Indeks Dolar AS Melesat 7 Pekan, Rupiah Dkk kok Masih Kuat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 December 2021 18:31
ilustrasi uang
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.370/US$ pada perdagangan Jumat (10/12). Meski demikian, sepanjang pekan ini mata uang Garuda mampu mencatat penguatan 0,17%, padahal indeks dolar AS sedang menguat 0,23% sepanjang pekan ini. Bahkan, jika dilihat lebih ke belakang, indeks dolar AS sudah menguat dalam 7 pekan beruntun.

Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang Asia juga mampu mencatat penguatan di pekan ini. Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia sepajang pekan ini hingga pukul 17:27 WIB, melansir data Refintiv.

Penguatan indeks dolar AS tetapi mata uang Asia masih mampu menguat mengindikasikan dolar AS hanya menguat melawan mata uang utama saja. Euro misalnya, sepanjang pekan ini melemah 0,35% melawan dolar AS. Kemudian poundsterling turun 0,26%, yen Jepang merosot 0,76%.

Dolar AS masih sulit menguat melawan mata uang utama Asia meski bank sentral AS (The Fed) berencana mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.

Tingginya inflasi serta perekonomian yang kuat membuat The Fed mempertimbangkan untuk mempercepat tapering atau nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 15 miliar setiap bulan.

Nilai QE bank sentral paling powerful di dunia ini sebesar US$ 120 miliar, dan tapering sudah mulai dilakukan pada November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol diperlukan waktu selama 8 bulan.

The Fed diperkirakan akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan, sehingga QE akan menjadi nol dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan.

Untuk saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua hingga tiga kali di tahun depan.

fedwatchFoto: CME Group

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 42,4% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%) menjadi 0,25% - 0,5% pada Juni 2022.

Kemudian The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada bulan September dan Desember 2022, masing-masing sebesar 25 basis poin.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Imbal Hasil Riil yang Tinggi Buat Rupiah Kuat

Selisih yield yang cukup lebar menjadi kunci kuatnya rupiah menghadapi dolar AS. The Fed memang mungkin menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali, tetapi kenaikan tersebut belum tentu membuat imbal hasil (yield) riil menjadi positif.

Yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 1,5%, sementara inflasi jauh lebih tinggi.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS bulan Oktober sebesar 6,2% year-on-year (yoy), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.

Artinya, imbal hasil riil, yakni selisih yield dengan inflasi, masih sangat negatif, sekitar -4,6%.

Sementara untuk Indonesia, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.

Ketika The Fed menaikkan suku bunga, imbal hasil tentunya juga akan menanjak, tetapi kemungkinan besar masih akan negatif, dan selisihnya cukup lebar dengan Indonesia.

Berbeda dengan negara negara maju yang riil yield-nya juga negatif, sehingga ketika The Fed menaikkan suku bunga, riil yield di AS bisa lebih tinggi. Inggris misalnya, yield obligasi tenor 10 tahun saat ini sekitar 0,77%, sementara inflasi saat ini sebesar 4,2% (yoy), sehingga riil yield-nya minus 3,5%.

Sementara itu triliuner Jeffrey Gundlach, yang dijuluki sang "raja obligasi", melihat inflasi di AS tidak akan ke bawah 4% di tahun depan.

Gundlach juga melihat inflasi tersebut bisa mencapai 7% dalam beberapa bulan ke depan.

The Fed yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga secara agresif di tahun depan guna meredam inflasi tersebut menurut Gundlach malah akan menimbulkan masalah bagi perekonomian.

"Kita kemungkinan akan melihat masalah di perekonomoian hanya dengan beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed - empat kali kenaikan atau lebih. Jika suku bunga berada di 1% atau 1,5%, maka hal tersebut akan merusak perekonomian," kata Gundlach, sebagaimana diwartakan Kitco, Rabu (8/12).

Selain itu, ia juga memperkirakan dolar AS akan jeblok di tahun depan akibat dobel defisit yang dialami Amerika Serikat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular