
The Fed Diramal Agresif di 2022, Ini Kunci Rupiah Bertahan

Selisih yield yang cukup lebar menjadi kunci kuatnya rupiah menghadapi dolar AS. The Fed memang mungkin menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali, tetapi kenaikan tersebut belum tentu membuat imbal hasil (yield) riil menjadi positif.
Yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 1,5%, sementara inflasi jauh lebih tinggi.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS bulan Oktober sebesar 6,2% year-on-year (yoy), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.
Artinya, imbal hasil riil, yakni selisih yield dengan inflasi, masih sangat negatif, sekitar -4,6%.
Sementara untuk Indonesia, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.
Ketika The Fed menaikkan suku bunga, imbal hasil tentunya juga akan menanjak, tetapi kemungkinan besar masih akan negatif dan selisihnya cukup lebar dengan Indonesia.
Apalagi, triliuner Jeffrey Gundlach, yang dijuluki sang "raja obligasi", melihat inflasi di AS tidak akan ke bawah 4% di tahun depan.
Gundlach juga melihat inflasi tersebut bisa mencapai 7% dalam beberapa bulan ke depan.
The Fed yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga secara agresif di tahun depan guna meredam inflasi tersebut menurut Gundlach malah akan menimbulkan masalah bagi perekonomian.
"Kita kemungkinan akan melihat masalah di perekonomoian hanya dengan beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed - empat kali kenaikan atau lebih. Jika suku bunga berada di 1% atau 1,5%, maka hal tersebut akan merusak perekonomian," kata Gundlach, sebagaimana diwartakan Kitco, Rabu (8/12).
Selain itu, kondisi fundamental Indonesia saat ini juga cukup kuat. Bank Indonesia (BI) memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan intervensi.
![]() |
Selasa lalu BI melaporkan peningkatan cadangan devisa pada akhir November sebesar US$ 145,9 miliar, naik US$ 400 juta dari bulan sebelumnya US$ 145,5 miliar. Cadangan devisa tersebut tidak jauh dibandingkan rekor tertinggi sepanjang masa tercatat sebesar US$ 146,9 yang tercatat pada September lalu.
Kemudian defisit transaksi berjalan diperkirakan tidak akan besar, bahkan mencatat surplus di kuartal III-2021.
Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia juga tidak sebesar di 2013, saat ini di kisaran 23%. Sehingga ketika The Fed melakukan normalisasi kebijakan moneter, capital outflow tidak akan semasif 2013 yang membuat rupiah terpuruk.
Bank Indonesia juga diprediksi bisa menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun depan, sehingga bisa meredam seandainya rupiah mengalami gejolak hebat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
