Polling CNBC Indonesia

Pasar Terbelah! BI Mau Turunkan Bunga atau Tahan Kah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 February 2020 06:20
Turunkan atau Tahan, Pak Perry?
Gubernur BI Perry Warjiyo (CNBC Indonesia/Andrean Kristanto)

Oleh karena itu, sangat masuk akal jika BI menempuh langkah serupa dengan Banco de Mexico dan BoT. Sebab, cepat atau lambat dampak virus Corona pasti akan dirasakan di Indonesia, bisa melalui jalur ekspor, investasi, hingga sentimen di pasar keuangan.

"Investasi akan terpukul ketika ada gangguan di China. Sekitar 50% impor Indonesia dari China adalah produk-produk manufaktur yang menjadi bahan baku/penolong untuk industri dalam negeri. Jadi ketika risiko gangguan rantai pasok di China semakin besar akibat penyebaran virus Corona, maka akan mempengaruhi pertumbuhan investasi di Indonesia," jelas Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Satria memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2019 akan berada di kisaran 4,8%, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,97%. Pada semester I-2019, pertumbuhan ekonomi diramal masih berada di bawah 5%, tepatnya 4,9%.


Kondisi ini membuat otoritas fiskal dan moneter akan merilis berbagai kebijakan untuk meredam dampak virus Corona terhadap perekonomian Indonesia. Paling dekat adalah BI menurunkan suku bunga acuan. "Sudah ada kebutuhan bank sentral bertindak preemtif untuk menangkal risiko perlambatan investasi," ujar Satria.

Akan tetapi ya itu tadi, pasar tidak sepakat bulat. Malah masih lebih banyak yang memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan bertahan di 5%.

"Memang BI masih mempertahankan tone kebijakan yang bias longgar, artinya penurunan suku bunga bisa terjadi kala pertumbuhan ekonomi berisiko melambat. Inflasi yang rendah dan rupiah yang cenderung menguat membuat ruang pelonggaran menjadi terbuka," kata Katrina Ell, Ekonom Moody's Analytics.

Namun, Ell memperkirakan penurunan suku bunga acuan tidak akan terjadi bulan ini. Pasalnya, masih ada hal yang akan membuat BI penuh pertimbangan dalam memutuskan kebijakan tersebut yaitu defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD).

Pada kuartal IV-2019, transaksi berjalan Indonesia membukukan defisit US$ 8,12 miliar atau 2,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yakni US$ 7,49 miliar (2,6% PDB).


Boleh dibilang sejak 2018, fokus kebijakan suku bunga tidak lagi diarahkan untuk pengendalian inflasi tetapi juga CAD. Sebab CAD yang sejatinya adalah fenomena sektor riil (devisa ekspor-impor barang dan jasa yang seret) punya konsekuensi moneter yaitu depresiasi nilai tukar.

Kala pasokan valas dari ekspor-impor barang dan jasa minim, rupiah memang berisiko melemah. Sebab rupiah menggantungkan diri kepada arus modal dari investasi portofolio di sektor keuangan yang mudah datang dan pergi.

Penurunan suku bunga acuan tidak akan membantu rupiah, karena justru berisiko membuat CAD membengkak. Saat suku bunga turun, investasi akan merangkak naik sehingga kebutuhan impor bahan baku/penolong dan barang modal meningkat. Investasi portofolio alias hot money pun enggan datang karena imbal hasil yang berkurang.

"CAD masih menjadi sumber kerentanan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, BI tentu akan sangat berhati-hati jika ingin menurunkan suku bunga acuan," tegas Ell.

Menjaga CAD adalah sebuah alasan yang masuk akal. Namun menjaga perekonomian dari dampak penyebaran virus corona tidak kalah penting.

Bingung juga ya. Kita serahkan saja ke BI deh...

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/sef)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular