Awas Zonk! Dolar AS Menguat Saat Makin Banyak "Dibuang"

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 January 2022 15:58
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang kuat-kuatnya di awal tahun 2022. Rupiah dibuat menguat 3 hari bertuntun, indeks dolar AS juga menanjak.

Meski demikian, data menunjukkan spekulator justru banyak yang melepas posisi beli dolar AS. Hal ini bisa menjadi indikasi penguatan dolar AS tidak akan berlangsung lama, jika spekulator terus melepas posisinya.

Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) AS menunjukkan posisi beli bersih (net long) dolar AS naik menjadi US$ 19,15 miliar dalam sepekan yang berakhir 14 Desember, dari pekan sebelumnya sebesar US$ 19,71 miliar.

Kenaikan tersebut terbilang kecil jika melihat The Fed yang agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya. Posisi spekulatif tersebut merupakan dolar AS terhadap yen, poundsterling, euro, franc, dolar Kanada dan Australia.

dxy

Sementara untuk posisi spekulatif terhadap mata uang yang lebih luas, termasuk beberapa mata uang emerging market, posisi net long dolar AS malah turun menjadi US$ 19,75 miliar dari sebelumnya US$ 20,6 miliar.

Penguatan dolar AS belakangan ini tidak lepas dari spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, atau kurang dari 3 bulan lagi.

Data dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar melihat adanya probabilitas sekitar 60% The Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5% pada Maret. Spekulasi tersebut lebih cepat dari sebelumnya Juni 2022.

Tetapi spekulasi tersebut sebenarnya sudah muncul sejak Desember lalu, setelah data menunjukkan inflasi di AS terus menanjak dan The Fed memutuskan mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.

Dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (16/12) lalu Ketua The Fed, Jerome Powell, beserta kolega memutuskan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) diperbesar menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya dari saat ini US$ 15 miliar. QE The Fed sebelumnya nilainya US$ 90 miliar sehingga mulai bulan Januari QE The Fed nilainya sebesar US$ 60 miliar, dan terus dikurangi setiap bulannya, hingga berakhir di bulan Maret.

Setelah tapering selesai, langkah selanjutnya adalah kenaikan suku bunga. Hal ini dilakukan guna meredam inflasi yang tinggi di Amerika Serikat.

Inflasi dijadikan acuan The Fed berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan November melesat 5,7% (yoy). Inflasi di bulan November tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Juli 1982. Inflasi inti PCE tumbuh 4,7%, tertinggi sejak September 1983.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Lebih Agresif dari 2013, tapi Pasar Masih Kalem

Normalisasi kebijakan The Fed kali ini jauh lebih agresif ketimbang tahun 2013, tetapi pasar masih kalem. Tidak ada gejolak di pasar finansial global atau yang sering disebut taper tantrum.

Pada tahun 2013, tapering dilakukan dengan nilai US$ 10 miliar per bulan. Pengumuman tapering dilakukan pada pertengahan tahun dan awal tapering pada Desember 2013 hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014.

Dari QE selesai, The Fed perlu waktu sekitar 1 tahun untuk menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 0,5%.

Sementara normalisasi kebijakan kali ini The Fed perlu waktu kurang lebih 5 bulan saja hingga QE berakhir, dan berpeluang langsung menaikkan suku bunga. Pun, jika suku bunga tidak dinaikkan di bulan Maret, maka kenaikan suku bunga bisa terjadi di bulan Juni, atau berselang 3 bulan saja dari selesainya QE.

Hal ini tentunya jauh lebih agresif ketimbang normalisasi kebijakan moneter pasca dilanda krisis finansial global. Tetapi pergerakan dolar AS malah biasa-biasa saja.

Melihat posisi spekulator yang menunjukkan net buy dolar AS menurun, tentunya ada peluang rupiah bisa bangkit. Apalagi jika melihat pergerakan yield obligasi Amerika Serikat (Treasury) dan Indonesia.

Yield obligasi AS (Treasury) dalam dua hari terakhir mengalami kenaikan tajam. Pergerakan tersebut mengindikasikan pelaku pasar mulai mengantisipasi kenaikan suku bunga di bulan Maret.

Meski demikian, kenaikan yield Treasury AS tidak memicu kenaikan yield Surat Berharga Indonesia (SBN). Yield SBN tenor 10 tahun hari ini turun 10,2 basis poin.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield turun artinya harga sedang naik, begitu juga sebaliknya. Kenaikan harga menjadi indikasi ada aksi beli, dan tidak menutup kemungkinan oleh investor asing.

Oleh karena itu, ada kemungkinan tidak terjadi capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang bisa menjadi kabar bagus. Sebab ketika tidak terjadi capital outflow, malah inflow maka rupiah berpeluang menguat ke depannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular