Katanya Manufaktur RI Terparah di Asia, Beneran?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 May 2020 08:07
industri sepatu
Ilustrasi Produksi Sepatu (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas industri manufaktur Indonesia tercatat berada di titik terlemah sepanjang sejarah. Tidak ada gara-gara pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), ada hal lain yang membuat sektor manufaktur Ibu Pertiwi berada di jurang terdalam.

Gambaran mengenai aktivitas manufaktur tercermin di data Purchasing Managers' Index (PMI). Pada April 2020, IHS Markit melaporkan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia di angka 27,5. Jauh menurun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 43,5 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI pada April 2011.

 

"Perkiraan terbaru kami adalah ekonomi Indonesia tahun ini hanya tumbuh sekitar 3%. Penutupan pabrik dan pengetatan social distancing membuat pasokan dan permintaan kolaps. Banyak perusahaan yang melaporkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena peningkatan biaya yang tidak disertai dengan pendapatan. Data ini menggarisbawahi kerusakan ekonomi Indonesia akibat kebijakan untuk menangani penyebaran virus," papar Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit, seperti dikutip dari siaran tertulis.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, data PMI manufaktur ini patut diwaspadai. Angka 27,5 menjadi salah satu yang terendah di Asia.



Dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, skor PMI manufaktur Indonesia sebenarnya bukan yang paling parah. Masih ada yang lebih rendah yaitu India.

Dalam hal koreksi, Indonesia juga bukan yang terdalam. Penurunan PMI Indonesia dari Maret dibandingkan April adalah -16 poin. Masih lebih baik dari India, Malaysia, dan Myanmar.



Namun bukan berarti Indonesia bisa berpuas diri. Ingat, angka PMI di bawah 50 berarti industriawan tidak melakukan ekspansi, yang ada malah kontraksi. Apalagi nilai PMI Indonesia berada di titik nadir, terendah sepanjang sejarah.


Setidaknya ada dua faktor yang memukul industri manufaktur Tanah Air. Pertama jelas pandemi virus corona.

Keterangan tertulis IHS Markit menyebutkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di Indonesia dalam rangka memerangi penyebaran virus corona membuat produksi manufaktur anjlok karena pabrik-pabrik tutup sementara. Akibatnya, output manufaktur berada di titik terlemah sepanjang sejarah pencatatan PMI.

Tidak hanya produksi, permintaan juga lesu terutama untuk keperluan ekspor. Maklum, pembatasan sosial (social distancing) tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Kala masyarakat dunia #dirumahaja, maka permintaan sudah pasti turun drastis.

Produksi dan permintaan yang lemas membuat penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas. PMI mencatat sudah banyak perusahaan yang melakukan PHK.


Pabrik juga lebih memilih untuk menjual stok yang sudah ada ketimbang membuat yang baru. Hasilnya, pembelian bahan baku (input) untuk proses produksi pun berkurang drastis.

Faktor kedua adalah nilai tukar rupiah. Meski dalam sebulan terakhir rupiah begitu perkasa, tetapi sejak awal tahun (year-to-date) rupiah masih melemah 8,43% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).




Depresiasi rupiah membuat biaya pengadaan bahan baku dan barang modal dari luar negeri menjadi semakin mahal. Maklum, industri dalam negeri belum bisa subsisten, menghidupi dirinya sendiri, sehingga harus mendatangkan bahan baku dan barang modal dengan cara impor.

Pada 2019, impor bahan baku tercatat US$ 125,9 miliar atau 73,75% dari total impor non migas. Sementara impor barang modal adalah US$ 28,41 miliar atau 16,64%.

tradeBadan Pusat Statistik

Jadi, sektor manufaktur Indonesia tertekan dari dua arah. Pertama adalah pandemi virus corona yang memukul pasokan dan permintaan, kedua adalah pelemahan nilai tukar rupiah yang membuat biaya membengkak.

"Pada kuartal I-2020, pelemahan rupiah mencapai 17,6%, paling dalam di Asia. Depresiasi kurs berdampak signifikan terhadap sektor manufaktur Indonesia yang membutuhkan barang antara dari impor. Biaya input di sejumlah industri meningkat, seperti makanan jadi, tekstil, logam dasar, bahan kimia, dan produk kertas," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular