
Tingkat Pengangguran AS Nyaris 15%, Dolar Masih Perkasa
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 May 2020 10:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) masih cukup perkasa melawan mata uang Eropa pada perdagangan Jumat (8/5/2020), padahal tingkat pengangguran di Negeri Paman Sam melonjak nyaris menjadi 15%.
Pada pukul 19:47 WIB, euro dibuat melemah meski tipis 0,05% di US$ 1,0828, sementara poundsterling masih stagnan di US$ 1,2361 di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Departemen Tenaga Kerja AS hari ini melaporkan sepanjang bulan April terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 20,5 juta orang, dan tingkat pengangguran melonjak menjadi 14,7%, yang merupakan level tertinggi sejak Perang Dunia II.
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing di AS guna meredam penyebaran pandemi virus corona (COVID-19) menjadi penyebab ambruknya pasar tenaga kerja. Meski demikian, rilis itu masih lebih baik dari prediksi ekonom dalam survei Dow Jones yang memprediksi berkurangnya 21,5 juta tenaga kerja dengan angka pengangguran 16%.
Meski demikian, kabar baik datang setelah beberapa negara bagian di AS berencana melonggarkan lockdown, sehingga roda perekonomian bisa berputar kembali dan pasar tenaga kerja akan membaik.
Kabar bagus lainnya datang dari mulai ademnya hubungan AS-China yang dalam beberapa hari terakhir membuat pelaku pasar cemas akan kemungkinan terjadinya babak baru perang dagang.
Hubungan AS-China belakangan ini memburuk yang bermula dari AS menuduh China menutup-nutupi COVID-19 di awal kemunculannya sehingga kini itu menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan kematian banyak orang, serta merugikan ekonominya.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Tiongkok bersikap diplomatis. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan AS bukanlah musuh China. "Masyarakat AS harus jelas terkait hal ini: China bukan musuh mereka," ujar Geng dalam konferensi pers seperti dilansir CNN International, Senin (20/4/2020).
"Kami berharap orang-orang di AS menghargai fakta, sains, dan konsensus internasional. Mereka harus berhenti menyerang dan menyalahkan China, membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab, dan lebih fokus pada situasi domestik dan kerja sama internasional," katanya.
Namun Presiden AS Donald Trump, malah terus menyerang China dan berencana menuntut kompensasi. Tidak hanya kompensasi, Trump juga mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, pekan lalu. "Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip AFP, Jumat (1/5/2020).
Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.
"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.
Namun kini perwakilan kedua negara sudah berkomitmen untuk melanjutkan kesepakatan datang fase I yang diteken pada Januari lalu. Hal ini ditegaskan Kementerian Perdagangan China.
Wakil Perdana Menteri Liu He, yang memimpin negosiasi China, telah mengadakan pembicaraan dengan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, Jumat (8/5/2020) pagi.
"Kedua belah pihak mengatakan mereka harus memperkuat kerja sama ekonomi makro dan kesehatan masyarakat, berusaha untuk menciptakan suasana dan kondisi yang menguntungkan untuk pelaksanaan perjanjian ekonomi dan perdagangan fase satu AS-China, yang mempromosikan hasil positif," kata Kementerian dalam keterangan persnya sebagaimana dikutip dari AFP.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Klaim Pengangguran AS Melonjak Lagi, Dolar Mulai Tertekan
Pada pukul 19:47 WIB, euro dibuat melemah meski tipis 0,05% di US$ 1,0828, sementara poundsterling masih stagnan di US$ 1,2361 di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Departemen Tenaga Kerja AS hari ini melaporkan sepanjang bulan April terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 20,5 juta orang, dan tingkat pengangguran melonjak menjadi 14,7%, yang merupakan level tertinggi sejak Perang Dunia II.
Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan social distancing di AS guna meredam penyebaran pandemi virus corona (COVID-19) menjadi penyebab ambruknya pasar tenaga kerja. Meski demikian, rilis itu masih lebih baik dari prediksi ekonom dalam survei Dow Jones yang memprediksi berkurangnya 21,5 juta tenaga kerja dengan angka pengangguran 16%.
Meski demikian, kabar baik datang setelah beberapa negara bagian di AS berencana melonggarkan lockdown, sehingga roda perekonomian bisa berputar kembali dan pasar tenaga kerja akan membaik.
Kabar bagus lainnya datang dari mulai ademnya hubungan AS-China yang dalam beberapa hari terakhir membuat pelaku pasar cemas akan kemungkinan terjadinya babak baru perang dagang.
Hubungan AS-China belakangan ini memburuk yang bermula dari AS menuduh China menutup-nutupi COVID-19 di awal kemunculannya sehingga kini itu menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan kematian banyak orang, serta merugikan ekonominya.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Tiongkok bersikap diplomatis. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan AS bukanlah musuh China. "Masyarakat AS harus jelas terkait hal ini: China bukan musuh mereka," ujar Geng dalam konferensi pers seperti dilansir CNN International, Senin (20/4/2020).
"Kami berharap orang-orang di AS menghargai fakta, sains, dan konsensus internasional. Mereka harus berhenti menyerang dan menyalahkan China, membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab, dan lebih fokus pada situasi domestik dan kerja sama internasional," katanya.
Namun Presiden AS Donald Trump, malah terus menyerang China dan berencana menuntut kompensasi. Tidak hanya kompensasi, Trump juga mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, pekan lalu. "Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip AFP, Jumat (1/5/2020).
Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.
"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.
Namun kini perwakilan kedua negara sudah berkomitmen untuk melanjutkan kesepakatan datang fase I yang diteken pada Januari lalu. Hal ini ditegaskan Kementerian Perdagangan China.
Wakil Perdana Menteri Liu He, yang memimpin negosiasi China, telah mengadakan pembicaraan dengan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, Jumat (8/5/2020) pagi.
"Kedua belah pihak mengatakan mereka harus memperkuat kerja sama ekonomi makro dan kesehatan masyarakat, berusaha untuk menciptakan suasana dan kondisi yang menguntungkan untuk pelaksanaan perjanjian ekonomi dan perdagangan fase satu AS-China, yang mempromosikan hasil positif," kata Kementerian dalam keterangan persnya sebagaimana dikutip dari AFP.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Klaim Pengangguran AS Melonjak Lagi, Dolar Mulai Tertekan
Most Popular