
Bank Menyerbu, Permintaan di Lelang SUN Cetak Rekor Lagi

Nilai permintaan lelang SUN tadi siang itu kembali mencetak rekor setelah melampaui rekor tertinggi Rp 96,9 triliun yang tercipta pada lelang rutin obligasi rupiah konvensional pemerintah sebelumnya, yaitu pada 2 pekan lalu.
Nilai permintaan peserta lelang hari ini (18/2/20) juga di atas rerata lelang tahun ini Rp 91,14 triliun, rerata setahun lalu Rp 49,52 triliun, dan rerata 2018 sebesar Rp 41,6 triliun. Nilai permintaan itu berasal dari dua seri surat perbendaharaan negara (SPN/SUN dengan tenor di bawah setahun) senilai Rp 33,4 triliun dan lima seri SUN Rp 93,67 triliun.
Lelang hari ini terjadi ketika harga SUN positif, di mana ditunjukkan oleh empat seri acuan di pasar sekunder yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan keuntungan yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Keempat seri yang menjadi acuan pasar adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun, FR0080 bertenor 15 tahun, dan FR0083 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling menguat adalah FR0081 yang bertenor 5 tahun dengan penurunan yield 2,5 basis poin (bps) menjadi 5,77%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Yield Obligasi Negara Acuan 18 Feb'20 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 17 Feb'20 (%) | Yield 18 Feb'20 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar PHEI 18 Feb'21 (%) |
FR0081 | 5 tahun | 5.801 | 5.744 | -5.70 | 5.6501 |
FR0082 | 10 tahun | 6.574 | 6.548 | -2.60 | 6.4869 |
FR0080 | 15 tahun | 7.056 | 7.034 | -2.20 | 7.0067 |
FR0083 | 20 tahun | 7.288 | 7.279 | -0.90 | 7.2536 |
Sumber: Refinitiv
Pemecahan rekor permintaan yang masih terjadi sejak awal tahun serta harga yang masih menguat menunjukkan minat investor masih cukup besar terutama karena likuiditas perbankan yang masih 'banjir' dan sifat obligasi sebagai instrumen yang memiliki daya tahan lebih dibanding instrumen ekuitas.
"Bank juga semakin banyak yang ikut lelang akhir-akhir ini. Pemberitaan tentang pasar saham yang sedang negatif juga membuat pelaku pasar semakin banyak yang beralih ke pasar obligasi," ujar Ramdhan Ario Maruto, Head of Fixed Income Division PT Anugerah Sekuritas Indonesia.
Dia juga menilai turunnya nilai transaksi di pasar saham juga mencerminkan lesunya pelaku pasar ekuitas yang kemungkinan besar beralih ke pasar SUN.
Data pasar menunjukkan nilai transaksi harian pasar saham yaitu hanya Rp 6,46 triliun per hari di pasar saham sepanjang tahun ini, turun dari Rp 9,13 triliun pada 2019, Rp 8,5 triliun pada 2018, dan Rp 7,6 triliun pada 2017, juga mengindikasikan pelaku pasar ada yang beralih ke pasar obligasi.
Saat ini, pasar obligasi sedang didominasi investor perbankan domestik yang mencatatkan aksi beli bersih sejak awal tahun senilai Rp 153,17 triliun hingga awal pekan ini, 17 Februari.
Dari data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) itu menunjukkan nilai kepemilikan angka surplus SUN yang dimiliki perbankan senilai Rp 35,71 triliun sejak awal bulan hingga periode yang sama.
Ariawan, Head of Fixed Income Research PT BNI Sekuritas, menilai salah satu penyebab pelaku perbankan agresif dalam mengoleksi SUN di pasar adalah faktor likuiditas. "Likuiditas bank sedang besar sekali. Terlebih saat ini sudah tidak ada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), selain masuk ke SPN [SUN dengan tenor di bawah 1 tahun] mereka juga masuk ke seri FR [kupon tetap/fixed rate]."
Satu penyebab utama dari fenomena itu adalah tren di awal tahun di mana perbankan biasanya enggan menahan dana pihak ketiga (DPK) di dalam buku mereka, setelah mengejar target peningkatan DPK sekaligus penyaluran kredit di bulan-bulan akhir tahun.
Selain itu, perbankan juga tentu masih enggan menyalurkan dananya dalam bentuk kredit di tengah risiko yang sedang meningkat karena adanya ancaman berlanjutnya perlambatan tingkat konsumsi masyarakat apalagi saat ini pasar keuangan global masih dibekap kekhawatiran.
Kekhawatiran dari global adalah ancaman perlambatan tumbuhanya ekonomi dunia yang kemudian semakin berlipat dengan adanya wabah virus corona Wuhan yang masih belum tuntas hingga sekarang ini.
Alhasil, SUN menjadi instrumen yang justru dikejar perbankan guna memarkir dana yang sedang 'idle' yang kemungkinan menjadi penyebab keringnya likuiditas rupiah di pasar keuangan, apalagi investor asing sudah mulai melepas kepemilikannya di pasar obligasi pemerintah itu.
Minat bank yang tinggi pada SUN juga dapat dilihat bahwa bertambahnya porsi perbankan di pasar SUN diiringi penguatan harga, sehingga ada tekanan beli di sana. Tekanan beli berarti lebih banyak pelaku pasar yang melakukan penawaran beli dibandingkan dengan tekanan jual sehingga membuat harganya terdongkrak di pasar.
Derasnya minat perbankan untuk menukar rupiahnya dengan SUN dapat juga tercermin pada salah satu operasi moneter yang digelar bank sentral untuk perbankan, yakni lelang reverse repo SUN.
Reverse repo adalah salah satu instrumen moneter milik bank sentral untuk menyerap kelebihan likuiditas, dalam hal ini rupiah, di sistem keuangan. Mekanismenya adalah BI akan menyerap dana dari perbankan yang akan dijamin dengan SUN yang sudah lebih dulu dimiliki bank sentral, atau istilah sederhananya reverse-gadai SUN.
Bank Indonesia, yang dapat ikut lelang SUN sebagai peserta non-kompetitif dan juga bisa melakukan operasi moneter di pasar dengan memanfaatkan efek utang tersebut, ternyata juga menjadi investor yang paling banyak melepas obligasi rupiah pemerintah.
Bank sentral tercatat melepas SUN sejak awal tahun senilai Rp 110,2 triliun dan Rp 10,81 triliun sejak akhir Januari hingga 14 Februari. Di sisi lain, investor asing mencatatkan kepemilikan SUN sebesar Rp 1.065,89 triliun, yang berarti dana investor asing baru yang masuk tahun ini ke pasar SUN tinggal Rp 4,03 triliun per awal pekan ini (17/2/20), data terakhir yang dirilis Kemenkeu.
Angka itu jelas turun dibanding posisi tertinggi tahun ini Rp 1.092,02 triliun pada 24 Januari 2020 atau berarti sudah susut dari posisi tertinggi yang sempat masuk Rp 30,16 triliun sejak awal tahun pada akhir Januari tersebut.
Posisi tersebut juga mencerminkan kepemilikan investor asing masih masuk ke pasar SUN senilai Rp 470 miliar sejak akhir pekan lalu, sedangkan sejak awal bulan masih defisit Rp 11,17 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%