
Pak Jokowi, Ada Yang Lebih Ngeri dari Tapering Off di 2022!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial global bersiap! Normalisasi kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) ternyata bisa lebih agresif dari yang diantisipasi.
The Fed mulai menormalisasi kebijakan moneternya dengan melakukan tapering off atau pengurangan nilai program pembelian obligasi dan surat berharga (quantitative easing/QE) pada bulan November lalu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kesempatan menyebut jika tapering off menjadi salah satu risiko dan tantangan yang harus dihadapi Indonesia di tahun ini.
Nilai QE sebesar US$ 120 miliar awalnya ajan dikurangi sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya.
Tetapi, hanya sebulan berselang, The Fed bertindak lebih agresif, nilai tapering ditambah menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya. Sehingga QE yang awalnya direncanakan selesai pertengahan 2022, berubah menjadi bulan Maret tahun ini.
Sampai di situ pasar finansial global masih kalem, tidak ada gejolak seperti tahun 2013 atau yang disebut taper tantrum.
Bahkan, saat The Fed mengindikasikan akan menaikkan suku bunga 3 kali di tahun ini, dan pasar berspekulasi kenaikan pertama akan dilakukan bulan Maret, nyaris tidak ada gejolak yang terjadi. Artinya, pasar sudah price in atau menakar tapering lebih agresif dan kenaikan suku bunga di bulan Maret.
Tetapi, nyatanya The Fed bisa jauh lebih agresif dari itu. Dalam notula rapat kebijakan moneter bulan Desember terungkap, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan.
"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).
![]() |
Alhasil, imbal hasil (yield) obligasi AS atau yang disebut Treasury melesat naik yang bisa menjadi awal terjadinya gejolak di pasar finansial global. Yield Treasury tenor 10 tahun melesat 5 basis poin ke 1,6999% yang merupakan level tertinggi sejak April 2021. Kemudian Treasury tenor 2 tahun yang sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan, yield-nya naik 6,9 basis poin ke 0,8296% yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2020.
Ketika terjadi taper tantrum 2013, di awali dengan kenaikan tajam yield Treasury, kemudian bursa saham global rontok, selanjutnya terjadi aliran modal keluar (capital outflow) dari negara emerging market yang sangat masif.
Indonesia menjadi salah satu yang terkena dampak parah, nilai tukar rupiah jeblok, inflasi tinggi, hingga pelambatan ekonomi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Selama Pandemi The Fed Sudah Gelontorkan Duit Rp 64.000 Triliun