Katanya Manufaktur RI Terparah di Asia, Beneran?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 May 2020 08:07
pekerja pembuat sepatu
Ilustrasi Pabrik Sepatu (REUTERS/Ann Wang)
Setidaknya ada dua faktor yang memukul industri manufaktur Tanah Air. Pertama jelas pandemi virus corona.

Keterangan tertulis IHS Markit menyebutkan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di Indonesia dalam rangka memerangi penyebaran virus corona membuat produksi manufaktur anjlok karena pabrik-pabrik tutup sementara. Akibatnya, output manufaktur berada di titik terlemah sepanjang sejarah pencatatan PMI.

Tidak hanya produksi, permintaan juga lesu terutama untuk keperluan ekspor. Maklum, pembatasan sosial (social distancing) tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Kala masyarakat dunia #dirumahaja, maka permintaan sudah pasti turun drastis.

Produksi dan permintaan yang lemas membuat penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas. PMI mencatat sudah banyak perusahaan yang melakukan PHK.


Pabrik juga lebih memilih untuk menjual stok yang sudah ada ketimbang membuat yang baru. Hasilnya, pembelian bahan baku (input) untuk proses produksi pun berkurang drastis.

Faktor kedua adalah nilai tukar rupiah. Meski dalam sebulan terakhir rupiah begitu perkasa, tetapi sejak awal tahun (year-to-date) rupiah masih melemah 8,43% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).




Depresiasi rupiah membuat biaya pengadaan bahan baku dan barang modal dari luar negeri menjadi semakin mahal. Maklum, industri dalam negeri belum bisa subsisten, menghidupi dirinya sendiri, sehingga harus mendatangkan bahan baku dan barang modal dengan cara impor.

Pada 2019, impor bahan baku tercatat US$ 125,9 miliar atau 73,75% dari total impor non migas. Sementara impor barang modal adalah US$ 28,41 miliar atau 16,64%.

tradeBadan Pusat Statistik

Jadi, sektor manufaktur Indonesia tertekan dari dua arah. Pertama adalah pandemi virus corona yang memukul pasokan dan permintaan, kedua adalah pelemahan nilai tukar rupiah yang membuat biaya membengkak.

"Pada kuartal I-2020, pelemahan rupiah mencapai 17,6%, paling dalam di Asia. Depresiasi kurs berdampak signifikan terhadap sektor manufaktur Indonesia yang membutuhkan barang antara dari impor. Biaya input di sejumlah industri meningkat, seperti makanan jadi, tekstil, logam dasar, bahan kimia, dan produk kertas," kata Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahan Sekuritas.



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/sef)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular