Pelaku pasar, terutama asing, asing sepertinya masih cenderung menjauh dari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Ini terlihat dari IHSG yang cenderung melemah, di mana dalam sebulan terakhir terjadi koreksi 0,22% secara point-to-point.
Berpindah ke New York, bursa saham Negeri Adidaya finis di jalur merah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,93%, S&P 500 minus 0,75%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,2%.
"Sepertinya pasar sedang agak bingung mencari petunjuk ke mana arah selanjutnya. Kira-kira sentimen apa yang bisa menggerakkan harga saham," ujar Julian Emmanuel, Chief Equity and Derivatives Strategist di BTIG, seperti dikutip dari Reuters.
Malam tadi waktu Indonesia, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen melakukan Rapat Kerja dengan Komite Jasa Keuangan House of Representatives. Dalam forum itu, nyaris tidak ada hal baru yang bisa menggerakkan pasar.
Yellen, misalnya, kembali menegaskan bahwa stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun yang akan segera digulirkan akan membuat AS mampu mewujudkan penciptaan lapangan kerja yang optimal (full employment) tahun depan. Sesuatu yang pernah disampaikannya bulan lalu.
"Saya yakin bahwa masyarakat akan sampai di sisi seberang dengan fondasi dalam kehidupan mereka. Masyarakat akan bersama-sama menikmati pertumbuhan ekonomi. Mungkin kita bisa mencapai full employment tahun depan," kata Yellen, seperti dikutip dari Reuters.
Keyakinan serupa disampaikan oleh Powell. Sosok yang menggantikan posisi Yellen di The Fed itu memperkirakan lapangan kerja akan semakin terbuka dalam bulan-bulan ke depan seiring aktivitas masyarakat yang menuju normal karena vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Ke depan, restoran, hotel, sampai taman hiburan akan semakin dibuka sehingga menciptakan lapangan kerja.
"Pemulihan ekonomi ternyata lebih cepat dari perkiraan sebelumnya dan semakin kuat. Kami memperkirakan inflasi akan naik tahun ini, tetapi tidak besar dan tidak persisten. Kami punya instrumen untuk mengatasi itu," papar Powell, sebagaimana diwartakan Reuters.
Padahal pelaku pasar ingin mendapatkan petunjuk bagaimana otoritas moneter dan fiskal menyikapi kenaikan yield obligasi. Bagi pemerintah selaku penerbit obligasi, kenaikan yield tentu tidak menguntungkan karena yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam pembentukan kupon saat lelang pasar primer. Ketika yield tinggi, pemerintah akan 'dipaksa' untuk memberikan kupon tinggi, yang menjadi beban buat anggaran negara.
Bagi otoritas moneter, kenaikan yield menandakan tingginya ekspektasi inflasi. Ketika inflasi terlalu tinggi, bahkan kalau sampai melampaui target 2%, maka kebijakan moneter perlu diarahkan ke cenderung ketat, tidak lagi ultra-longgar seperti sekarang.
"Yield obligasi pemerintah AS masih bisa naik lagi, dan pasar menanti sampai di batas mana toleransi pemerintah dan The Fed," ujar Minori Uchida, Chief Currency Analyst di MUFG Bank, seperti dikutip dari Reuters.
"Pasar ingin tahu seberapa tinggi yield bisa naik. The Fed memang menegaskan bahwa suku bunga rendah akan bertahan setidaknya sampai 2023, tetapi tentu ke depan akan semakin banyak suara yang berbeda," tambah Yukio Ishizuki, Senior Strategist di Daiwa Securities, juga diwartakan Reuters.
Namun pasar belum menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, investor memilih untuk bermain aman, wait and see, dan enggan mengambil risiko.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang kurang menggembirakan. Merahnya Wall Street bisa membuat pasar keuangan Asia grogi dan berisiko kembali melemah.
Kedua, investor juga harus hati-hati karena kasus corona kembali meningkat. Per 23 Maret 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di seluruh negara adalah 123.216.178 orang. Bertambah 223.334 orang dari hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (10-23 Maret 2021), rata-rata penambahan pasien baru adalah 450.655 orang per hari. Jauh lebih tinggi dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 394.113 orang setiap harinya.
Eropa, yang sempat 'adem', kini kembali dibuat kalang-kabut oleh lonjakan kasus baru. WHO mencatat, jumlah pasien positif corona di Benua Biru per 23 Maret 2021 adalah 42.870.334 orang. Bertambah 162.860 orang dari hari sebelumnya.
Selama dua pekan terakhir, rata-rata tambahan pasien baru adalah 198.751 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yakni 162.341 orang per hari.
Oleh karena itu, Eropa kini dinilai sudah terpukul oleh gelombang serangan ketiga (third wave outbreak) virus corona. Gelombang yang membuat sejumlah negara kembali memperketat pembatasan sosial (social distancing).
Mulai akhir pekan lalu, Prancis memberlakukan karantina wilayah (lockdown) di tujuh wilayah, termasuk ibu kota Paris. Lockdown akan berlaku selama sebulan. Selain itu, berlaku jam malam secara nasional yaitu pada pukul 19:00.
Di Jerman, Kanselir Angela Merkel memutuskan untuk memperpanjang lockdown hingga 18 April 2021. Warga Negeri Panser diminta untuk tetap di rumah selama libur Hari Paskah.
"Kita sedang menghadapi serangan pandemi gelombang baru. Virus mutasi Inggris menjadi dominan," kata Merkel, seperti dikutip dari Reuters.
Padahal berbagai lembaga belum lama ini merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam World Economic Outlook edisi Januari 2021, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 5,5% pada 2021. Naik dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Oktober 2020 yaitu 5,2%.
Kemudian Bank Dunia dalam laporan World Economic Prospect edisi Januari 2021 memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan tumbuh 4% tahun ini. Naik 0,9 poin persentase dari proyeksi yang dibikin pada Juni 2020.
Namun jika lockdown merebak lagi, maka aktivitas dan mobilitas publik menjadi terhambat. 'Roda' ekonomi tidak akan mampu berputar cepat, sehingga harapan pemulihan ekonomi menjadi penuh tanda tanya.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)
Sentimen ketiga, pelaku pasar juga perlu mewaspadai ketegangan antara China vs AS dan sekutunya. AS, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada memberlakukan sanksi kepada pejabat pemerintah China yang dituding terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas di Xinjiang.
"Di tengah kecaman internasional, (China) terus melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang," tegas Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, dalam keterangan tertulis bersama.
"Sudah banyak bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia secara sistemik oleh otoritas China," tambah pernyataan Kementerian Luar Negeri Kanada.
Secara terpisah, Kementerian Luar Negeri Australia dan Selandia Baru juga merilis pernyataan senada. Dua negara itu menyambut baik langkah AS, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada.
"Kami sangat prihatin dengan semakin banyaknya laporan yang dapat dipertanggungjawabkan seputar pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di Xinjiang," sebut keterangan tertulis bersama Kementerian Luar Negeri Australia dan Selandia Baru.
Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada empat orang pejabat pemerintahan China dan satu institusi. Mereka adalah Chen Mingguo (Direktur Biro Keamanan Masyarakat Xinjiang), Wang Junzheng (pejabat senior pemerintahan di Xinjiang), Wang Mingshan (pejabat senior pemerintah China), Zhu Hailun (mantan Wakil Sekretaris Partai Komunis China di Xinjiang), serta Biro Produksi dan Konstruksi Keamanan Masyarakat Xinjiang. Sanksi yang dikenakan adalah larangan masuk dan pembekuan aset.
China tentu tidak terima. Beijing langsung membalas dengan memberlakukan sanksi kepada sejumlah anggota parlemen Uni Eropa, Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa, serta dua institusi lainnya. Nama-nama dalam daftar tersebut antara lain Reinhard Butikofer (Ketua Delegasi Parlemen Uni Eropa untuk China) dan Adrian Zenz (akademisi Jerman).
"Sanksi terhadap kami didasari atas dusta dan tidak dapat diterima," tegas Wang Yi, Menteri Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Pandemi virus corona belum kelar, sekarang ada masalah China vs AS dan sekutunya. Jika friksi ini sampai merembet ke aspek ekonomi, seperti perdagangan dan investasi, maka prospek pemulihan ekonomi dunia akan semakin samar-samar.
Sentimen keempat, ini mungkin bisa menjadi berita yang melegakan, yield obligasi pemerintah AS turun. Pada pukul 01:25 WIB, yield untuk tenor 10 tahun turun 3,7 bps menjadi 1,6453%.
Kini jarak antara yield obligasi pemerintah AS dengan dividend yield indeks S&P 500 kembali menjauh yaitu 1,6453% berbanding 1,91%. Artinya, cuan di aset berisiko jadi lebih menarik sehingga bisa memancing minat investor untuk masuk.
Bicara aset berisiko tentu tidak bisa lepas dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Jadi ada harapan investor (terutama asing) akan kembali melirik Indonesia sehingga bisa berdampak positif buat IHSG dkk. Namun apakah sentimen ini bisa standout di hadapan lonjakan kasus corona serta cekcok China vs AS dan sekutunya, kita lihat saja nanti.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data pembacaan awal angka Purchasing Managers' Index/PMI manufaktur Australia periode Maret 2021 (05:00 WIB).
- Rilis data pembacaan awal angka PMI manufaktur Jepang periode Maret 2021 (07:30 WIB).
- Rilis data inflasi Inggris periode Februari 2021 (14:00 WIB).
- CNBC Indonesia Mining Forum 2021 (15:00 WIB).
- Rilis data pembacaan awal angka PMI manufaktur Prancis periode Maret 2021 (15:15 WIB).
- Rilis data pembacaan awal angka PMI manufaktur Jerman periode Maret 2021 (15:30 WIB).
- Rilis data pembacaan awal angka PMI manufaktur Uni Eropa periode Maret 2021 (16:00 WIB).
- Rilis data pembacaan awal angka PMI manufaktur Inggris periode Maret 2021 (16:30 WIB).
- Rilis data pemesanan barang tahan lama AS periode Februari 2021 (19:30 WIB).
- Rilis data pembacaan awal angka PMI manufaktur AS periode Maret 2021 (20:45 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA