
Ngeri! Inflasi AS Diramal Tertinggi 40 Tahun, Rupiah Waspada

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses mencatat penguatan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis kemarin. Di awal perdagangan rupiah sempat menguat hingga 0,38%, tetapi di akhir penguatannya hanya 0,03% di Rp 14.350/US$.
Sentimen pelaku pasar yang membaik membuat rupiah perkasa. Tetapi para pelaku pasar juga menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) malam ini. Sehingga pergerakan rupiah pada hari ini, Jumat (10/12), bisa jadi mirip dengan kemarin tetapi ada risiko pelemahan yang cukup besar.
Rilis data tersebut bisa menggambarkan seberapa "bebal" inflasi tinggi di AS yang bisa mempengaruhi kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Hasil survei Wall Street memprediksi inflasi akan melesat 6,7% year-on-year (yoy) yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Tingginya inflasi serta perekonomian yang kuat membuat The Fed mempertimbangkan untuk mempercepat tapering atau nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) yang saat ini senilai US$ 15 miliar setiap bulan.
Nilai QE bank sentral paling powerful di dunia ini sebesar US$ 120 miliar, dan tapering sudah mulai dilakukan pada November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol diperlukan waktu selama 8 bulan.
The Fed diperkirakan akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan, sehingga QE akan menjadi nol dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan yang bisa memberikan tekanan bagi rupiah.
Secara teknikal, rupiah kemarin sempat menyentuh Rp 14.300/US$ dan melewati rerata pergerakan 200 hari (Moving Average 200/ MA 200). Sayangnya di akhir perdagangan rupiah kembali ke kisaran MA 200. Rupiah juga berada di atas MA 100, dan MA 50. Artinya tekanan masih cukup besar.
Tekanan bagi rupiah juga datang setelah membentuk pola Inverse Head and Shoulders yang menjadi sinyal kenaikan suatu aset. Dalam hal ini USD/IDR bergerak naik yang artinya rupiah mengalami pelemahan.
Puncak bawah Inverse Head and Shoulders berada di Rp 14.020/US$ sementara Neckline berada di kisaran Rp 14.330/US$. Artinya ada jarak sebesar 290 poin.
![]() Foto: Refinitiv |
Ketika Neckline ditembus (break out), maka rupiah berisiko melemah sebesar jarak tersebut. Artinya, selama rupiah tertahan di atas Rp 14.330/US$, ada risoko melemah 290 poin ke Rp 14.620/US$.
Rupiah bisa lepas dari pola ini dan berbalik menguat di Desember jika mampu kembali ke bawah Rp 14.320/US$, dan bertahan di bawahnya.
Sebelum mencapai level tersebut, rupiah harus melewati MA 200 terlebih dahulu yang berada di kisaran Rp 14.345/US$.
Peluang penguatan rupiah terbuka cukup lebar melihat indikator Stochastic yang sudah berada di wilayah jenuh beli (oversold).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Ketika USD/IDR mencapai overbought, maka kemungkinan akan berbalik turun. Sementara itu resisten terdekat berada di kisaran Rp 14.370/US$ jika ditembus rupiah berisiko melemah ke Rp 14.400/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
