
Corona Makin Gawat, China & Negara Barat Malah Main 'Silat'

Berpindah ke New York, bursa saham Negeri Adidaya finis di jalur merah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,93%, S&P 500 minus 0,75%, dan Nasdaq Composite ambrol 1,2%.
"Sepertinya pasar sedang agak bingung mencari petunjuk ke mana arah selanjutnya. Kira-kira sentimen apa yang bisa menggerakkan harga saham," ujar Julian Emmanuel, Chief Equity and Derivatives Strategist di BTIG, seperti dikutip dari Reuters.
Malam tadi waktu Indonesia, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) Jerome 'Jay' Powell dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen melakukan Rapat Kerja dengan Komite Jasa Keuangan House of Representatives. Dalam forum itu, nyaris tidak ada hal baru yang bisa menggerakkan pasar.
Yellen, misalnya, kembali menegaskan bahwa stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun yang akan segera digulirkan akan membuat AS mampu mewujudkan penciptaan lapangan kerja yang optimal (full employment) tahun depan. Sesuatu yang pernah disampaikannya bulan lalu.
"Saya yakin bahwa masyarakat akan sampai di sisi seberang dengan fondasi dalam kehidupan mereka. Masyarakat akan bersama-sama menikmati pertumbuhan ekonomi. Mungkin kita bisa mencapai full employment tahun depan," kata Yellen, seperti dikutip dari Reuters.
Keyakinan serupa disampaikan oleh Powell. Sosok yang menggantikan posisi Yellen di The Fed itu memperkirakan lapangan kerja akan semakin terbuka dalam bulan-bulan ke depan seiring aktivitas masyarakat yang menuju normal karena vaksinasi anti-virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Ke depan, restoran, hotel, sampai taman hiburan akan semakin dibuka sehingga menciptakan lapangan kerja.
"Pemulihan ekonomi ternyata lebih cepat dari perkiraan sebelumnya dan semakin kuat. Kami memperkirakan inflasi akan naik tahun ini, tetapi tidak besar dan tidak persisten. Kami punya instrumen untuk mengatasi itu," papar Powell, sebagaimana diwartakan Reuters.
Padahal pelaku pasar ingin mendapatkan petunjuk bagaimana otoritas moneter dan fiskal menyikapi kenaikan yield obligasi. Bagi pemerintah selaku penerbit obligasi, kenaikan yield tentu tidak menguntungkan karena yield di pasar sekunder akan menjadi acuan dalam pembentukan kupon saat lelang pasar primer. Ketika yield tinggi, pemerintah akan 'dipaksa' untuk memberikan kupon tinggi, yang menjadi beban buat anggaran negara.
Bagi otoritas moneter, kenaikan yield menandakan tingginya ekspektasi inflasi. Ketika inflasi terlalu tinggi, bahkan kalau sampai melampaui target 2%, maka kebijakan moneter perlu diarahkan ke cenderung ketat, tidak lagi ultra-longgar seperti sekarang.
"Yield obligasi pemerintah AS masih bisa naik lagi, dan pasar menanti sampai di batas mana toleransi pemerintah dan The Fed," ujar Minori Uchida, Chief Currency Analyst di MUFG Bank, seperti dikutip dari Reuters.
"Pasar ingin tahu seberapa tinggi yield bisa naik. The Fed memang menegaskan bahwa suku bunga rendah akan bertahan setidaknya sampai 2023, tetapi tentu ke depan akan semakin banyak suara yang berbeda," tambah Yukio Ishizuki, Senior Strategist di Daiwa Securities, juga diwartakan Reuters.
Namun pasar belum menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, investor memilih untuk bermain aman, wait and see, dan enggan mengambil risiko.
Halaman Selanjutnya --> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (1)
(aji/aji)
