Indeks Dolar AS Melesat 7 Pekan, Rupiah Dkk kok Masih Kuat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 December 2021 18:31
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Selisih yield yang cukup lebar menjadi kunci kuatnya rupiah menghadapi dolar AS. The Fed memang mungkin menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali, tetapi kenaikan tersebut belum tentu membuat imbal hasil (yield) riil menjadi positif.

Yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 1,5%, sementara inflasi jauh lebih tinggi.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di AS bulan Oktober sebesar 6,2% year-on-year (yoy), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.

Artinya, imbal hasil riil, yakni selisih yield dengan inflasi, masih sangat negatif, sekitar -4,6%.

Sementara untuk Indonesia, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.

Ketika The Fed menaikkan suku bunga, imbal hasil tentunya juga akan menanjak, tetapi kemungkinan besar masih akan negatif, dan selisihnya cukup lebar dengan Indonesia.

Berbeda dengan negara negara maju yang riil yield-nya juga negatif, sehingga ketika The Fed menaikkan suku bunga, riil yield di AS bisa lebih tinggi. Inggris misalnya, yield obligasi tenor 10 tahun saat ini sekitar 0,77%, sementara inflasi saat ini sebesar 4,2% (yoy), sehingga riil yield-nya minus 3,5%.

Sementara itu triliuner Jeffrey Gundlach, yang dijuluki sang "raja obligasi", melihat inflasi di AS tidak akan ke bawah 4% di tahun depan.

Gundlach juga melihat inflasi tersebut bisa mencapai 7% dalam beberapa bulan ke depan.

The Fed yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga secara agresif di tahun depan guna meredam inflasi tersebut menurut Gundlach malah akan menimbulkan masalah bagi perekonomian.

"Kita kemungkinan akan melihat masalah di perekonomoian hanya dengan beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed - empat kali kenaikan atau lebih. Jika suku bunga berada di 1% atau 1,5%, maka hal tersebut akan merusak perekonomian," kata Gundlach, sebagaimana diwartakan Kitco, Rabu (8/12).

Selain itu, ia juga memperkirakan dolar AS akan jeblok di tahun depan akibat dobel defisit yang dialami Amerika Serikat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular