bahkan untuk tahun 2020 Moody's meramal pertumbuhan ekonomi pada 2020 ada kemungkinan berada di bawah 5% mengingat perlambatan pertumbuhan ekonomi global masih dapat terjadi.
Dalam rilis assessment seperti ditulis kembali, Selasa (18/2/2020), Moody's mengatakan walau ekonomi Indonesia tumbuh melambat dan hanya di angka 5%. Namun masih lebih baik dari negara lain dengan rating yang sama.
Di sini Moody's kembali memberikan catatannya untuk Indonesia. Potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat oleh aturan dan isu ekonomi struktural lainnya seperti gap pada infrastruktur, sistem aturan atau regulasi yang membebani hingga pasar keuangan domestik yang dangkal.
Hal lain yang juga jadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi RI adalah kualitas tenaga kerja yang masih rendah dilihat dari tingkat pendidikan dan kesehatan dan adanya ketidakcocokan antara kemampuan yang dimiliki dengan yang dibutuhkan pasar.
Namun Moody's memprediksi, inisiatif ini hanya akan menyelesaikan masalah struktural secara perlahan. Sementara pertumbuhan produktivitas masih akan rendah dan sensitivitas terhadap siklus komoditas masih tinggi.
Saat ini pemerintah memang sedang melakukan inisiatif untuk mereformasi hal ini seperti membangun infrastruktur untuk meningkatkan konektivitas dan deregulasi untuk menarik investasi.
Di periode yang kedua, pemerintah saat ini fokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM), melalui sektor pendidikan dan kesehatan.
Selain itu pemerintah juga terus berupaya untuk membuat iklim di Indonesia lebih ramah terhadap dunia bisnis dengan melakukan pemangkasan kebijakan dan prosedur serta pemberian insentif pajak.
Bahkan pemerintah kemungkinan mengalami dilema untuk meningkatkan pendapatan dan melakukan reformasi fiskal guna menarik minat investasi para investor.
Lagi-lagi Moody's menyoroti hal ini dan Moody's memperkirakan jika hal ini berhasil diimplementasikan, maka dampaknya baru akan terlihat secara bertahap. Namun jika reformasi ini gagal atau malah molor maka perekonomian RI akan kena risikonya.
Selain dua faktor di atas yang disorot oleh Moody's, ada dua faktor lain yaitu faktor lingkungan dan pemerintahan. Moody's menilai risiko bisa datang dari faktor lingkungan mengingat Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana alam seperti banjir, kenaikan muka air laut, gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi.
Ini tentu menjadi risiko untuk profil kredit Indonesia karena dampaknya bisa sangat meluas mulai dari turunnya produksi pertanian, kerusakan pada infrastruktur dan properti hingga masalah keamanan pangan.
Selain itu, walau dari segi pemerintahan Indonesia menunjukkan adanya perbaikan. Namun berdasarkan Worldwide Governance Indicators, penegakan hukum di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan standard global.
Ada dua kesimpulan yang diambil oleh Moody's terkait faktor yang berpotensi menurunkan rating dan outlook surat utang RI. Pertama, jika reformasi yang dicanangkan pemerintah saat ini tak berjalan atau bahkan mengalami kemunduran. Kedua adalah jika ada perubahan kondisi eksternal yang menyebabkan depresiasi nilai tukar serta adanya aliran dana keluar (capital outflow).
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan melihat epidemi virus Corona yang masih menyerang dunia, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada pada kisaran 4,6% sampai 4,9% pada kuartal I-2019.
"Kemungkinan full year juga akan di bawah 5%. Karena epidemi ini belum tuntas, dan kita sudah kehilangan momen di satu semester ini," kata David saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (17/2/2020).
Ekonom Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, mengungkapkan sekitar 50% impor Indonesia dari China adalah barang-barang industri manufaktur yang diperlukan untuk investasi. Disrupsi supply chain regional di Tiongkok akibat corona virus ini tentunya berdampak pada industri di Indonesia, yang input produksinya banyak dari China.
"Banyak perusahaan multinasional asing yang memiliki pusat manufaktur di Tiongkok, yang produksi barangnya diperlukan industri di seluruh dunia termasuk Indonesia," kata Satria kepada CNBC Indonesia, Senin (17/2/2020).
"Tentu perlu ada sinkronisasi kebijakan fiskal-moneter yang lebih cepat dalam merespon ini. Otoritas fiskal di Tiongkok dan Singapura sudah mengumumkan pelebaran defisit anggaran, dan Indonesia seharusnya juga masuk ke dalam "synchronized fiscal easing" yang memang diperlukan untuk meminimalisir dampak melemahnya siklus ekonomi akibat dari virus corona ini," imbuhnya.
Satria kemudian menerangkan, dalam jangka pendek, pemerintah dapat melakukan: Pertama, pemotongan tiket pesawat untuk menstimulasi konsumsi, turisme dan perekonomian daerah. Kedua, stimulus pajak untuk menyokong ekspansi korporasi dan konsumsi domestik.
"Ketiga, memfokuskan stimulus fiskal ke bidang-bidang yang memiliki dampak multiplier tinggi bagi perekonomian, misalnya properti dan perumahan," terang Satria.
Senada dengan Satria, Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, mengungkapkan pertumbuhan ekonomi diperkirakan 4,3-4,6% pada kuartal I-2020.
"Perlambatan dipengaruhi wabah virus corona yang menghambat motor ekspor, investasi dan konsumsi domestik," katanya.
"Investasi dalam negeri masih wait and see menunggu pembahasan omnibus law perpajakan dan cipta kerja di parlemen," terang Bhima.
Sementara dari sektor lapangan usaha, industri manufaktur terus melemah ditunjukkan oleh penurunan PMI dari 49.5 menjadi 49.3 per Januari 2020 dibanding Desember tahun lalu.
"Yang harus dilakukan pemerintah dan BI adalah merilis paket paket stimulus pada sektor yang terdampak corona," tutur Bhima.
"Bisa berupa pemangkasan suku bunga acuan bank 25-50 bps di kuartal I-2020 maupun insentif perpajakan pada sektor berorientasi ekspor dan pariwisata, melakukan penangguhan pembayaran bunga atau cicilan pokok debitur pariwisata pada bank bank bumn (khususnya di Bali, Lombok dan Manado). Terakhir saya usul tarif maskapai penerbangan khususnya Garuda diturunkan secara signifikan sebagai promo wisatawan domestik untuk menggantikan potensi wisman yang hilang," paparnya.
(dru/wed) Next Article Moody's Sebut Risiko Perbankan di Asia Pasifik Meningkat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular