
Pak Jokowi, Ada Yang Lebih Ngeri dari Tapering Off di 2022!

The Fed menjadi bank sentral yang paling jor-joran dalam menggelontorkan stimulus moneter. Sejak penyakit akibat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020, The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0-0,25%, dan QE sebesar US$ 120 miliar per bulan.
Sejak saat itu hingga akhir Desember 2021, The Fed sudah membanjiri perekonomian Amerika Serikat dengan duit sekitar US$ 4,5 triliun atau sekitar Rp 64.350 triliun (kurs Rp 14.300/US$).
![]() |
Hal tersebut tercermin dari neraca The Fed yang hingga 29 Desember lalu mencapai US$ 8,76 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun. Semakin besar QE yang digelontorkan maka neraca The Fed akan membengkak.
Kini, dengan adanya kemungkinan The Fed mengurangi neracanya, dengan menjual obligasinya, maka likuiditas di perekonomian akan kembali terserap, dan diharapkan mampu meredam tingginya inflasi.
Tetapi efek sampingnya, likuditas diserap lebih cepat dan berisiko menjadi ketat, Yield Treasury bisa semakin menanjak, yang pada akhirnya berisiko memicu gejolak di pasar finansial global.
Bursa saham sudah mulai merasakan dampaknya. Wall Street (bursa saham AS) ambrol pada perdagangan Rabu waktu setempat. Indeks Dow Jones yang hari sebelumnya mencatat rekor tertinggi sepanjang masa berbalik jeblok lebih dari 1%.
Kemudian indeks S&P 500 ambrol nyaris 2%, dan Nasdaq yang paling parah merosot hingga 3,3%.
Jebloknya kiblat bursa saham dunia tersebut berisiko merembet ke Asia dan Eropa pada perdagangan Kamis (6/1).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Efek Buruk Normalisasi Kebijakan The Fed Bagi Indonesia
(pap/pap)