Menguat ke 14.890/US$, Rupiah 'Belum Bosan' Jadi Juara Asia

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 May 2020 15:39
ilustrasi uang
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (8/5/2020) setelah muncul kabar baik dari dalam dan luar negeri.

Rupiah sebenarnya melemah 0,13% ke Rp 15.000/US$ begitu perdagangan hari ini dibuka, bahkan sempat melemah 0,33% ke Rp 15.030/US$ yang menjadi level terlemah intraday. Tetapi tidak lama rupiah langsung berbalik menguat hingga 0,76% ke Rp 14.866/US$.

Posisi tersebut sedikit terpangkas, di akhir perdagangan rupiah berada di level Rp 14.890/US$ atau menguat 0,6% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Dengan penguatan tersebut, rupiah sekali lagi menjadi juara alias mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Rabu lalu, rupiah juga menjadi juara Asia meski mengarungi mayoritas perdagangan di zona merah.

Bahkan jika melihat beberapa pekan ke belakang, rupiah sering kali menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia, hingga mencatat penguatan lebih dari 9% di bulan April. 

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:01 WIB:



Rupiah langsung mendapat tenaga untuk menguat sejak awal perdagangan hari ini. Sebabnya Kementerian Perekonomian mengeluarkan sebuah rentang waktu atau timeline pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 yang menunjukkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan dilonggarkan dalam beberapa fase mulai 1 Juni.

Meski dikatakan masih dalam bentuk kajian, setidaknya hal tersebut memberi harapan roda perekonomian akan segera berputar kembali secara perlahan.

"Itu merupakan kajian awal Kemenko Perekonomian, yang selama ini secara intens melakukan kajian dan kebijakan pemerintah menjelang, selama, dan pasca pandemi COVID-19," kata Susiwijono, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.



Kajian awal yang beredar tersebut, lanjut Susiwijono sebagai antisipasi untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan pasca pandemi COVID-19 mereda.

Saat ini Kemenko Perekonomian sedang membahas secara intens dengan Kementerian dan Lembaga terkait guna mematangkan Kajian Awal tersebut.

"Dalam waktu dekat Kemenko Perekonomian akan melakukan finalisasi atas Kajian tersebut, dan akan disampaikan kepada masyarakat," tuturnya.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) melaporkan kenaikan cadangan devisa di bulan April. Kenaikan tersebut terutama dipengaruhi oleh penerbitan global bond pemerintah. Cadangan devisa Indonesia pada April 2020 tercatat sebesar US$ 127,9 miliar, atau naik US$ 6,9 miliar dari bulan sebelumnya.

Pada bulan lalu, Pemerintah Indonesia menerbitkan global bond sebesar US$ 4,3 miliar dalam 3 bentuk surat berharga global yaitu Surat Berharga Negara (SBN). Penerbitan tersebut dilakukan guna mendanai stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah dalam memerangi pandemi virus corona (Covid-19).

Kenaikan cadangan devisa tersebut tentunya menambah amunisi BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah seandainya kembali mengalami gejolak di seperti di bulan Maret lalu.


[Gambas:Video CNBC]




Sementara itu dari luar negeri, kecemasan akan kemungkinan terjadinya babak baru perang dagang AS-China mulai mereda setelah perwakilan kedua negara berkomitmen untuk melanjutkan kesepakatan datang fase I yang diteken pada Januari lalu.

Hal ini ditegaskan Kementerian Perdagangan China. Wakil Perdana Menteri Liu He, yang memimpin negosiasi China, telah mengadakan pembicaraan dengan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, Jumat (8/5/2020) pagi.

"Kedua belah pihak mengatakan mereka harus memperkuat kerja sama ekonomi makro dan kesehatan masyarakat, berusaha untuk menciptakan suasana dan kondisi yang menguntungkan untuk pelaksanaan perjanjian ekonomi dan perdagangan fase satu AS-China, yang mempromosikan hasil positif," kata Kementerian dalam keterangan persnya sebagaimana dikutip dari AFP.

Hal tersebut menjadi kabar bagus bagi pasar finansial global, sentimen pelaku pasar semakin membaik dan rupiah jadi makin perkasa hari ini.



Hubungan kedua negara belakangan ini memburuk yang bermula dari AS menuduh China menutup-nutupi wabah di awal kemunculannya sehingga kini wabah itu menyebar ke seluruh dunia dan menyebabkan kematian banyak orang, serta merugikan ekonominya.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Tiongkok bersikap diplomatis. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan AS bukanlah musuh China.

"Masyarakat AS harus jelas terkait hal ini: China bukan musuh mereka," ujar Geng dalam konferensi pers seperti dilansir CNN International, Senin (20/4/2020).

"Kami berharap orang-orang di AS menghargai fakta, sains, dan konsensus internasional. Mereka harus berhenti menyerang dan menyalahkan China, membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab, dan lebih fokus pada situasi domestik dan kerja sama internasional," katanya.

Tetapi Presiden AS Donald Trump, malah terus menyerang China dan berencana menuntut kompensasi.

Tidak hanya kompensasi, Trump juga mengatakan bisa saja mengenakan bea masuk impor dalam konferensi pers dengan wartawan di Gedung Putih, pekan lalu.

"Bisa saja melakukan sesuatu dengan tarif," katanya sebagaimana dikutip dari AFP, Jumat (1/5/2020).



Selain itu, Trump juga menuduh virus corona berasal dari Institut Virologi Wuhan, sebuah laboratorium di China. Bahkan ia mengatakan memiliki kepercayaan sangat tinggi.

"Ya, ya saya lihat [bukti]," katanya. "Saya tidak bisa memberi tahu Anda tentang ini. Saya tidak diizinkan memberi tahu kepada Anda [wartawan] soal ini."

Trump bahkan mengancam akan membatalkan kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada bulan Januari lalu jika China gagal memenuhi janjinya untuk membeli barang dan jasa milik AS senilai US$ 200 miliar.

"Mereka mengambil keuntungan dari negara kita. Sekarang mereka harus membeli dan, jika mereka tidak membeli, kami akan mengakhiri kesepakatan. Sangat sederhana," kata Trump, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post awal pekan lalu.


TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular