Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (cadev) Indonesia akhirnya membukukan kenaikan di bulan Desember setelah mengalami penurunan dalam 3 bulan beruntun. Kenaikan pada akhir 2020 tersebut juga terbilang besar, hingga menyentuh level tertinggi kedua sepanjang sejarah.
Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa naik US$ 2,3 miliar menjadi US$ 135,9 miliar di bulan Desember dari bulan sebelumnya. Sementara itu, rekor tertinggi cadev dicapai pada bulan Agustus lalu sebesar US$ 137 miliar.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,2 bulan impor atau 9,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI, Jumat (8/1/2021).
Sebelumnya naik di bulan Desember, penurunan cadev dalam 3 bulan beruntun terjadi akibat pembayaran utang pemerintah.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan proyeksi utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2020 sebesar Rp 238 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari jatuh tempo obligasi negara Rp 158 triliun dan pinjaman Rp 80 triliun.
Sementara di bulan Desember, menurut keterangan BI, peningkatan cadev terutama dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri pemerintah dan penerimaan pajak.
"Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi," pungkas siaran BI.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada tahun 2020 merencanakan penarikan pinjaman luar negeri sebesar US$ 7,3 miliar (sekitar Rp 109 triliun, kurs Rp 15.000/US$).
Berdasarkan rilis APBN KiTa edisi Desember 2020, realisasi penarikan pinjaman luar negeri mencapai mencapai Rp 95,17 triliun, dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 76,89 triliun. Sehingga pinjaman luar negeri hingga pertengahan Desember sebesar Rp 18,27 triliun.
Selain itu, di bulan Desember, pemerintah juga melakukan lelang Surat Utang Negara (SUN) di awal Desember lalu, dengan target indikatif Rp 20 triliun. Dalam proses lelang tersebut, pemerintah mencatatkan kelebihan permintaan (oversubscribed) 4 kali lipat dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp 94,3 triliun.#
Pemerintah memenangkan sebesar Rp 25,6 triliun, lebih besar dari target indikatif Rp 20 triliun.
Selain itu harga komoditas ekspor andalan Indonesia juga terus menunjukkan kenaikan tentunya meningkatkan penerimaan dan tarif pungutan ekspor. Rata-rata harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di bulan Desember sebesar 3.483 ringgit per ton (sekitar US$ 870 per ton), naik 5,5% dari bulan sebelumnya. Harga CPO tersebut berada di level tertinggi 8 tahun terakhir.
Pemerintah di awal Desember juga mengubah besaran tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/ CPO) menjadi disesuaikan berdasarkan batasan lapisan nilai harga CPO yang mengacu pada harga referensi yang ditetapkan Menteri Perdagangan.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No.191/PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No.57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan. Peraturan tersebut berlaku sejak 10 Desember 2020.
Dalam peraturan baru tersebut, tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit (CPO) minimal sebesar US$ 55 per ton dan paling tinggi US$ 255 per ton. Tarif pungutan US$ 55 per ton dengan asumsi harga CPO berada di bawah atau sama dengan US$ 670 per ton.
Untuk harga CPO di atas US$ 670 per ton sampai dengan US$ 695 per ton, maka tarif pungutan ekspor naik sebesar US$ 5 per ton menjadi US$ 60 per ton. Namun, bila harga CPO di atas US$ 695 per ton sampai dengan US$ 720 per ton, maka tarif pungutan naik lagi sebesar US$ 15 per ton menjadi US$ 75 per ton.
Begitu pun bila harga CPO di atas US$ 720 per ton sampai US$ 745 per ton, pungutan akan naik menjadi US$ 90 per ton. Dan seterusnya, setiap harga CPO naik US$ 25 per ton, maka pungutan ekspor akan naik sebesar US$ 15 per ton. Bila harga CPO di atas US$ 995 per ton, maka tarif pungutan ekspor mencapai US$ 255 per ton.
Sementara itu harga batu bara juga terus menunjukkan tren naik. Rata-rata harga batu bara acuan ICE Newcastle di bulan Desember sebesar US$ 80,85/ton, melesat 25% ketimbang rata-rata bulan November.
Akibat kenaikan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menetapkan HBA pada Desember 2020 naik 7,07% menjadi US$ 59,65/ton dari US$ 55,71/ton pada November 2020.
Setelah merosot terus merosot sejak April, HBA akhirnya terus menanjak 3 bulan terakhir. Tercatat pada Oktober 2020 harga batu bara di angka US$ 51 per ton, naik dari bulan sebelumnya, September yang hanya menyentuh angka US$ 49,42 per ton.
Kemudian nilai tukar rupiah yang stabil sepanjang Desember juga membuat kebutuhan intervensi menjadi minim, sehingga cadangan devisa mampu meroket lagi. Berdasarkan data Refinitiv, sepanjang bulan Desember rupiah menguat tipis 0,21%, dan bergerak di rentang Rp 14.040 sampai Rp 14.165/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA