
Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'

Sentimen ketiga, pelaku pasar juga perlu mewaspadai ketegangan antara China vs AS dan sekutunya. AS, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada memberlakukan sanksi kepada pejabat pemerintah China yang dituding terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas di Xinjiang.
"Di tengah kecaman internasional, (China) terus melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang," tegas Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, dalam keterangan tertulis bersama.
"Sudah banyak bukti yang menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia secara sistemik oleh otoritas China," tambah pernyataan Kementerian Luar Negeri Kanada.
Secara terpisah, Kementerian Luar Negeri Australia dan Selandia Baru juga merilis pernyataan senada. Dua negara itu menyambut baik langkah AS, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada.
"Kami sangat prihatin dengan semakin banyaknya laporan yang dapat dipertanggungjawabkan seputar pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur dan minoritas muslim lainnya di Xinjiang," sebut keterangan tertulis bersama Kementerian Luar Negeri Australia dan Selandia Baru.
Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada empat orang pejabat pemerintahan China dan satu institusi. Mereka adalah Chen Mingguo (Direktur Biro Keamanan Masyarakat Xinjiang), Wang Junzheng (pejabat senior pemerintahan di Xinjiang), Wang Mingshan (pejabat senior pemerintah China), Zhu Hailun (mantan Wakil Sekretaris Partai Komunis China di Xinjiang), serta Biro Produksi dan Konstruksi Keamanan Masyarakat Xinjiang. Sanksi yang dikenakan adalah larangan masuk dan pembekuan aset.
China tentu tidak terima. Beijing langsung membalas dengan memberlakukan sanksi kepada sejumlah anggota parlemen Uni Eropa, Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa, serta dua institusi lainnya. Nama-nama dalam daftar tersebut antara lain Reinhard Butikofer (Ketua Delegasi Parlemen Uni Eropa untuk China) dan Adrian Zenz (akademisi Jerman).
"Sanksi terhadap kami didasari atas dusta dan tidak dapat diterima," tegas Wang Yi, Menteri Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Pandemi virus corona belum kelar, sekarang ada masalah China vs AS dan sekutunya. Jika friksi ini sampai merembet ke aspek ekonomi, seperti perdagangan dan investasi, maka prospek pemulihan ekonomi dunia akan semakin samar-samar.
Sentimen keempat, ini mungkin bisa menjadi berita yang melegakan, yield obligasi pemerintah AS turun. Pada pukul 01:25 WIB, yield untuk tenor 10 tahun turun 3,7 bps menjadi 1,6453%.
Kini jarak antara yield obligasi pemerintah AS dengan dividend yield indeks S&P 500 kembali menjauh yaitu 1,6453% berbanding 1,91%. Artinya, cuan di aset berisiko jadi lebih menarik sehingga bisa memancing minat investor untuk masuk.
Bicara aset berisiko tentu tidak bisa lepas dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Jadi ada harapan investor (terutama asing) akan kembali melirik Indonesia sehingga bisa berdampak positif buat IHSG dkk. Namun apakah sentimen ini bisa standout di hadapan lonjakan kasus corona serta cekcok China vs AS dan sekutunya, kita lihat saja nanti.
Halaman Selanjutnya --> Simak Agenda dan Rilis Data Hari Ini
(aji/aji)
