Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) resmi mengumumkan tapering pada 4 November lalu. Tidak seperti tahun 2013, tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) kali ini tidak menimbulkan gejolak di pasar finansial global, yang dikenal dengan istilah taper tantrum.
Pasar finansial global kalem merespon tapering kali ini, nilai tukar rupiah yang di 2013 terpuruk juga cukup stabil. The Fed yang melakukan komunikasi yang baik dengan pasar menjadi kunci kesuksesan meredam terjadinya taper tantrum.
Ketua The Fed, Jerome Powell, sudah memberikan indikasi akan melakukan tapering beberapa bulan sebelumnya, sehingga pasar sudah siap.
Namun kini, "benih-benih" taper tantrum mulai muncul. Sebabnya, pejabat elit The Fed yang menyatakan perlunya untuk mempercepat laju tapering. Ketika tapering selesai lebih cepat, suku bunga bisa dinaikkan lebih awal. Hal tersebut dilakukan guna meredam inflasi yang tinggi.
Jika itu terjadi, maka risiko taper tantrum kembali menghantui pasar finansial global.
Tapering The Fed di tahun 2013 memicu lonjakan yield obligasi AS (Treasury). Alhasil, terjadi capital outflow yang sangat besar dari negara-negara emerging market termasuk Indonesia dan kembali ke Amerika Serikat. Pasar finansial global seketika terguncang, aset-aset berisiko berguguran, dolar AS menguat sangat tajam. Fenomena tersebut disebut taper tantrum.
Rupiah menjadi salah satu korban tapering.
The Fed saat itu mengumumkan tapering pada pertengahan 2013, dan berdampak pada pelemahan rupiah hingga tahun 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Inflasi menjadi meroket hingga ke atas 8%.
Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.
Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia sulit kembali ke atas 5%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pejabat Elit The Fed Dorong Kenaikan Suku Bunga di Kuartal II-2022
Dalam pengumuman kebijakan moneter awal bulan ini, The Fed mengumumkan mulai melakukan tapering sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya.
Tapering langsung dimulai bulan ini, dengan nilai QE saat ini sebesar US$ 120 miliar, maka perlu waktu 8 bulan hingga menjadi nol, atau QE berakhir pada bulan Juni tahun depan.
Beberapa pejabat elit The Fed kini menginginkan QE agar selesai lebih cepat. Pada Jumat pekan lalu, Dewan Gubernur The Fed, Christopher Waller menyerukan akan The Fed melipat gandakan tapering sehingga bisa berakhir di bulan April tahun depan dan bisa menaikkan suku bunga di kuartal II-2022.
"Pemulihan pasar tenaga kerja yang cepat serta tingginya inflasi mendorong saya untuk melakukan tapering lebih cepat dan tidak lagi menerapkan kebijakan akomodatif di 2022," kata Waller sebagaimana diwartakan Reuters, Jumat (22/11).
Waller juga mengatakan seandaianya terjadi gejolak di pasar finansial akibat The Fed mempercepat tapering, maka efeknya hanya sementara saja.
"Semua gejolak yang terjadi hanya sementara dan lama-kelamaan akan mereda. Secara logika The Fed tidak akan merespon gejolak yang terjadi, tetapi terkadang melakukannya. Kebijakan moneter The Fed yang tepat digunakan untuk merespon inflasi," tambahnya.
Selain Waller, wakil ketua The Fed, Richard Clarida juga melontarkan pernyataan yang sama.
"Saya akan melihat data-data yang kami dapatkan mulai saat ini hingga rapat kebijakan moneter di bulan Desember, dan kemungkinan menjadi waktu yang tepat untuk mempercepat laju tapering," kata Clarida saat berbicara di San Francisco Fed's 2021 Asia Economic Policy Conference, Sabtu (20/11).
Amerika Serikat Rabu nanti akan merilis data inflasi versi personal consumption expenditure (PCE), dan akan menjadi perhatian pelaku pasar. Sebabnya, menjadi acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan suku bunga.
Inflasi inti PCE diprediksi tumbuh 4,1% year-on-year (YoY) di bulan Oktober, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 3,6% YoY yang merupakan level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
Semakin tinggi inflasi PCE makan spekulasi laju tapering akan dipercepat akan semakin menguat.
Jika benar The Fed mempercepat laju tapering, maka ada risiko terjadinya taper tantrum yang akan menekan rupiah meski tidak akan separah 2013, sebab fundamental Indonesia jauh lebih kuat saat ini.
Bank Indonesia (BI) memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan intervensi, kemudian defisit transaksi berjalan diperkirakan tidak akan besar, bahkan mencatat surplus di kuartal III-2021.
Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia juga tidak sebesar di 2013, saat ini di kisaran 23%. Sehingga ketika taper tantrum terjadi, capital outflow tidak akan semasif 2013.
TIM RISET CNBC INDONESIA