The Fed Diramal Agresif di 2022, Ini Kunci Rupiah Bertahan

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
09 December 2021 15:44
Jerome Powell
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) pada pekan depan menjadi perhatian utama pelaku pasar global, selain tentunya perkembangan penyebaran virus corona varian Omicron.

Pada bulan lalu, The Fed baru saja mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 15 miliar setiap bulannya. Tetapi, belum sebulan berselang, bank sentral paling powerful di dunia tersebut sudah mengeluarkan wacana untuk mempercepat laju tapering.

"Saat ini perekonomian sangat kuat dan inflasi juga sangat tinggi, oleh karena itu menurut pandangan saya akan tepat jika mempertimbangkan menyelesaikan tapering lebih cepat, mungkin beberapa bulan lebih awal," kata ketua The Fed, Jerome Powell di hadapan Senat AS, sebagaimana diwartakan CNBC International, Selasa (30/11).
Powell juga mengatakan akan membahas mengenai percerpatan tapering di bulan ini.

"Saya mengharapkan The Fed akan mendiskusikan percepatan tapering pada rapat bulan Desember," tambah Powell.


Nilai QE The Fed saat ini sebesar US$ 120 miliar, dan tapering sudah mulai dilakukan pada November lalu. Artinya, hingga QE menjadi nol diperlukan waktu selama 8 bulan.

The Fed kini diperkirakan akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan, sehingga QE akan menjadi nol dalam waktu 4 sampai 5 bulan. Selain itu, The Fed juga diprediksi akan memberikan indikasi agresif menaikkan suku bunga di tahun depan.

Untuk saat ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua hingga tiga kali di tahun depan.

cmeFoto: CME Group

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 43,6% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%) menjadi 0,25% - 0,5% pada Juni 2022.

Kemudian The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada bulan September dan Desember 2022, masing-masing sebesar 25 basis poin.

Meski The Fed diperkirakan agresif dalam menaikkan menormalisasi kebijakan moneternya, nyatanya tidak serta merta membuat dolar AS merajalela, rupiah masih cukup kuat jika melihat pergerakannya yang mampu menguat 3 hari beruntun di pekan ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ini Kunci Penguatan Rupiah

Selisih yield yang cukup lebar menjadi kunci kuatnya rupiah menghadapi dolar AS. The Fed memang mungkin menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali, tetapi kenaikan tersebut belum tentu membuat imbal hasil (yield) riil menjadi positif.

Yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 1,5%, sementara inflasi jauh lebih tinggi.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS bulan Oktober sebesar 6,2% year-on-year (yoy), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.

Artinya, imbal hasil riil, yakni selisih yield dengan inflasi, masih sangat negatif, sekitar -4,6%.

Sementara untuk Indonesia, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.

Ketika The Fed menaikkan suku bunga, imbal hasil tentunya juga akan menanjak, tetapi kemungkinan besar masih akan negatif dan selisihnya cukup lebar dengan Indonesia.

Apalagi, triliuner Jeffrey Gundlach, yang dijuluki sang "raja obligasi", melihat inflasi di AS tidak akan ke bawah 4% di tahun depan.

Gundlach juga melihat inflasi tersebut bisa mencapai 7% dalam beberapa bulan ke depan.

The Fed yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga secara agresif di tahun depan guna meredam inflasi tersebut menurut Gundlach malah akan menimbulkan masalah bagi perekonomian.

"Kita kemungkinan akan melihat masalah di perekonomoian hanya dengan beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed - empat kali kenaikan atau lebih. Jika suku bunga berada di 1% atau 1,5%, maka hal tersebut akan merusak perekonomian," kata Gundlach, sebagaimana diwartakan Kitco, Rabu (8/12).

Selain itu, kondisi fundamental Indonesia saat ini juga cukup kuat. Bank Indonesia (BI) memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan intervensi.

cadev

Selasa lalu BI melaporkan peningkatan cadangan devisa pada akhir November sebesar US$ 145,9 miliar, naik US$ 400 juta dari bulan sebelumnya US$ 145,5 miliar. Cadangan devisa tersebut tidak jauh dibandingkan rekor tertinggi sepanjang masa tercatat sebesar US$ 146,9 yang tercatat pada September lalu.

Kemudian defisit transaksi berjalan diperkirakan tidak akan besar, bahkan mencatat surplus di kuartal III-2021.

Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia juga tidak sebesar di 2013, saat ini di kisaran 23%. Sehingga ketika The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter, capital outflow tidak akan semasif 2013 yang membuat rupiah terpuruk. 

Bank Indonesia juga diprediksi bisa menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun depan, sehingga bisa meredam seandainya rupiah mengalami gejolak hebat. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular