
Awas Zonk! Dolar AS Menguat Saat Makin Banyak "Dibuang"

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang kuat-kuatnya di awal tahun 2022. Rupiah dibuat menguat 3 hari bertuntun, indeks dolar AS juga menanjak.
Meski demikian, data menunjukkan spekulator justru banyak yang melepas posisi beli dolar AS. Hal ini bisa menjadi indikasi penguatan dolar AS tidak akan berlangsung lama, jika spekulator terus melepas posisinya.
Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) AS menunjukkan posisi beli bersih (net long) dolar AS naik menjadi US$ 19,15 miliar dalam sepekan yang berakhir 14 Desember, dari pekan sebelumnya sebesar US$ 19,71 miliar.
Kenaikan tersebut terbilang kecil jika melihat The Fed yang agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya. Posisi spekulatif tersebut merupakan dolar AS terhadap yen, poundsterling, euro, franc, dolar Kanada dan Australia.
![]() |
Sementara untuk posisi spekulatif terhadap mata uang yang lebih luas, termasuk beberapa mata uang emerging market, posisi net long dolar AS malah turun menjadi US$ 19,75 miliar dari sebelumnya US$ 20,6 miliar.
Penguatan dolar AS belakangan ini tidak lepas dari spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, atau kurang dari 3 bulan lagi.
Data dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat adanya probabilitas sekitar 60% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada Maret. Spekulasi tersebut lebih cepat dari sebelumnya Juni 2022.
Tetapi spekulasi tersebut sebenarnya sudah muncul sejak Desember lalu, setelah data menunjukkan inflasi di AS terus menanjak dan The Fed memutuskan mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.
Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/12) lalu Ketua The Fed, Jerome Powell, beserta kolega memutuskan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) diperbesar menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya dari saat ini US$ 15 miliar. QE The Fed sebelumnya nilainya US$ 90 miliar sehingga mulai bulan Januari QE The Fed nilainya sebesar US$ 60 miliar, dan terus dikurangi setiap bulannya, hingga berakhir di bulan Maret.
Setelah tapering selesai, langkah selanjutnya adalah kenaikan suku bunga. Hal ini dilakukan guna meredam inflasi yang tinggi di Amerika Serikat.
Inflasi dijadikan acuan The Fed berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan November melesat 5,7% (yoy). Inflasi di bulan November tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Juli 1982. Inflasi inti PCE tumbuh 4,7%, tertinggi sejak September 1983.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Lebih Agresif dari 2013, tapi Pasar Masih Kalem