
Asing Kabur dari Bursa RI, Gegara The Fed Percepat Tapering?

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mengawali Desember dengan positif, investor asing tercatat getol melakukan jual bersih (net sell) selama sepekan terakhir.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG berhasil naik 0,91% ke posisi 6.643,932 selama sepekan terakhir, setelah terapresiasi dalam 4 hari berturut-turut. Namun, asing melakukan jual bersih Rp 769,56 miliar di pasar reguler. Kemarin saja, investor asing ramai-ramai keluar dari bursa domestik dengan catatan net sell Rp 106,41 miliar di pasar reguler.
Aksi jual oleh asing tersebut terjadi di tengah wacana bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) akan mempercepat laju tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) seiring inflasi AS yang terus melonjak tinggi.
"Saat ini perekonomian sangat kuat dan inflasi juga sangat tinggi, oleh karena itu menurut pandangan saya akan tepat jika mempertimbangkan menyelesaikan tapering lebih cepat, mungkin beberapa bulan lebih awal," kata ketua The Fed, Jerome Powell di hadapan Senat AS, sebagaimana diwartakan CNBC International, Selasa (30/11).
Powell juga mengatakan akan membahas mengenai percepatan tapering di bulan ini.
"Saya mengharapkan The Fed akan mendiskusikan percepatan tapering pada rapat bulan Desember," tambah Powell.
Nilai QE The Fed saat ini sebesar US$ 120 miliar, dan tapering sudah mulai dilakukan pada November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol diperlukan waktu selama 8 bulan.
The Fed kini diperkirakan akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan, sehingga QE akan menjadi nol dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan.
Untuk saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua hingga tiga kali di tahun depan.
Sebelumnya, kebijakan moneter longgar dengan memasok uang lebih banyak ke pasar dilakukan The Fed untuk membantu ekonomi AS yang terkontraksi akibat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung sejak awal tahun lalu.
Apakah Bakal Tapering without The Tantrum?
Hal ini lantas mengundang pertanyaan: apakah langkah agresif The Fed turut membuat asing bergegas meninggalkan pasar modal RI atau malah aksi jual asing tersebut adalah hal wajar?
Berkaca pada kejadian 2013 lalu, ketika The Fed melakukan tapering, maka aliran modal akan keluar dari negara emerging market (pasar negara berkembang) dan kembali ke Negeri Paman Sam. Hal tersebut berisiko memicu gejolak di pasar finansial global.
Di tahun 2013, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke mulai mengumumkan tapering pada pertengahan tahun, dan baru dieksekusi pada bulan Desember. QE The Fed saat itu akhirnya resmi berakhir pada pada Oktober 2014.
Setelahnya, muncul spekulasi kenaikan suku bunga The Fed di pasar finansial hingga di tahun 2015.
Menurut catatan CNBC Indonesia, sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%. IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.
Lalu, bagaimana dengan tapering kali ini? Apakah akan disertai dengan tantrum di emerging market? Ataukah hanya tapering tanpa gejolak signifikan di pasar finansial alias tapering without the tantrum?
Sejumlah analis dan kalangan pasar modal menilai tapering a la The Fed kali ini tidak akan seseram pada 2013.
Direktur PT Syailendra Capital Fajar R. Hidajat, misalnya, mengatakan kepada CNBC Indonesia pada November lalu, efek tapering pada 2021 tidak akan seperti tapering pada 2013 hingga 2015.
Ia mengatakan, tapering pada 2021 akan memberikan upsite. Sementara pada market akan mengalami sedikit volatilitas, terutama pada Semester I-2022.
"Tapi bisa jadi mungkin tapering effect tidak akan memberikan efek yang sangat signifikan. Bottom line volatility, semua sekuritas akan kena efek, tapi efeknya mungkin tidak seperti tapering pertama," ungkap Fajar dalam CNBC Indonesia Award 2021 'The Best Securities and Asset Management Companies', Selasa (23/11/2021).
Senada, Head of Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Roger mengungkapkan, dampak tapering terhadap pasar saham di Indonesia dinilai tidak akan terlalu signifikan.
Pasalnya, investor cenderung lebih mencermati laporan keuangan di kuartal ketiga dan data perekonomian domestik yang mulai menunjukkan pemulihan seperti indeks PMI Indonesia yang berada di level tertinggi 57,2.
"Dampak tapering tidak terlalu signifikan bagi market Indonesia. Kalau terjadi capital outflow tidak berdampak signifikan bagi IHSG," ungkap Roger, Kamis (4/11/2021).
Selain itu, menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, kendati The Fed diperkirakan agresif dalam menaikkan menormalisasi kebijakan moneternya, nyatanya tidak serta merta membuat dolar AS merajalela. Rupiah masih cukup kuat jika melihat pergerakannya yang mampu menguat 3 hari beruntun di pekan ini.
Lanjutkan membaca di halaman selanjutnya >>>
