Rupiah Bisa Terus Perkasa, Obatnya Apa? Cadangan Devisa!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 June 2020 12:37
dollar
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Mei meningkat US$ 2,6 miliar. Data ini menjadi bekal penguatan nilai tukar rupiah.

Pada akhir Mei, cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 130,5 miliar. Naik dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar US$ 127,9 miliar. Angka US$ 130,5 miliar menjadi catatan tertinggi sejak awal tahun ini.



"Peningkatan cadangan devisa pada Mei 2020 terutama dipengaruhi oleh penarikan utang luar negeri pemerintah dan penempatan valas perbankan di Bank Indonesia. Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang tetap baik," sebut keterangan tertulis BI.


Likuiditas valas perbankan memang sedang agak berlimpah. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia, per akhir Maret 2020 outstanding Dana Pihak Ketiga (DPK) valas di bank umum mencapai Rp 967,44 triliun. Melonjak 12,54% dibandingkan bulan sebelumnya.

Tidak hanya DPK, pinjaman valas oleh perbankan pun meningkat. Per akhir Maret 2020, outstanding pinjaman valas oleh perbankan adalah Rp 225,44 triliun. Naik 10,08% dibandingkan bulan sebelumnya.



Likuiditas valas yang berlimpah ini tentu butuh wadah. Saat ini penyaluran kredit masih tumbuh melambat akibat kelesuan aktivitas ekonomi seiring pembatasan sosial (social distancing) untuk mencegah penularan virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).


Oleh karena itu, penempatan valas di bank sentral menjadi salah satu opsi yang paling memungkinkan. Peningkatan penempatan valas perbankan di bank sentral ini membantu mendongkrak cadangan devisa.

Di sisi supply, pasokan valas yang memadai menopang peningkatan cadangan devisa. Sementara di sisi demand, kebutuhan valas untuk stabilisasi nilai tukar rupiah relatif minim.

Sepanjang Mei, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) meningkat Rp 7,07 triliun. Sementara di pasar saham, investor asing melakukan beli bersih (net buy) Rp 8,03 triliun.


Tingginya arus modal asing membuat rupiah mampu menjaga dirinya sendiri, kebutuhan intervensi dari BI menjadi minim. Bahkan kepemilikan BI di SBN selama Mei berkurang Rp 13,54 triliun, menandakan BI tidak 'ngoyo' memborong obligasi pemerintah di pasar sekunder untuk stabilisasi nilai tukar.

Tanpa intervensi BI pun rupiah sudah perkasa, malah sangat perkasa. Sepanjang Mei, rupiah menguat 1,69% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point.



Ke depan, peluang peningkatan cadangan devisa lebih lanjut masih terbuka. Likuiditas valas perbankan bisa semakin 'gemuk' seiring derasnya pasokan valas akibat tren kebijakan moneter ultra-longgar di berbagai negara.

Fitch Ratings memperkirakan nilai stimulus moneter dalam bentuk pembelian surat-surat berharga (quantitative easing) oleh seluruh bank sentral dunia pada tahun ini bisa mencapai US$ 6 triliun. Di AS, neraca bank sentral Negeri Paman Sam (The Federal Reserve/The Fed) pada pertengahan Maret tercatat US$ 4,3 triliun. Namun pada akhir April jumlahnya membengkak menjadi US$ 6,5 triliun.

Kemudian bank sentral Uni Eropa (ECB) pada pertengahan Maret hingga medio April membeli surat-surat berharga dengan nilai total EUR 120 miliar. Sebelumnya, nilai quantitative easing 'hanya' sekitar EUR 20 miliar per bulan.

Sementara bank sentral Inggris (BoE) berencana menambah pembelian obligasi pemerintah senilai GBP 200 miliar. Sedangkan bank sentral Jepang (BoJ) meluncurkan program tambahan pembelian Exchange Traded Funds (ETFs) sampai dengan JPY 12 triliun.


Gelontoran 'uang murah' itu tentu akan menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Uang-uang itu akan masuk ke perbankan dan sektor keuangan Tanah Air.


Arus modal asing di pasar keuangan Indonesia juga sepertinya masih akan deras. Soalnya, berinvestasi Indonesia masih memberikan kentungan cukup tinggi.

Ambil contoh di SBN. Imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun saat ini berada di 7,19%. Meski dalam tren turun, tetapi selisih dengan instrumen serupa di AS masih sangat jauh.



"Perbedaan suku bunga, SBN 10 tahun dan US Treasury Bond perbedaannya 6,2%. Imbal hasil investasi Indonesia masih tinggi," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalaam briefing Perkembangan Ekonomi Terkini, akhir pekan lalu.


Dengan prospek cadangan devisa yang cerah ini, investor kian yakin bahwa rupiah bakal terus stabil bahkan bisa cenderung menguat. Sebab, BI akan punya 'peluru' yang cukup untuk menjaga rupiah kalau sampai terjadi apa-apa.

Kepercayaan ini membuat rupiah diburu sehingga nilai tukarnya menguat. Pada pukul 11:40 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 13.815 di mana rupiah menguat 0,25% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu. Penguatan itu sudah cukup untuk membawa rupiah jadi mata uang terkuat di Asia.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 11:42 WIB:





TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular