Pak Jokowi, Ada Yang Lebih Ngeri dari Tapering Off di 2022!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 January 2022 07:30
Presiden Joko Widodo Saat Peresmian Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2022.
Foto: Presiden Joko Widodo Saat Peresmian Pembukaan Perdagangan BEI Tahun 2022. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial global bersiap! Normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) ternyata bisa lebih agresif dari yang diantisipasi.

The Fed mulai menormalisasi kebijakan moneternya dengan melakukan tapering off atau pengurangan nilai program pembelian obligasi dan surat berharga (quantitative easing/QE) pada bulan November lalu.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kesempatan menyebut jika tapering off menjadi salah satu risiko dan tantangan yang harus dihadapi Indonesia di tahun ini.
Nilai QE sebesar US$ 120 miliar awalnya ajan dikurangi sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya.

Tetapi, hanya sebulan berselang, The Fed bertindak lebih agresif, nilai tapering ditambah menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya. Sehingga QE yang awalnya direncanakan selesai pertengahan 2022, berubah menjadi bulan Maret tahun ini.

Sampai di situ pasar finansial global masih kalem, tidak ada gejolak seperti tahun 2013 atau yang disebut taper tantrum.

Bahkan, saat The Fed mengindikasikan akan menaikkan suku bunga 3 kali di tahun ini, dan pasar berspekulasi kenaikan pertama akan dilakukan bulan Maret, nyaris tidak ada gejolak yang terjadi. Artinya, pasar sudah price in atau menakar tapering lebih agresif dan kenaikan suku bunga di bulan Maret.

Tetapi, nyatanya The Fed bisa jauh lebih agresif dari itu. Dalam notula rapat kebijakan moneter bulan Desember terungkap, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan.

"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).

usd

Alhasil, imbal hasil (yield) obligasi AS atau yang disebut Treasury melesat naik yang bisa menjadi awal terjadinya gejolak di pasar finansial global. Yield Treasury tenor 10 tahun melesat 5 basis poin ke 1,6999% yang merupakan level tertinggi sejak April 2021. Kemudian Treasury tenor 2 tahun yang sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan, yield-nya naik 6,9 basis poin ke 0,8296% yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2020.

Ketika terjadi taper tantrum 2013, di awali dengan kenaikan tajam yield Treasury, kemudian bursa saham global rontok, selanjutnya terjadi aliran modal keluar (capital outflow) dari negara emerging market yang sangat masif.

Indonesia menjadi salah satu yang terkena dampak parah, nilai tukar rupiah jeblok, inflasi tinggi, hingga pelambatan ekonomi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Selama Pandemi The Fed Sudah Gelontorkan Duit Rp 64.000 Triliun

The Fed menjadi bank sentral yang paling jor-joran dalam menggelontorkan stimulus moneter. Sejak penyakit akibat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020, The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0-0,25%, dan QE sebesar US$ 120 miliar per bulan.

Sejak saat itu hingga akhir Desember 2021, The Fed sudah membanjiri perekonomian Amerika Serikat dengan duit sekitar US$ 4,5 triliun atau sekitar Rp 64.350 triliun (kurs Rp 14.300/US$).

fed

Hal tersebut tercermin dari neraca The Fed yang hingga 29 Desember lalu mencapai US$ 8,76 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun. Semakin besar QE yang digelontorkan maka neraca The Fed akan membengkak.

Kini, dengan adanya kemungkinan The Fed mengurangi neracanya, dengan menjual obligasinya, maka likuiditas di perekonomian akan kembali terserap, dan diharapkan mampu meredam tingginya inflasi.

Tetapi efek sampingnya, likuditas diserap lebih cepat dan berisiko menjadi ketat, Yield Treasury bisa semakin menanjak, yang pada akhirnya berisiko memicu gejolak di pasar finansial global.

Bursa saham sudah mulai merasakan dampaknya. Wall Street (bursa saham AS) ambrol pada perdagangan Rabu waktu setempat. Indeks Dow Jones yang hari sebelumnya mencatat rekor tertinggi sepanjang masa berbalik jeblok lebih dari 1%.

Kemudian indeks S&P 500 ambrol nyaris 2%, dan Nasdaq yang paling parah merosot hingga 3,3%.

Jebloknya kiblat bursa saham dunia tersebut berisiko merembet ke Asia dan Eropa pada perdagangan Kamis (6/1).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Efek Buruk Normalisasi Kebijakan The Fed Bagi Indonesia

Jika pasar finansial mengalami gejolak lagi seperti tahun 2013, maka Indonesia harus bersiap menerima efek buruknya.

Di tahun 2013, tapering yang dilakukan The Fed memicu lonjakan yield obligasi AS (Treasury). Alhasil, terjadi capital outflow yang sangat besar dari negara-negara emerging market termasuk Indonesia dan kembali ke Amerika Serikat. Pasar finansial global seketika terguncang, aset-aset berisiko berguguran, dolar AS menguat sangat tajam. Fenomena tersebut disebut taper tantrum.

Rupiah menjadi korbannya.

The Fed saat itu mengumumkan tapering pada pertengahan 2013, dan berdampak pada pelemahan rupiah hingga tahun 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ kemudian terus melemah hingga mencapai puncaknya pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

pdb

Jebloknya kinerja rupiah berdampak besar dan buruk bagi Indonesia. Beban pembayaran utang pemerintah juga jadi membengkak, inflasi juga meroket hingga ke atas 8%.

Inflasi yang tinggi pun memakan korban, daya beli masyarakat menurun yang pada akhirnya berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94% year-on-year (YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia sulit kembali ke atas 5%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular