Newsletter

Waspada Gelombang Kedua Serangan Virus Corona!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 May 2020 06:01
Melihat Penanganan Pasien Covid-19/ virus Corona di Italia. AP/Claudio Furlan
Foto: Melihat Penanganan Pasien Covid-19/ virus Corona di Italia. AP/Claudio Furlan

Jakarta, CNBC Indonesia  - Pasar keuangan Indonesia melemah pada perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah kompak terkoreksi.

Sepanjang pekan lalu, IHSG melemah tipis 0,17% secara point-to-point. Meski melemah, tetapi IHSG bukan yang terlemah di Asia. Di tengah bursa saham Benua Kuning yang bergerak variatif, koreksi IHSG masih relatif minim.

Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,44%. Rupiah juga tidak berdaya kala disandingkan satu lawan satu dengan mata uang utama Asia.


Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun melonjak 20 basis poin (bps)  sepanjang minggu lalu. Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun akibat tekanan jual. Selama 4-6 Mei, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) memang turun Rp 2,19 triliun.

Apa boleh buat, pekan lalu memang bukan momentum yang tepat bagi pasar keuangan Indonesia. Berbagai rilis data sama sekali tidak memihak IHSG dkk.

Pada awal pekan, IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia untuk periode April 2020 sebesar 27,5. Jauh menurun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI pada April 2011.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Di atas 50 berarti dunia usaha optimistis dan siap melakukan ekspansi. Sebaliknya kalau di bawah 50, berarti dunia usaha pemististis sehingga yang ada adalah kontraksi.

Artinya, dunia usaha di Ibu Pertiwi sepertinya sangat gloomy memandang prospek perekonomian saat ini dan masa mendatang sehingga belum memikirkan ekspansi. Jangankan ekspansi, bertahan hidup saja sudah ngos-ngosan.


Absennya ekspansi dunia usaha akan membuat pertumbuhan ekonomi sulit melaju kencang. Benar saja, pada 5 Mei 2020, Badan Pusa Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2020 tumbuh 2,97%. Ini adalah laju terendah sejak 2001.

Realisasi ini jauh dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 4,33%. Juga jauh di bawah proyeksi Bank Indonesia (BI) yang sebesar 4,4%.

"Dampak dari penanganan Covid-19 mulai mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi. Konsumsi, investasi, ekspor-impor. Semula kami perkirakan Maret belum kena. Semula konsumsi kami kira bisa tumbuh 4,4%, ternyata konsumsi sudah tidak setinggi yang kami perkirakan, hanya tumbuh 2,8%. Demikian juga investasi, yang semula kami perkirakan 2,4% ternyata 1,7%. Artinya, social distancing telah mempengaruhi pendapatan masyarakat, konsumsi, serta aktivitas produksi dan investasi dunia usaha," papar Perry Warjiyo, Gubernur BI.


Sehari setelah rilis data pertumbuhan ekonomi, BI menyampaikan kabar buruk yaitu Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang anjlok menjadi 84,8 pada April 2020. Turun drastis dari bulan sebelumnya yaitu 113,8 sekaligus menjadi yang terendah sejak Juli 2008.

"Melemahnya optimisme konsumen terutama disebabkan oleh menurunnya persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan penurunan terdalam pada indeks penghasilan saat ini dan ketersediaan lapangan kerja. Sementara di sisi ekspektasi, konsumen masih relatif optimis terhadap perkiraan kondisi ekonomi pada 6 bulan mendatang meskipun tidak sekuat perkiraan bulan sebelumnya. Optimisme tersebut ditopang oleh perkiraan penghasilan yang meningkat dan kegiatan usaha yang kembali membaik pada 6 bulan mendatang, seiring dengan perkiraan telah meredanya pandemi COVID-19 di Indonesia," sebut laporan BI.

IKK menggunakan angka 100 sebagai titik start. Di atas 100 berarti konsumen pede, sebaliknya kalau di bawah 100 konsumen pesimistis.

IKK adalah salah satu indikator awalan (leading indicator) yang penting untuk mengeker ke mana ekonomi akan bergerak. Leading indicator lain yang kerap digunakan untuk membaca arah ekonomi adalah PMI.

Data PMI, pertumbuhan ekonomi, dan IKK memberi gambaran bahwa prospek perekonomian Indonesia tidak terlalu cerah. Akibatnya, investor memilih untuk meninggalkan pasar keuangan Indonesia.

[Gambas:Video CNBC]



Berkebalikan dengan bursa saham Indonesia, Wall Street justru garang pekan lalu. Selama seminggu kemarin, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melesat 2,56 secara point-to-point. Dalam periode yang sama, S&P 500 melonjak 3,5% dan Nasdaq Composite meroket 6%.


Bahkan pada perdagangan akhir pekan bursa saham New York ditutup menguat signifikan di mana DJIA naik 1,91%, S&P 500 bertambah 1,69%, dan Nasdaq terangkat 1,58%. Padahal hari itu US Bureau of Labor Statistics mengumumkan angka pengangguran AS mencapai 14,7% pada April 2020, tertinggi sejak Perang Dunia II.

Plus, jumlah lapangan kerja di AS menyusut 20,5 juta. Ini adalah penurunan terdalam sejak Depresi Besar pada 1930-an.

Namun pelaku pasar sepertinya cuek bebek saja. Sebab, angka pengangguran tinggi itu masih di bawah ekspektasi pasar sebagaimana konsensus yang dihimpun Reuters yaitu mencapai 16%. Begitu pula dengan penyusutan lapangan kerja, lebih rendah dari konsensus yang memperkirakan mencapai 22 juta.


"Ini adalah hari yang bersejarah sekaligus tragis bagi ekonomi AS. Namun pasar sudah punya pandangan bahwa semua ini hanya sementara," tegas Ed Moya, Senior Market Analyst di OANDA, seperti dikutip dari Reuters.

"Memang berat kalau melihat data ketenagakerjaan yang seperti itu. Akan tetapi kalau melihat ekspektasi yang terbentuk sebelumnya, ternyata lebih baik dari perkiraan," tambah Brian Nick, Chief Investment Strategist di Nuveen, sebagaimana diwartakan Reuters.

Ya, pasar melihat bahwa angka pengangguran bulan lalu adalah titik nadir. Ke depan, ada harapan angka ini bakal menurun seiring aktivitas masyarakat yang kembali dibuka karena perlambatan penyebaran virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Sejak awal Mei, berbagai negara bagian di Negeri Paman Sam telah melonggarkan kebijakan pembatasan sosial. Misalnya di Texas, pemerintah sudah mengizinkan restoran, toko ritel, dan pusat perbelanjaan dibuka kembali dengan kapasitas maksimal 25%. Jika infeksi terus melambat, maka pelonggaran fase kedua yang lebih besar rencananya akan dilakukan mulai 18 Mei.

"Kita semua memantau bagaimana pembukaan kembali (reopening) ini berjalan. Anda mulai bisa mendengar dari dunia usaha bahwa kondisi sudah lebih baik ketimbang beberapa waktu lalu yang membuat depresi," kata Keith Lerner, Chief Market Strategist di Truist/SunTrust Advisory Services, seperti dikutip dari Reuters.

Harapan bahwa kondisi akan terus membaik menyebabkan volatilitas di pasar keuangan Negeri Adidaya menurun drastis. Sepanjang pekan lalu, indeks VIX (yang mencerminkan volatilitas pasar, juga dikenal sebagai indeks ketakutan/fear index) merosot 24,76% sehingga pada akhir pekan berada di 27,98. Indeks VIX berada di bawah 30 untuk kali pertama sejak 26 Februari.

Risk appetite pelaku pasar sudah kembali sehingga menurunkan minat terhadap aset-aset aman (safe haven assets) seperti emas. Sepanjang pekan lalu, harga emas dunia di pasar spot turun 0,09%.


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama, dan yang paling utama, tentu seputar pandemi virus corona.

"Kecuali saat terjadi kepanikan pada Maret lalu, secara umum sepertinya investor tidak peduli terhadap data ekonomi. Sekarang pasar lebih fokus ke data terkait Covid-19," kata Nick.

Untuk data terkait virus corona, ada sedikit kabar buruk. Ternyata laju penambahan pasien baru di AS sedikit meningkat selepas pelonggaran social distancing. Sejak 5-8 Mei, berturut-turut terjadi kenaikan 1,66%, 1,9%, 2,12%, dan 2,38%.


Walau kenaikannya kecil-kecil saja, tetapi perlu menjadi catatan yang serius. Sebab jangan sampai kenaikan kecil-kecil ini menjadi bola salju yang terus menggelinding, semakin besar, dan datanglah apa yang ditakutkan oleh seluruh dunia. Gelombang serangan kedua alias second wave outbreak...

Tidak cuma di AS, di beberapa negara lain juga ada kekhawatiran serupa. Di Korea Selatan, kasus corona agak meningkat karena penyebaran di sebuah klub malam yang menyebabkan 34 orang terinfeksi. Ini terjadi usai pemerintah Negeri Ginseng melonggarkan aturan social distancing.

Sementara di Kota Wuhan (China) yang merupakan ground zero penyebaran virus corona, terdapat satu pasien lagi setelah belum lama ini ibu kota Provinsi Hubei itu dinyatakan bebas corona. Pasien baru itu tidak menunjukkan gejala (asimptomatik).


"Sepertinya kita ingin melupakan kenyataan bahwa pengawasan aspek kesehatan harus kembali ditegakkan. Kita harus kembali melakukan seperti yang dilakukan beberapa bulan lalu, yaitu menemukan dan melacak kasus, melakukan pengujian, mengisolasi mereka yang terbukti positif, dan menegakkan karantina bagi yang pernah melakukan kontak dengan pasien positif.

"Ada jalan untuk keluar dari krisis kesehatan ini, yaitu kita semua harus tetap waspada. Kita harus menurunkan sedikit kadar gaya hidup sampai ke titik sudah ada vaksin," jelas Mike Ryan, Kepala Darurat Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, ada baiknya investor jangan dulu terlalu larut dalam euforia reopening. Sebab dalam reopening, ada risiko besar yang patut diwaspadai yaitu second wave outbreak. Amit-amit...

 

Sentimen kedua, investor perlu mencermati pergerakan dolar AS. Dalam sepekan kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,66%.

Dollar Index bahkan di atas 100, tepatnya 100,091 pada 6 Mei, kali pertama sejak 27 April. Setelah itu, investor melakukan ambil untung sehingga Dollar Index terkoreksi dua hari beruntun.


Intinya, ada kemungkinan dolar AS akan perkasa. Apalagi kalau apa yang menjadi ekspektasi investor menjadi nyata, yaitu ekonomi Negeri Adidaya akan segera bangkit setelah tersungkur pada kuartal II-2020.

Jajak pendapat yang dilakukan Reuters menunjukkan, dolar AS masih menjadi mata uang yang dominan karena investor pada akhirnya mencari aset yang aman di tengah ketidakpastian akibat wabah virus corona. Survei yang dilakukan pada 4-6 Mei menghasilkan median dolar AS akan menjadi mata uang favorit pelaku pasar setidaknya dalam lebih dari enam bulan ke depan.

dolarReuters


"Dalam situasi saat ini, investor tentu ingin bermain di aset-aset berisiko rendah. Akan ada keraguan untuk masuk ke aset-aset yang rentan," kata Jane Foley, Head od FX Strategy di Rabobank, seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, masih ada kecenderungan investor memilih bermain aman dan enggan mengambil risiko sehingga dolar AS menjadi pilihan utama. Saat ini terjadi, arus modal yang mengalir ke pasar keuangan negara-negara berkembang menjadi seret sehingga sulit bagi IHSG dan rupiah untuk menguat.

Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah konferensi per Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK). Dalam konferensi pers ini, akan dipaparkan kondisi terkini termasuk status stabilitas sistem keuangan nasional.

Salah satu hal yang patut mendapat perhatian adalah bagaimana proyeksi KSSK terhadap prospek pertumbuhan ekonomi domestik. Terakhir, KSKK memperkirakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 2,3% pada 2020.

Namun belum lama ini Gubernur Perry mengungkapkan bahwa sepertinya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa di bawah 2,3%. Ini karena realisasi kuartal I yang jauh di bawah perkiraan.

BI memperkirakan ekonomi kuartal II-2020 akan tumbuh 0,4%, kuartal II-2020 tumbuh 1,2%, dan kuartal IV-2020 tumbuh 3,1%. "Keseluruhan tahun lebih rendah dari 2,3%," ujar Perry.


Jika proyeksi KSSK ternyata benar lebih suram, maka bisa menjadi sentimen negatif di pasar keuangan domestik. Investor akan ragu untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia apabila prospek ekonomi tidak secerah yang diperkirakan sebelumnya.


Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1.      Konferensi pers KSSK (08:30 WIB).
  2.      Rapat Kerja Komisi VII DPR tentang pembicaraan tingkat I RUU Minerba (10:00 WIB).
  3.      Rilis data produksi industri Italia (15:00 WIB).

 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
 

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (April 2020 YoY)

2,67%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2020)

4,5%

Surplus/defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Surplus/defisit transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Surplus/defisit Neraca Pembayaran Indonesia (2019)

US$ 4,68 miliar

Cadangan devisa (April 2020)

US$ 127,88 miliar

 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular